Ke Arah Sastra yang Ber-adab. di republika
Oleh: Matroni Musérang*
Kalau Pramoedya
Ananto Toer mendeklarasikan ke arah sastra revolusioner, wajar karena konteksnya
waktu itu penjajahan fisik dan untuk mengimbangi dunia politik. Seperti yang
digembor-gemborkan Soekarno “revolusi belum selesai” yang akhirnya kata-kata
itu hanya menjadi frase atau pepatah yang menyenangkan hati belaka dan
tujuannya adalah menciptakan keadaan sesuatu dengan nilai yang lebih baik lebih
berguna. Oleh sebab itu, saatnya kita mengambil nilai universal dari sastra
revolusioner itu, yaitu pengetahuan sebagai dasar epistemologi revolusioner, bukan
kemudian sastra revolusioner tidak penting. Penting tapi sifatnya lebih pada
substansial daripada material.
Hari ini yang
dibutuhkan bukanlah revolusioner yang reaksioner, akan tetapi lebih pada mental
paradigmatik yang harus dirubah, direkontruksi. Hal ini untuk mengimbangi
politik yang saat ini sangat santun dan dinamis, namun dibalik kesantunan itu
kita harus lebih kritis dan waspada membaca dan melihatnya, untuk itulah dibutuhkan
sastra yang ber-adab dan rasa yang halus agar kita mampu menyelinap masuk ke
perkampungan politik santun itu, maka dibutukan filsafat dan sastra untuk mampu
melihat secara utuh fenomena ini.
Hubungan
filsafat Islam dan sastra dalam hal ini puisi membutuhkan kejelasan dalam
definisi filsafat dan sastra. Filsafat menetapkan realitas segala sesuatu dan
filsafat melakukan hal itu sesuai dengan kemampuan pengetahuan manusia. Adab
yang umumnya diterjemahkan sebagai sastra, yang ada kaitannya dengan perbuatan
baik, dan pengetahuan tentang seni mengarang puisi, sebenarnya ada dua aspek,
kata Sham Inati dan Elsayed Omram pertama aspek praktis yang mengacu pada
perbuatan baik, dan aspek teoritis yang mengacu pada pengetahuan atau keilmuan.
Oleh karena itu,
studi filsafat dan adab (sastra/puisi) terpusat pada pemahaman kita tentang
realitas dan hubungannya dengan aspek praktis adab dan aspek teoritis. Hubungan
ini memiliki dialektika kemanusiaan yang utuh untuk mempertemukan adab di ranah
realitas. Penyair yang mengambil inspirasi dari realitas, sudah seharusnya juga
kembali pada realitas, itulah pentingnya praktis dan teoritis dalam sastra dan
filsafat. Tulisan-tulisan fara filsuf yang berbahasa arab yang menaruh
perhatian pada sastra adalah karya al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd, karena
ketiga filosof ini percaya bahwa tipe bahasa harus benar-benar puitis agar
efektif untuk semua orang. Mengetahui dua aspek dalam sastra berarti
mempelajari hubungan pengetahuan manusia mengenai realitas dengan pengetahuan
yang menuntun penyair kepada perbuatan dan perkataan atau bahasa yang baik dan
halus.
Sifat dasar
puisi menurut filosof muslim adalah diskursus imajinatif. Meskipun puisi ini
berbeda dengan posisi-komposisi imajinatif, artinya puisi itu pada dasarnya adalah
suatu imitasi dalam perkataan, kata Ibn Arabi. Oleh sebab itulah, penyair
dituntut untuk selalu jujur, agar tidak melahirkan puisi yang “palsu”,
dikatakan palsu apabila penyair memberikan suatu imitasi dari sesuatu dan bukan
sesuatu itu sendiri. Makanya HB Jassin membedakan antara prosa dan puisi. Prosa
pengucapan dengan pikiran, sementara puisi adalah pengucapan dengan perasaan.
Menurut al-Farabi dan Ibnu Sina puisi adalah cabang dari logika, karenanya
diskursus puisi adalah silogisme atau apa yang mengikuti silogisme, menurut Ibn
Rusyd puisi adalah seni logika. Lalu apakah penyair masih tidak mau jujur dan
berbuat baik, bila dirinya benar-benar memahami makna puisi, untuk itulah
keberadaban seorang penyair bisa diukur dari sejuah mana penyair memahami dan
menyelami lautan puisi?
Keterkaitan
puisi dengan realitas kata al-Farabi sebagaimana dikutip Sham Inati dan Elsayed
Omram dalam ensiklopedi tematis fislafat
Islam merupakan sebuah alasan mengapa diskursus puitis adalah suatu analogi (tamtsil) yakni silogisme potensial. Artinya
penyair dituntut untuk melakukan rekontruksi-tranformatif terhadap seni
imajinafif, oleh sebab itu, tidak setiap seni imajinatif bersifat puitis atau
logis, maka Ibn Sina berkata bahwa sepanjang puisi itu diskursus imajinatif, ia
akan menjadi perhatian ahli logika atau ahli logika mengkaji puisi, sepanjang
ia imajinatif. Namun apakah yang imajinatif itu?, semua filosof Muslim menjawab
yang imajinatif adalah kepadanya jiwa tunduk sedemikian rupa sehingga ia
“senang” karena hal-hal tertentu dan tertekan karena hal-hal tertentu lainnya,
tanpa penalaran, pemikiran atau pilihan,… terlepas apakah objek diskursus itu
benar atau salah.
Menjadi penyair
harus menjadi pembimbing imajinasi ke arah intelek praktis, kearah menuju peran
etis dari seorang penyair, karena tidak akan ada kehilangan keterikatan,
sebaliknya pengaruhnya terhadap jiwa sejalan dengan akal, dan tidak semata-mata
didasarkan pada emosi buta. Sebab puisi dalam perkampungan filsafat merupakan
hubungan antara akal dan universalitas, di satu pihak suatu hubungan yang dapat
dipahami oleh lebih banyak orang. Meskipun fungsi terpenting dari puisi adalah
membantu banyak orang agar tidak menyimpang dari jalan bertindak yang benar,
fungsi ini hanya sebuah hasil dan bukan unsur esensial dari puisi. Puisi yang
tidak terlepas dari realitas dan penyairnya pun tidak jauh dari realitas,
artinya panyair harus mampu berbaur dengan siapa pun, maka di sana kita akan
menemukan bahwa ciri khas puisi adalah universalitas dan realitas. Maka kita
harus mampu membedakan imitasi dalam puisi hanya akan menyentuh sesuatu yang
eksistensinya mungkin, atau kata Ibn Sina dan Ibn Rusyd sesuatu yang ada, dan
dengan demikian, bisa masuk ke dalam alam keniscayaan, karenanya Ibn Rusyd
berkata bahwa puisi lebih dekat ke filsafat daripada tipe diskursus lainnya.
Tujuan penyair
(penyair yang sebenarnya) menulis puisi adalah menjaga nilai universalitas puisi
guna membantu mengurangi derajat kesalahan puitik dengan mempertimbangkan nilai
etis puisi dalam kehidupan manusia dan kemanusiaan. Akhirnya penyair dalam
hidupnya tidak hanya mencatat filsafat puisi, akan tetapi juga harus mampu
mendalami dan mencatat filsafat yang lebih puitis.
*Penyair, dan mengajar di Universitas Wiraraja Sumenep
Sumber:
Republika
Ahad, 31 Agustus 2014
Komentar