Zaman Membutuhkan Sastrawan sekaligus Pemikir
Oleh: Matroni Musèrang*
Gus
Dur di tahun 1993 pernah berkata bahwa sastrawan dan seniman yang baik adalah
sekaligus pemikir. Saya sepakat dengan pendapat ini, karena di Indonesia “tidak
banyak” sastrawan dan seniman yang sekaligus pemikir. Kebanyakan masih berkutat
di ranah intuitif. Maka wajar jika pasca PD 1 dan PD II di Amerika hanya lahir
satu sastrawan, seniman dan pemikir yaitu Hamingway. Lalu bagaimana konteks
Indonesia yang dalam membaca pun masih minim, apalagi menulis dan pemikir.
Kata-kata
Gus Dur ini membuat pikiran saya benar-benar terhentak dan tersentak, setelah
10 tahun saya berkutat di dunia sastra, budaya dan filsafat. Bagaimana mungkin
bangsa yang besar ini masih minim baca, minim berpikir, males belajar, sehingga
mengalami kelesuan dalam perkembangan keilmuan? Apalagi tantangan kemanusiaan
yang mengalami degradasi keilmuan, moral, dan etika. Pertanyaan yang kemudian
lahir adalah bagaimana dan apa yang harus kita lakukan untuk meminimalisir hal
itu? Tentu kita semua akan menjawab “ilmu”. Padahal untuk mendapatkan ilmu kita
harus membaca, berpikir dan menganalisis.
Membaca,
berpikir dan menganalisis membutuhkan keseriusan dalam belajar. Maka tidak ada
waktu yang terbuang sia-sia bagi pelajar yang baik, pelajar yang memiliki
keinginan kuat. Sastrawan dan seniman di tuntut untuk serius menulis puisi,
prosa, cerpen, dan novel agar memiliki kualitas tinggi. Sudah saatnya sastrawan
dan seniman memiliki visi keilmuan yang lebih serius, sebab perubahan
masyarakat terus berubah, maka cara pandang sastrawan dan seniman pun harus
berubah, agar karya sastra dan seni tidak hanya seni untuk seni dan sastra
untuk sastra, akan tetapi sastra dan
seni untuk perkembangan keilmuan.
Kritik Gus Dur tahun 1993 merupakan
pertanda bahwa kita harus hati-hati dengan perubahan sosial, kita (sastrawan
dan seniman) harus mampu mempersiapkan keilmuan di segala bidang, sebab sastrawan
dan seniman yang baik adalah pembaca yang baik, pemikir yang baik, penganalisis
yang baik.
Wajar kemudian jika ada wacana tidak ada
kritikus sastra, sebab banyak yang ingin jadi penulis sastra, tapi tidak ingin
membaca. Secara logika tidak masuk akal memang, tapi inilah yang terjadi di
kalangan penulis muda belia hari ini, kata Mahwi Air Tawar. Kita tahu bahwa
ilmu merupakan dasar awal atau basis epistemologi bagi sastrawan dan seniman dalam menapaki proses
kreatif dan menjalani dunia kepenulisan. Bahkan di tahun 1908 Armijn
Pane, Sanusi Pane dan teman-temannya sudah mampu melihat bagaimana modernitas
harus mampu dibaca dengan kritis dalam perspektif keilmuan, artinya perspektif
sastrawan dan seniman tidak hanya satu, akan tetapi harus dilihat dari segala
perspektif, agar keutuhan dalam mempertanggunjawabkan karya tidak hanya dalam
bentuk kata-kata an sich.
Pergulatan
sejarah sastra Indonesia, harus kita baca ulang dalam perpektif keilmuan, kalau
tidak karya sastrawan dan seniman hanya menjadi wacana diskusi tanpa ada energi
keilmuan yang harus kita petik sebagai jembatan baru menuju ide-ide segar
kesusastraan yang semakin hari semakin “suram” dari aroma ide-ide segar. Apakah
ini yang dikhawatirkan oleh Raczymow bahwa kini tak ada lagi “para penulis
besar”, lantaran demokrasi dan pasar bebas tak selaras dengan model para
maestro intelek-tual sebagaimana direpresentasikan figur-figur Voltaire, Zola,
Gide, atau Sasrtre (Tia Setiadi, dalam Jurnal Sajak, no.02,2011/23).
Mengapa
penulis-penulis Indonesia hari ini tidak seperti para pendahulu yang
menciptakan harapan ontologis? Apakah penulis hari ini hanya percaya bahwa
sastra hanya butuh ditulis, tanpa harus dipikirkan makna sosialnya. Apakah
sastrawan dan seniman masih terkungkung oleh pertapaan panjang, sehingga tak
mampu turun gunung, karena kepalanya penuh dengan mistik-normatif? Apakah ini
yang dimaksud Ivan Illick dengan degradasi global dan modernisasi kemiskinan? Sehingga
banyak sastrawan dan seniman terjangkiti polusi fisik dan ketidakberdayaan
psikologis.
Beragam
gaya hidup, beragam buku diterbitkan diedarkan dan berbagai kreasi-kreasi skill
ditampilkan, tetapi sastra mati. Buku-buku sastra hanya dijadikan komsumsi
sementara, hiburan lebay-lebayan untuk orang yang sakit hati. Insterumen
Sastrawan dan seniman hari ini bukanlah buku, bukan keilmuan, tetapi “Ngopi
dan rokok sampai pagi” lalu tidur sampai sore lalu kembali ngopi dan rokok.
Dimanakah buku hari ini? dimanakah pembaca yang baik hari ini? Alih-alih dengan
gaya mengaku sastrawan dan seniman.
Saatnyalah
sastrawan dan seniman harus mampu keluar dari kungkungan kehausan menjadi
“sastrawan dan seniman”, keluar untuk membaca agar tak sakit hati dan inklusivitas
keilmuannya mampu dipertanggungjawabkan. Untuk itulah tidak hanya buku-buku
sastra yang dibaca, akan tetapi pemikiran tentang sastra juga harus dibaca,
agar rasio kita terangsang. Bahkan mahasiswa sastra tak mampu keluar dari
kungkungan teorinya, sehingga teori memakan dirinya sendiri, padahal teori itu
hanya intrumens untuk memasuki dan menemukan makna baru sehingga dari sanalah
lahir ide-ide segar. Untuk itulah zaman ini membutuhkan sastrawan dan seniman
sekaligus pemikir yang memiliki cakrawala keilmuan yang kosmopolit.
*Penyair,
Pemikir kebudayaan dan Sosial, Mengajar di Universitas Wiraraja Sumenep. tinggal
di Sumenep.
Sumber: Kabar Madura, 12 Desember 2014
Komentar