Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2011

Puisi. Dimanakah Kuburmu?

Oleh: Matroni el-Moezany* Akhir-akhir ini kita banyak berdiskusi tentang penyair atau kepenyairan, akan tetapi jarang kita menemukan diskusi apa itu puisi? Bagaimana puisi itu seharusnya? Mengapa harus puisi? Siapa puisi itu sebenarnya? Berangkat dari pertanyaan inilah, kemudian puisi akhir-akhir ini hanya berada di ruang-ruang koran dan di ruang-ruang diskusi setelah itu hilanglah puisi. Lalu kemana puisi itu sebenarnya mengalir, tidur dan “mati” dimana? “Mati” bukan berarti puisi itu terkubur dan tidak dibaca dan di tulis, akan tetapi “mati” yang maksud adalah “mati” dalam ranah apresiasi, baik dari kalangan penguasa, kalangan penerbit, dikalangan anak-anak didik dan negara masa kini. Maka “mati” di sini adalah kurangnya penghargaan terhadap semua penulis. Kalau kita berkaca ke negara tetangga (Malaysia) di sana ada penyair negara. Jadi apresiasinya begitu besar terhadap para penulis. Indonesia saat ini belum ada hal itu dan ini di aku oleh semua kalangan penulis, terutama penuli

Aku Membangun Wisata

Mereka membangun wisata di kerakusannya, kata konsultan. Agar hanyut kemiskinan dari jiwamu, kata seseorang Memperebutkan ikan-ikan waktu. Tak pernah menangis meminta luka di kepalanya. Tak meminta kekosongan di ruas tepi, aku tak penjarakan ikan-ikan sungai bermain di halaman rakusmu. Ketika tiba menjadi tangga, kau geser tempat menampung bara masing-masing. Kehijauan menari di matamu, makam-makam kau hiaskan kemesraan, sementara batang perjalanan kau biarkan terbakar dan kegersangan melewati pasir tak bertuan. Jalan sepatak kau bangun batu langit, kau hidupkan bunga cakrawala matamu. Sejuk rumah mengawali pembangunan, sawah-sawah terbentang kaku, pupuk mulai menggila membunuh tanah. Benih-benih ditawarkan penjajah, menjadi buru di ladangnya sendiri. Petani tak lagi bertenaga menjual keringat, menjual waktu dan menjual kaki. Sebuah tanya di ladang sunyi kembali menyeruak dari bilik airmata. Panas di kedalaman peluh tak terkuak cahaya, menari di detik ladang kemanusiaan.

Dialog Malam

Oleh: Matroni el-Moezany* Hari ke hari Maryam gelisah karena punya keinginan untuk berguru pada Habib, tetapi, itu hanya keinginan, sepertinya tidak mungkin, ragu, seorang Maryam yang penuh dosa dan kotoran, mau di terima oleh seorang Habib, yang dirinya sudah suci. Ternyata ketika Maryam bertanya pada ustadz, bahwa ternyata keraguan itu adalah penyakit dalam diri seseorang, kata ustadz, akhirnya Maryam pun sms ke Habib, jam lima pagi “Ass.. Ustadz Habib, saya Maryam muridnya Ustadz Sapujagat di Jogja, saya ingin di bimbing oleh Ustadz Habib”. Maryam pun tidur, dan mimpi atap rumahnya terbuka segi empat, dan dari lubang itu keluar kupu-kupu yang masuk ke tubuh Maryam. Setelah bangun tidur pagi jam tujuh, Maryam sms bertanya pada Ustadz Sapujagat, tentang mimpinya itu. Ustadza pun belum juga menjawab sampai Maryam menunggu dua hari belum juga ada jawaban atas mimpi itu. Dan Habib juga belum membalas sms Maryam. Selama sehari, mulai pagi Maryam menunggu balasan dari Habib, ternyata ba