Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2012

Kebudayaan Sastra Romantis

Oleh: Matrony el-Moezany* Dalam kebudayaan sastra. Sastra tidak lepas dari romatisme-romantisme di dalam kata-kata walau sebagian sastrawan atau penyair memilih kata-kata yang membakar api para politik dan para pelacur yang memang jelas tanpa tanda dan simbol, tapi yang namannya sastra itu tidak akan pernah lepas dari estetika kata-kata. Sebab kesusastraan diakibatkan oleh perluasan sampai tingkatan yang mendefinisikan dalam terma-terma semantik dengan menghubungkan antara makna premer dan makna sekunder yang ada di dalamnya. Sekunder yang melingkupi objek-objek yang diketahui, membuka karya bagi beberapa pembacaan. Di antara pemahaman dan eksplanasi dalam romantisme, itu bersifat epistemologi dan ontologis. Ia mempertentangkan dua metodologi dan tiga lingkup realitas, alam,   pikiran dan rasa. Suatu distribusi berbeda akan konsep pemahaman, eksplanasi dan interpretasi yang digugestikan oleh analisa wacana yang dihasilkan sebagai sebuah peristiwa, maka kita dapat memahami se

Bahasa Kata dan Makna

Oleh: Matrony el-Moezany*   Memasuki era modern yang semakin banyak maraknya wacana dalam pemikiran kontemporer yang tidak hanya mengidentifikasikan suatu tema penting, namun juga suatu kebutuhan yang mendesak untuk re-elaborasi problematika bahasa yang menandai zaman. Bahasa seperti yang dikutip oleh Martin Heidegger adalah sebagai tempat tinggal manusia ( the house of being ), karena dengan bahasa kita dapat mengungkap apa yang kita inginkan. Dengan bahasa pula, makna hadir dengan bebasnya dalam atmosfir kesadaran kita. Bahasa adalah satu-satunya pilihan untuk menampakkan realitas yang kita pun tidak mampu meredamnya. Lalu bagaimana memahami makna, bahasa itu dan bagaimana kita merengutnya? Tentunya dengan interpretasi kita dapat melakukan semua itu. Dengan melalui interpretasi suatu perubahan teks bahasa ke dalam suatu teori yang sistematis dan komprehensif, yang berusaha mengeksplanasikan keutuhan bahasa manusia dalam beragam cara penggunaan di mana bahasa itu diletakk

Aku

  Lapar aku, makan aku, minum aku, tidur aku, lelap aku, bangun aku, mandi aku, Belajar aku, kerja aku, waktu aku, usia aku, mati aku, engkau aku, kami aku, Aku aku, padahal satu aku?   Jogja 2011

Puisi, Dimanakah Kuburmu?

Oleh: Matroni el-Moezany* Akhir-akhir ini kita banyak berdiskusi tentang penyair atau kepenyairan, akan tetapi jarang kita menemukan diskusi apa itu puisi? Bagaimana puisi itu seharusnya? Mengapa harus puisi? Siapa puisi itu sebenarnya? Berangkat dari pertanyaan inilah, kemudian puisi akhir-akhir ini hanya berada di ruang-ruang koran dan di ruang-ruang diskusi setelah itu hilanglah puisi. Lalu kemana puisi itu sebenarnya mengalir, tidur dan “mati” dimana? “Mati” bukan berarti puisi itu terkubur dan tidak dibaca dan di tulis, akan tetapi “mati” yang maksud adalah “mati” dalam ranah apresiasi, baik dari kalangan penguasa, kalangan penerbit, dikalangan anak-anak didik dan negara masa kini. Maka “mati” di sini adalah kurangnya penghargaan terhadap semua penulis. Kalau kita berkaca ke negara tetangga (Malaysia) di sana ada penyair negara. Jadi apresiasinya begitu besar terhadap para penulis. Indonesia saat ini belum ada hal itu dan ini di aku oleh semua kalangan penulis,

