Maklumat Sastra Mistiko, Republika


Maklumat Sastra Mistiko
Oleh: Matroni Muserang*

Para hadirin semua, para sastrawan, para penyair, para budayawan, para ilmuwan yang masih dan ingin terus membaca, beribadah dan menulis. Assalamualaikum war. wab. Redaksi Kemanusiaan Yth. Bersama ini saya kirimkan esai “Maklumat Sastra Mistik” meskipun terlalu pendek untuk format kemanusiaan. Karena itu, mohon jangan merasa dipaksakan untuk memuatnya. Anggap saja kiriman ini sebagai pemberitahuan bahwa saya sudah menulisnya. Semua itu saya kerjakan karena saya gelisah sekali dan ingin sekali memberikan jawaban kepada para sastrawan yang terlanjur mengaku penyair/sastrawan dan kritikus sastra. Dan, saya merasa “berdosa” kalau tidak saya umumkan terlebih dahulu. Sekali lagi, jangan segan-segan untuk tidak membaca. Wassalamualaikum war.wab.
Maklumat sastra mistik saya hadirkan sebagai bagian dari proses saya dalam dunia sastra selama ini di samping juga untuk merespon berbagai gejolak krisis dalam dunia sastra yang selama ini berkutat di gang-gang sempit, mulai dari krisis pembacaan, krisis dialog sastra, krisis proses dan komitmen, seperti katak dalam tempurung dan siput yang berjalan dalam satu dimensi. Ada penyair (yang mengaku penyair) kritis terhadap perkembangan keilmuan sastra dan kritikus sastra, justeru bukan kritis terhadap sastra itu sendiri, akan tetapi kritis terhadap orangnya (si penulis/si penyairnya), bukan pada karyanya, inilah yang namanya krisis identitas, krisis pemikiran dan krisis pembacaan terhadap teks/ayat.   
Maka dari itulah dibutuhkan disiplin ilmu yang lain untuk menjawab krisis tersebut. Salah satunya adalah sastra mistik. Mistik di sini harus dimaknai secara luas yaitu mistik yang membuka diri (inklusivitas) terhadap penyingkapan dasar-dasar kenyataan dan kehidupan sehari-hari. Artinya sastra mistik di sini bukan sastrawan yang harus menyendiri, tertutup diri (ekslusif), akan tetapi membuka diri terhadap berbagai fenomena kehidupan (aktif), filsafat, keilmuan, budaya, seni, politik, dan agama, lebih-lebih sastra agar kita tidak “iri” terhadap seseorang dan institusi apa pun.  
Chairil Anwar, W.S. Rendra, Pramodya, D. Zawawi Imron, Wiji Tukul, bukanlah sosok sebagai penyair an sich yang hanya paham satu keilmuan, sosok ini memahami disiplin ilmu yang lain, misalnya ilmu alam, sosiologi, filsafat, psikologi, kebudayaan, antropologi, dan disiplin ilmu yang lain, maka wajar jika kritiknya cukup tajam dan tepat sasaran. Sasarannya terhadap paradigma keilmuan yang waktu itu masih minim. Persoalannya akankah penyair hari ini masih ingin berkutat di gang-gang, wilayah-wilayah (darul) dan menutup mata terhadap yang lainnya? Saya kira bukan saatnya kita mengaku kritikus sastra hanya untuk mengkritik si pengarang, akan tetapi bagaimana kita belajar untuk mengkritik karya itu sendiri, kritik karya ini saya kira lebih cerdas dan mencerdaskan juga filosofis.  
Maka sastra mistik, saya hadirkan untuk menyatukan jurang yang tajam dan pemisahan yang tajam, yang dicipkan oleh penyair dan sastrawan sendiri. Sastra mistik adalah sastra yang tidak lepas dari renungan realitas (refleksivitas) yang selalu melibatkan Tuhan di dalamnya. Tentu ketika saya menyebut Tuhan bukan Tuhan yang ada dalam agama Islam an sich, akan tetapi Tuhan pun harus dimaknai secara luas, yaitu Tuhan dalam agama-agama dunia.
Di dalam sastra mistik ada nilai-nilai universal (nilai kemanusiaan, nilai budaya, nilai agama, nilai pemikiran, dan nilai-nilai yang lain) yang harus dibaca lebih dalam dan kritis lagi, sebab apa yang tampak itu hanyalah fenomena yang terus merayu kita untuk bergelut tanpa ada ujungnya.    
Inilah yang membedakan dengan “Maklumat Sastra Profetik”-nya Kuntowijoyo yang ia menjelaskan: “Keinginan saya dengan sastra ialah sebagai ibadah dan sastra yang murni. “Sastra ibadah” saya adalah ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agama saya, dan sastra murni adalah ekspresi dari tangkapan saya atas realitas “objektif” dan universal. Demikianlah, “sastra ibadah” saya sama dan sebangun dengan sastra murni. Sastra ibadah adalah sastra. Tidak kurang dan tidak lebih.
Kuntowijoyo melahirkan sastra profetik karena melihat sastra Islam di Indonesia belum ada wajahnya, wajar kemudian jika beliau gelisah melihat perkembangan sastra Islam di Indonesia masih jauh dari jangakuan para penyair dan sastrawan. Artinya Kuntowijoyo berpikir di ruang sastra Islam belum berpikir sastra sebagai ilmu yang jangkauannya luas dan jauh atau sastra kosmopolitan.
Sekarang kita berada di abad kontemporer, abad yang menuntut kita berpikir lebih maju dan cepat, jadi sudah saatnya kita berpikir “diksi-diksi kontemporer” dan saya sendiri ingin melampuai hal itu (sastra profetik), sebab saya membaca perjalanan sastra justeru lebih, progresif dan harmonis, sastra yang selalu memberikan semangat keberagaman dan keberagamaan dalam menjalankan keilmuan. Lalu sastra apakah yang mampu menyatukan berbagai kompleksitas kesusastraan di Indonesia? Tentu sastra yang membuka diri dan memberikan peluang kepada orang lain untuk berbeda dan kita menghormati, menghargai juga mengkritisi dengan etika yang baik. Itulah yang kita rindukan hari ini. Kemesraan dalam belajar, mengkritisi, membaca dan menulis. Akankah kita sebagai penyair (penyair yang sebenarnya) ingin membunuh “kerinduan”, “kemesraan” dan “harmoni” padahal semesta sudah sangat membutuhkan pohon hijau tersebut? Pohon yang memberikan oksigen untuk kelangsungan kehidupan.      
Saya sendiri sadar dan menyadari bahwa sastra mistik bukan sebuah ujung yang sudah final, akan tetapi sastra mistik sebuah jawaban atas krisis sastra yang akhir-akhir ini cukup menggelisahkan saya, karena tidak ada finalitas dalam dunia keilmuan, yang ada adalah proses perjalanan menciptakan makna-makna itulah sastra yang sebenarnya.
Dengan demikian, mari kita bermesraan dalam mengkritisi, membaca, beribadah dan membaca sastra ke depan, untuk menjaga eksistensi sastra itu sendiri, sebab kalau sastra “dikotori” oleh berbagai kritik-kritik yang kurang etis, jangan salahkan sastra kalau di diam, beku, membatu bahkan mati.

*Penyair, pemikir budaya-sosial dan mengajar di Universitas Wiraraja Sumenep

Sumber: Republika. 19 Oktober 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani