Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2013

Di muat di Minggu Pagi, no 50 TH 65 Minggu III Maret 2013

                                              Penyair Berharap ‘Gaji’ Besar dari Lomba Oleh: Matroni Muserang* Dari sekian banyak bentuk kelahiran seorang penyair kadang lahir dari ajang lomba sastra, lahir karena benar-benar ingin berproses menulis puisi, karena gejolak batin yang membuat dirinya “gila” sehingga menulis puisi, atau karena memang ada keinginan kuat untuk menulis puisi, dari sanalah lahir seseorang yang bernama penyair/sastrawan. Tulisan ini hanya sebuah apresiasi saya, walau pun ada banyak bentuk apresiasi, namun dalam hal ini saya ingin mengapresiasi dalam bentuk tulisan sederhana. Pertama saya ucapkan selamat kepada seluruh pemenang lomba Penulisan Puisi Jigja II 2012/2013 yang melahirkan antologi puisi Sebab Cinta (berisi puisi pemenang dan monine lomba tersebut). Antologi yang masih segar atau aktual di karena di cetak beberapa waktu yang lalu. Antologi yang juga memberikan wacana baru dalam memberikan apresiasi bentuk tulisan lebih menyegarkan.  

Meninggalkan Romantisme Sastra

Gambar
Diterbitkan oleh WAWASANews.com Pada Thursday, March 07, 2013 di Rubrik Esai , Sastra | Esai Oleh Matroni Muserang irman-syah.blogspot.com Mungkinkah romantisme sastra ditinggalkan?Pertanyaan ini mungkin akan dianggap sepele, tidak filosofis dan tak penting untuk dijawab. Tapi apakah kita pernah berpikir bahwa ada sekian banyak persoalan yang menyerang kita mulai dari hal yang sifatnya pribadi, komunal hingga akademik. Hal ini penting untuk direnungkan bersama, terkait adanya romantisme yang kadang membuat diri kita tidak mau berpikir dan ber-refleksi. Yang akhirnya membuat kita tenggelam di kolam kenyamanan . Bagi seorang sastrawan atau penyair, merenung, refleksi, membaca dan menulis merupakan hal yang harus dilakukan. Karena cara kerja penyair yang kreatif, emosional dalam membaca realitas, harus dilihat kembali. Lalu bagaimana dengan sastrawan atau penyair yang “eksentrik”, “urakan”, “susah diatur”, “semau aku” dan

Puisi-Puisi Matroni Muserang

Gambar
Diterbitkan oleh WAWASANews.com Pada Wednesday, January 30, 2013 di Rubrik Puisi , Sastra | 0   Ketika Waktu, Bersama waktu kuhirup angin malam Ada rasa dan makna mengigil Air di atas atap membasahi cakrawala   memikat sunyi dan bintang-bintang pada dingin senja di samudera dada Hitungan hujan meronai singgah kunang di ranjau ranjang Sisa air minum kuraba tergapai sibakan bambu yang kering Cahaya jembatan dalam gubahan puisi tak selesai aku baca Siang merana dalam sungai sepi meluka pada waktu dalam dekap awan malam   Suram terasa bagi pagi yang cerah di pucuk bulan Bagi mentari yang mencurap aura-aura di tepi lorong kosong Malam pada bulan terusap kunang di kelopak cahaya lampu Ketika matahari berdetak di jantung sarang angin mengupas mata Sarang waktu singgah di garis terdepan malam itu. sekelupas daun menguning Yogyakarta,

Puisi-Puisi: Matroni Muserang

sumber: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,48-id,41622-lang,id-c,puisi-t,Puisi+puisi+Matroni+Muserang-.phpx. Ahad, 06/01/2013 14:14 Seoalah-Olah Cinta, namun Kebencian Rahasia Kesunyian memikat, jejak balpoin menyusuri puisi Seoalah-olah cinta, namun kebencian rahasia, kesombongan sia-sia Kerenyuhan mengajak ke cakrawala Senja berganti malam Perut gersang menanti makan Entah dari mana Apakah sunyi itu hendak mengantar? Menyulamkan sepiring kedamaian Menjamui kegersangan perut-perut itu Kata-kata merindui, janji-janji Tuhan Kesabaran beku Oleh waktu Dimanakah keagungan dan kemaha-anmu? Membiarkan aku menjerit beku Mata panas berairmata Orang-orang aku benci, Tuhan pun aku benci Janji kosong, ritualku kosong, Buah-buah kosong dari sentuhan maha Maha kini hanya status Tak memiliki makna apa-apa Ritualmu sudah aku lalui Perintahmu sudah aku cermati Laranganmu sudah aku beri, tapi Keterdiamanmu sudah aku benci Yogyakarta, 2012 Panggilan Sia-Sia