catatan 4/9/12

aku akan sampai tepat dihatimu. hidup, damai dan bahagia aku menuju di depanku kau datang menyapa inilah bekalku ada di kamu

di Kaligalng

Gambar

Penyair Muda vs Game

Oleh: Matroni el-Moezany* Menarik apa yang di tulis oleh Fajri Andika dan Ramayda Akmal yang di muat di Minggu Pagi No 36 TH 64 Minggu I Desember 2011 yang kedua-duanya menanggapi tulisan saya, berarti Yogyakarta benar-benar ada penikmat sastra walau mereka tidak atau belum menulis sastra. Boleh mereka (Fajri dan Ramayda) berbeda pendapat dengan saya, karena kedua berasal dari paradigma yang berbeda dan itulah keindahan hidup. Fajri lebih menitikberatkan pemuda dan game, kalau Ramayda sangat teoritis menganalisis tulisan saya. Keduanya memiliki tujuan yang berbeda, dan saya sangat senang karena berdialektika dalam keilmuan merupakan wadak untuk menjaga eksistensi kepenulisan, terutama sastra. Jadi dalam tulisan ini saya ingin lebih banyak menanggapi tulisan Fajri, karena Ramayda lebih teoritis yang sudah baku dan mungkin analisisnya pun dari tokoh-tokoh teoritis. Karena tulisan saya sebelumnya memang menggunkana analisis empiris.       Tapi ketika saya membaca tulisan Fajri ya

Refleksi Sastra “Mencari Akar yang Hilang

Oleh: Matroni el-Moezany* Lahirnya zaman baru yang didorong oleh semangat perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, telah membawa kita pada puncak “kebingungan” dalam menentukan pilihan hidup. Entah karena perjalanan sejarah memang seperti titu, atau ada jalan lain yang mampu merubah hidup menjadi “lebih baik” dari hari kemaren. Perkembangan ilmu pengetahuan dari kosmosentris, teosentris, hingga kita menemukan modernitas, posmo, sampai post-sekuler sekarang ini merupakan perjalanan sejarah ilmu pengetahuan yang luar biasa serius dan luar biasa bergejolak. Para tokoh yang melahirkan teori tersebut tidak serta merta berkata kosong, akan tetapi berangkat dari pengalaman empiris, pemikiran, dan rasionalitas yang rumit, maka tidak heran kalau teori-teori tersebut mampu menjelaskan kepada masyarakat dan mampu mempengaruhi masyarakat. Mengapa? Karena para tokoh memang benar-benar serius menggarap apa yang menjadi pilihannya. Maka, kita dituntut untuk beraktualiasasi dal

Di muat di Mimbar Umum Sabtu, 04 Mei 2013

ESAI : Menghadapi “Ketidakmenentuan” dengan Puisi " sebuah ulasan puisi Iman Budhi Sentosa (Orang-Orang Malioboro 1969)” Oleh: Matroni Muserang * M alioboro “banyak orang” mengatakan identik dengan para penjual dan pusat jajanan dan perhiasan, akan tetapi kalau kita melihat sedikit lebih dalam dan lebih luas, ternyata Malioboro tidak hanya sebatas itu. Malioboro menyimpan dan melahirkan banyak orang-orang hebat yang mampu menggetarkan cakrawala kesusastraan Indonesia. Malioboro sebagai pusat jajanan, maen-maen dan refreshing ketika menjadi objek untuk di baca dan dituliskan oleh orang-orang yang peka, cerdas dan kritis maka, Malioboro akan indah, bermakna, tapi tidak menutup kemungkinan Malioboro akan bermakna lain, tergantung bagaimana kita membaca dan menuliskan. Dalam esai ini, saya sedikit ingin memberi catatan kecil terhadap puisinya Iman Budhi Sentosa yang berjudul “Orang-orang Malioboro 1969” yang diambil dari antologi puisi bersama “ Anto