Rambu Solo`, Agama Kepercayaan Masyarakat Toraja

Oleh: Matroni el-Moezany*

Rambu Solo` adalah sebagian dari warna beragam budaya yang sangat kaya, yang saat ini sudah mengakar dalam kepercayaan masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan, meskipun ada di tengah hiruk-pikuk zaman yang kian maju dan berkembang.
Rambu Solo` merupakan upacara pemakaman untuk menghormati orang yang telah meninggal sebagai pertanda hormat pada si mati atas jasa-jasa semasa hidupnya. Di sinilah keunikan dari tradisi Rambu Solo`, terlihat khas bahwa upacara kematian Rambu Solo` diadakan dengan sangat meriah dan mewah layaknya sebuah pesta. Upacara kematian ini tidak sedikitpun melambangkan upacara kematian, tetapi lebih berupa pesta perayaan.
Di dalam upacara pemakaman Rambu Solo`, kesedihan tidak terlalu tergambar diwajah-wajah keluarga. Hal ini dikarenakan mereka punya waktu yang cukup untuk mengucapkan selamat jalan kepada si mati. Jenazah biasanya disimpan dalam rumah adat (tongkonan), disimpan bisa mencapai hitungan tahun. Maksud dari jenazah disimpan ada beberapa alasan. Pertama, menunggu sampai keluarga bisa atau mampu untuk melaksanakan upacara kematian Rambu Solo. Hal ini disebabkan banyaknya biaya yang dibutuhkan dalam proses penguburan seperti persiapan binatang kurban. Kedua, adalah untuk  menunggu sampai anak-anak dari si mati datang semua untuk siap menghadiri pesta pemakaman tersebut.
Menurut aturan mainnya, keluarga yang ditinggalkan harus mengorbankan banyak kerbau atau babi untuk si mati agar kerbau dan babi tadi dapat menjaga perjalanan si mati, yaitu supaya terhindar dari malapetaka yang akan muncul seiring perjalanannya menuju alam nirwana. Masyarakat Toraja memiliki kepercayaan bahwa dengan banyaknya kerbau-kerbau yang dikurbankan akan lebih cepat mengantarkan roh si mati menuju nirwana keabadian.
Bagi pemeluk kepercayaan Rambu Solo`, esensi dalam soal ini adalah sebagai pengantar dan penjaga perjalanan seseorang menuju kebahagiaan setelah mati. Seseorang yang meninggal dan jiwanya keluar dari jasadnya masuk dalam phase kehidupan baru di alam puya (alam baka), dan bertemu dengan penguasa alam puya bernama Puang Lalodongna, yang mendapat kekuasaan penuh dari Puang Matua ( Tuhan ), untuk mengatur dan menertibkan kehidupan arwah-arwah manusia yang sudah meninggal. Pada saat arwah si mati menghadap puya, ia akan ditanya sudah seberapa baikkah upacara kematianmu dilaksanakan dengan baik sesuai aturan yang berlaku? Yaitu dengan banyaknya kurban kerbau-kerbau yang dipersembahkan. Jika ternyata belum selesai dan tidak sesuai aturan yang benar, maka arwah si mati tidak diperbolehkan memasuki puya (alam baka) dan harus kembali ke dunia semula dan hidup dalam dunia antara kematian dan kehidupan (maya), dan arwah-arwah yang ditolak inilah yang bergentayangan dan mengganggu manusia di sekelilingnya.
Mereka mempercayai bahwa roh si mati menunggangi salah satu kerbau yang teristimewa ( kerbau belang atau bonga) dan kerbau-kerbau hitam lainnya menjaga dan mengiringi perjalanan roh si mati menuju alam nirwana keabadian.  Semakin banyak kerbau yang dikurbankan, semakin cepat dosa si mati terhapuskan dan mendapat tempat di sisi-Nya. Selain itu, semakin banyak kerbau yang dikurbankan juga akan melambangkan kelayakan kehidupan sang mendiang di alam baka. Banyaknya kerbau yang dikurbankan selain menjaga keselamatan roh si mati menuju alam nirwana, secara tidak langsung juga akan meninggalkan ketentraman batin bagi seluruh keluarga yang ditinggalkan di dunia.
Mereka menganggap bahwa orang yang telah mati, namun belum diupacarakan tradisi Rambu Solo` ini, dianggap belum mati dan dikatakan hanya statusnya masih “ sakit ”. Orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan sebagai orang yang masih hidup.
Pada masyarakat pemeluk Aluk Todolo (agama kepercayaan masyarakat terdahulu), juga pada sebagian keluarga yang telah menjadi Kristen atau Katolik, perlakuan tadi termasuk menyediakan makanan, minuman, rokok dan sirih. Pihak keluarga juga harus selalu menjaga agar “si sakit” tidak mendapat gangguan dalam bentuk apapun, termasuk menjaganya pada malam hari sampai pada diupacarakan baru bisa dikatakan “ mati atau meninggal”. Karena lamanya jenazah disimpan dan ada bersama diantara orang-orang hidup dalam keluarga, maka sedikit demi sedikit aroma kesedihan itu terkikis dan akhirnya sampai pada upacara kematiannya, kesedihan tidak terlalu tergambar pada wajah-wajah keluarga yang berduka.
Apa yang dilakukan dalam pesta Rambu Solo` sesungguhnya hanyalah sebuah simbol. Simbol dari sebuah tradisi yang turun temurun. Sebab, dalam pelaksanaan upacara ini, ada yang lebih penting; ada makna yang terkait erat dengan kepercayaan masyarakat.
Bagi masyarakat Toraja, berbicara pemakaman bukan hanya berbicara upacara, status, jumlah kerbau yang dipotong, tetapi juga soal malu (siri'). Makanya, upacara Rambu Solo juga terkait dengan tingkat stratifikasi sosial. Ukuran kemewahan dalam upacara tersebut sangat erat kaitannya dengan status sosial yang meninggal dunia, sehingga kerabat, sahabat, dan rekan kerja semasa hidupnya akan menjadi "penentu" dalam soal anggaran yang diperlukan.
Kerbau di keseharian kehidupan masyarakat Toraja merupakan hewan yang sangat tinggi maknanya dan dianggap suci. Selain itu, kerbau juga melambangkan tingkat kemakmuran seseorang, karena harga satu ekor kerbau bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah
 Dahulunya, pesta meriah hanya menjadi milik bangsawan kelas tinggi dalam masyarakat ini. Akan tetapi, sekarang mulai bergeser. Siapa yang kaya, itulah yang pestanya meriah. Di Toraja, tidak ada kesenjangan sosial pada masyarakat kalangan bawah yang tidak dapat melaksanakan upacara Rambu Solo ini. Mereka yakin upacara kematian Rambu Solo` membawa berkah bagi rakyat kalangan bawah, karena mendapat bagian daging dari kerbau-kerbau yang dipotong atau disembelih. Jadi dengan adanya kerbau sebagai simbol adat dengan kehidupan masyarakat Toraja dan terlebih dalam ritual kematian Rambu Solo ini dapat menjelaskan eksistensi dari penggelar ritual ini dengan mengedepankan kerbau sebagai simbol status dari pemiliknya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani