Sastra dan “Mati”nya Kritikus Sastra


esai yang di muat di Korang Merapi, Minggu Legi, 5 Agustus 2012
Oleh: Matroni el-Moezany*

Akhir-akhir ini banyak bermunculan penulis puisi yang tak bisa dibendung, baik di internet (penyair internet) dan maupun di Koran, inilah yang kemudian membuat kewalahan bagi orang yang mau mengkritik puisi (sastra), sehingga bisa dikatakan bahwa hari ini kritikus sastra “mati”. Maka tidak heran ketika saya dan Jufri Zaituna berdiskusi muncul tesis bahwa “sekarang penyair tidak ada, yang ada hanya penulis puisi”.   
Tapi saya optimis dan mendoakan semoga para penyair sastra internet tetap semangat membela hak rakyat kata Heri Latief (kompas.com,15 Oktober 2011). Kritik sastra menjadi sangat penting untuk dikembangkan kembali karena perkembangan sastra Indonesia mutakhir tumbuh nyaris tanpa kritik, tanpa daya, tanpa roh dan tanpa proses yang “berdarah-darah”. Kritikus dalam dunia akademik amat jarang memberikan kritik yang benar-benar menyentuh dan proaktif dalam mengembangkan kesusatraan Indonesia. Kalaupun ada, kualitasnya pun dipertanyakan banyak kalangan. Entah dalam dunia akademik lebih banyak repot mengumpulkan sartifikasi dan piala-piala, ketika sudah banyak mengumpulkan benda-benda tersebut, dia akan naik gaji dan derajat akademiknya?
Atau ada hal lain yang membuat dunia akademik jauh dari jangkauan masyarakat? Sehingga tidak heran kalau ada sebagian dosen yang berlomba-lomba untuk menerbitkan buku hanya untuk mendepat gelar Profesor dan derajat akademiknya meningkat. Sehingga mereka lupa bahwa tugas kita adalah meningkatkan kualitas pendidikan bukan meningkatkan derajat akademik yang sifatnya hanya berupa buku dan sertifikat, bukan saya tidak membutuhkan buku, akan tetapi bagaimana proses untuk menerbitkan buku benar-benar lahir dari olah pikir dan pembacaan yang serius terhadap teks semesta dan teks buku-buku berbobot.
Bukan serta-merta kita punya naskah lalu diterbitkan, tanpa mempertimbangkan kualitas tulisan, karena ada sebagian di antara mereka yang buru-buru ingin punya buku, lalu membayar penerbit untuk menerbitkan naskah. Kalau boleh saya melirih sejarah para pemikir Indonesia yang sudah banyak menerbitkan buku, mereka benar-benar mampu memberikan inspirasi kepada pembaca, sehingga sampai sekarang hasil dari oleh pikirnya mampu merubah dunia.     
Menurut sastrawan Prof. Dr. Budi Darma dalam Temu Sastrawan Indonesia III beliau mengatakan bahwa mayoritas kritik sastra akademis hanyalah artefak kering, kurang darah, kurang daging, kurang semangat hidup. Mayoritas kritik sastra akademis hanyalah ada demi kepentingan untuk ada belaka, bukannya ada untuk membawa pengaruh dan membawakan dampak yang signifikan (2010).
Katrin Bandel misalnya pernah mengatakan bahwa sistem akademis memang tampak kurang menguntungkan bagi perkembangan kritik sastra. Demi kemajuan kariernya dan kenaikan jabatan serta gaji, di Indonesia seorang dosen harus mengumpulkan nilai kum (nilai benda dan nilai sertifikat). Itu berarti bahwa dosen sebaiknya menulis di media-media yang diakui Kementerian Pendidikan Nasional saja dan lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas tulisan.
Arif Bagus Prasetyo, sebagai pemenang pertama dalam lomba kritik sastra 2007 Dewan Kesenian Jakarta mengatakan bahwa disiplin kajian budaya ikut membunuh kritikus sastra. Pengaruh kuat kajian budaya dalam ilmu sastra telah menghanguskan kritik sastra, membuat kritik sastra kehilangan fungsi evaluatifnya. Tak bisa lagi menilai bagus-buruknya karya.
Walau pun ada banyak buku yang membahas teori-teori sastra, akan tetapi hanya sebatas formalitas akademik yang kemungkinan besar jauh dari realitas kesusastraan Indonesia. Ini berkaitan juga dengan realitas pendidikan bangsa kita yang kini mulai sunyi dari realitas, sehingga yang dikedepankan bukan kualitas, tapi kuantitas hampa. Yang dikedepankan bukan pengembangan kepribadian, tapi di luar kepribadian manusia, sehingga tidak heran kalau kebanyakan anak-anak didik kita kadang bertindak di luar jangkaun pendidikan. Itulah mengapa pendidikan yang bersifat kepribadian penting untuk dikembangkan, yaitu dengan lewat jembatan sastra.
Ini sesuai dengan apa yang pernah dicita-citakan oleh Pramodya Ananta Tour dalam novelnya “Panggil aku Kartini Saja”. Untuk membangun manusia yang tangguh, bertanggunjawab, cerdas dan memiliki pemikiran yang luas, kita memang harus paham diri kita terlebih dahulu. Banyak membaca diri kita sendiri. Berpikir tentang diri kita. Sehingga kalau Gus Mus pernah mengatakan kita hidup harus seimbang antara pikir dan zikir, itu sebagai energi untuk kita sebagai insan pelajar yang memiliki tugas untuk selalu membaca, mengabdi dan menulis. Seperti apa yang Gus Mus pula katakan bahwa kita boleh punya pemikiran seliberal-liberalnya, akan tetapi satu yang penting untuk digaris bawahi yaitu jangan pernah berhenti untuk belajar.    
Putu Wijaya misalnya menegaskan bahwa sastra memang sudah tertolong tersosialisasikan pada masyarakat oleh kemurahan hati media yang menyediakan ruang sastra setiap minggu, tetapi biayanya jadi terlalu mahal. padahal media bukan ukuran kualitas sebuah karya. Selanjuntya Putu Wijaya mengatakan selera penjaga gawangnya yang dominan dan ideologi pemilik media yang memberikan cap dapat menyesatkan apresiasi masyarakat. Apresiasi sastra oleh media bisa menutup hati masyarakat.  
Jadi obsesi utama dalam sastra kita benar-benar memiliki keinginan untuk menggali pemikiran dari sejarah sastra dan teks sastra itu sendiri. Berpikir rasional, kontekstual, mendasar, dan kritis adalah mudal yang penting kita bawah ke ranah intelektual. Dan ketika sudah demikian kita akan menemukan api bila dikenali dan digali secara serius.

*Penyairdan mahasiswa filsafat pasca UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani