Budak-Budak Teknologi
Oleh: Matroni Muserang*
Saya rindu kamar dan suasana yang
tidak ramai dengan suara orang maen PS, suara teriakan orang maen PS, suara
tertawa orang maen PS, dari jam 10 pagi sampai jam 3 dini hari, inilah waktu
yang berisi suara-suara yang “kurang aku suka”. Karena aktivias saya (kalau
tidak kuliah) bangun shalat subuh (jam 4 atau 5), bersih-bersih kamar, menulis,
membaca, sampai shalat dhuhur lalu istirahat 1 sampai 2 jam, tapi dengan adanya
suara-suara di atas, lelappun aku tidak bisa, begitupun dengan malam, yang
seharusnya saya tidur jam 12 sampai jam 4 subuh, lelapkan pun tak nyenyak, itu
semua karena di depan pintu kamar kostku teman-teman berbondong-bondong datang
untuk maen PS, kadang semingu 3 sampai 4 kali teman-teman sewa PS (catatan
januari 2013 sampai Maret 2014).
Bukan kemudian saya dijustifikasi
tidak suka PS, tidak, aku suka, tapi kesukaan di sini dalam batas-batas yang
wajar, apakah wajar sebagai pelajar, mahasiswa yang “katanya” calon
intelektual, ilmuwan, bangun pagi jam 11 langsung PS-an sampai jam 3 menjelang
subuh? Bukankah seorang calon intelektual, dan ilmuwan harus membaca, menulis
dan mengabdi? Saya tidak tahu, apakah waktu senggang harus di isi dengan PS-an
tanpa membaca dan belajar?
Maka wajar jika ada isu
plagialisme, budaya copi paste, budaya instan, budaya latah, budaya ngegame,
budaya facebookan, twitteran, bbman, netlok, gadget, dan lain sebagainya adalah
produk teknologi yang semakin hari semakin canggih bahkan sudah menjadi
keseharian anak-anak mudah bahkan orang tua, hal ini wajar karena mereka di
tuntut mengikuti perkembangan teknologi canggih tersebut, wajar juga jika gaya
hidup semakin tinggi bahkan mengalahkan segala-galanya. Tuhan pun kalah dengan
gaya hidup. Ada apa sebenarnya dengan manusia budak-budak teknologi atau
boneka-boneka teknologi yang sudah bermental budak?
Banyak anak SD, SMP dan SMA yang
tiga hari bahkan satu minggu di tempat game online dan juga mahasiswa kalau
tidak maen PS dalam satu minggu bahkan dalam satu minggu tiga, empat kali nyewa
PS, ini menandakan bahwa generasi bangsa kita sudah kecanduan, dan mereka tidak
sadar dan menyadari bahwa hal itu bentuk lain dari penjajahan mental
kemanusiaan, sehingga akibat dari hal itu ada anak SMP yang nekat mencuri motor
hanya untuk main PS dan uang yang di kirim orang tua yang seharusnya untuk
biasa pendidikan dan makan digunakan untuk sewa PS. Lalu apa yang akan terjadi
sepuluhh tahun ke depan jika generasi sekarang rasio, indera dan hatinya di isi
oleh hal-hal yang sifatnya sementara?
Pasti beda, seseorang yang bangun
tidur langsung bermain PS, FB, Twitter, dan lainnya dengan bangun tidur dengan
membaca buku. Pasti beda seseorang dari jam tujuh pagi sampai tiga dini hari
waktunya yang hanya di isi dengan PS lupa akan waktu dengan seseorang yang dari
jam tujuh pagi sampai tiga dini hari yang mengisi waktunya dengan membaca,
menulis dan beribadah, kalau tidak percaya kita tinggal menunggu waktu saja.
Sepuluh tahun, dua puluh tahun ke depan, akan menjadi apa manusia budak-budak
teknologi ini atau boneka-boneka teknologi yang bermental budak?
Secara pribadi bukan lantas saya
tidak suka dengan kemajuan, hanya saja saya sebagai manusia yang diberi akal,
indera dan hati cukup prihatin jika kita hanya menjadi budak teknologi, maka
dari itulah kemajuan dan perkembangan teknologi bukan lantas menutup akal,
indera dan hati kita untuk membaca lebih dalam dengan menggunakan nalar kritis.
Bukankah Tuhan selalu menyuruh manusia untuk menggunakan akalnya (nalar), tapi
hari ini dengan menjadi budak teknologi akal, indera dan hati terpenjara, dia
hilang oleh jiwa-jiwa budak, atau mental budak yang sudah menjadi darah daging
kemanusiaan. Anehnya penjara itu tidak disadari oleh manusia yang bermental
budak, dan manusia budak-budak teknologi ini? Akhirnya Allah pun mati di tangan
para budak. Lalu setelah Allah mati, di Manakah yang mistis, kata F.Budi
Hardiman?
Kondisi modern telah menggersangkan
dan menanduskan kehidupan yang ilahi. Kapan pun dan dimanapun modern akan
selalu hadir untuk kita, karena modernitas menurut Octavia Paz adalah kata yang
mencari maknanya, tidak jelas apakah dia adalah ide, fatamorgana, atau momen
sejarah? Apakah kita bayi-bayi modernitas atau pelaku modernitas? Kita sudah
tidak menyadari hal itu, karena modernitas sudah menjelma hasrat universal. Modernitas
sudah menjadi dewi, dewa dan setan manusia budak. Itu semua akan menjadi
sejarah, waktu tersendiri untuk kita tonton bersama. Itu semua pilihan untuk
kita, apakah kita ingin menjadi manusia yang memiliki prinsip keilmuan? Atau
hanya ingin manusia yang ikut-ikutan seperti boneka dan budak-budak? Yang
jelas, apa pun pilihan kita adalah tanggungjawab kita untuk kerakyatan dan
kemanusiaan.
Tapi persoalan besar dalam diri
kita ketika memilih, bagaimana kita akan mampu menjawab persoalan kemanusiaan
yang sudah diperbudak tersebut? Apakah kita mampu keluar dari penjara
perbudakan?
Pertanyaan ini harus kita
selesaikan dengan segera, karena masih banyak persoalan yang lebih penting
daripada sekedar menjadi budak teknologi. Yaitu keilmuan kita, tradisi kita
(kearifan lokal), nalar kita, dan hati (intuisi) kita, agar berfungsi secara
bersamaan dalam menciptakan gagasan besar.
Di samping di atas, ada fenomena
yang tidak menjangkiti seni nalar dan literature kita, kita tengah mengalami
krisis gagasan (ide) dan kepercayaan esensial yang telah memandu kita. Kata Octavia
Paz sumber daya alam jumlahnya terbatas dan akan habis pada suatu hari nanti.
Kita telah menimbulkan kerusakan yang boleh jadi tidak bisa diperbaiki lagi
terhadap alam dan lingkungannya, dan spesies kita sendiri terancam bahaya. Akhirnya
ilmu pengetahuan bagi manusia yang nalarnya sempit, manusia budak dan mental
budak, hanya dijadikan alat kekuatan penghancur. Keberadaan para elit politik
dan penguasa yang tidak diragukan lagi sebagai
manusia yang elit adalah sebuah keniscayaan dalam kemajuan. Lantas
mengapa para elit bangsa kita masih menjadi budak-budak dan boneka, lantaran akal
dan nalar kerakyatannya di kungkung oleh mental budak.
Belum lagi uang yang berlumuran
kepentingan politik yang dipersembahkan kepada Tuhan. ya Tuhan. Uang dan
kepentingan itu sendiri di tuhankan dan kelakuan licik yang kejam, kata Hegel. Nalar
universal dan nalar intuisi sejarah telah hancur lebur. Terakhir saya akan
menutup dengan ambruknya nilai-nilai filosofis dan historis yang diklaim
sebagai pengetahuan yang lambat dan tidak penting. Kontruksi sejarah dan
nilai-nilai filosofis di anggap tidak pernah ada, wajar jika kita membiarkan
“diri” termakan mulut-mulut ganas harimau teknologi.
Lalu, kita hidup untuk apa? Apakah
sebatas makan, kerja, tidur, maen? Kita tentu punya jawaban tersendiri, kalau
kita sadar bahwa kita adalah manusia yang dicipta untuk mengabdi, maka kita
tidak akan pernah menjadi budak siapa pun,
kecuali budak Tuhan. Maka itu boleh kalau hanya kepada Tuhan. tapi
selain Tuhan, kita hanya sebatas mengerti dan membaca dengan kritis agar
kemanusiaan kita tidak diperbudak teknologi dan kita hilang di telan perubahan,
maka untuk menjadi manusia yang tidak diperbudak tekonologi yaitu dengan
menjadi manusia pembaca, manusia intelektual, manusia cerdas dan genius dalam
melihat keseharian.
Komentar