Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2011

Bersama Menyambut Kepenyairan

Di muat di Minggu Pagi, No 48 TH 63 Minggu IV Februari 2011 Tanggapan atas Otto Sukatno CR Oleh: Matroni el-Moezany* Yang jelas sikap pesimisme bukan sifat sastrawan, penyair atau budayawan. Saya sepakat apa yang dikatakan Otto Sukatno CR (Minggu Pagi, no 47 TH Minggu III Februari 2011) bahwa semangat kepenyairan di Yogyakarta memang luar biasa, mulai dari adanya pengadilan puisi sampai para penyair sekaliber Iman Budhi Sentosa, Emha Ainun Nadjib dan lainnya (baca: Otto, Optimisme ‘’Literer’ seorang sastrawan) yang lebih dulu menghampiri optimisme sastra masa itu. Bagaimana sekarang? Sekarang semangat itu masih ada. Cuma caranya saja yang berbeda. Semangatnya pun juga berbeda.   Karena setiap kita memiliki cara tersendiri untuk mengadili puisi, menikmati puisi, dan menilai puisi apalagi mengadili puisi. Di samping konteksnya berbeda, juga perubahan zaman yang terus bergulir. Mulai dari proses kreativitas dan produktivitas. Mungkin pesimisme itu lahir karena mereka melihat dari ban

Wajah Baru Masterpiece Sastra Tua

Oleh: Matroni el-Moezany* Sampai saat ini karya-karya sastra tua “seakan-akan” sudah tak lagi dibaca oleh rakyat, kita hanya mengenal, bahkan ada yang hanya pernah mendengar an sich. Itulah mengapa delapan karya sastra tua dikemas dengan wajah baru secara luks dilengkapi hologram dan sertifikat (Tempo, 2/08/09 ) untuk diperkenalkan kepada rakyat bahwa sastra masih memilki sumbangsih besar terhadap tubuh Indonesia. Yang pertanyaan adalah akankah karya yang dikemas secara bagus akan laku di pasaran? Padahal karya sastra di Indonesia masih banyak rakyat yang belum suka? Buktinya ketika saya melihat karya sastra khsususnya puisi yang diterbitkan menjadi buku masih sangat banyak bertumpukan di rak-rak toko buku, padahal harganya hanya 5000, sampai 15.000 rakyat kita lebih memilih beli buku akuntan dan ekonomi, itu penting sih. Inilah sebuah realitas kecil yang terjadi di sekeliling kita. Lantas bagaimana dengan sastra tua ini yang harganya 2,15 juta dengan alasan bahwa budaya

Nyanyian Seorang Hamba

Gambar
Nyanyian Seorang Hamba Jangan sampaikan engkau akan berbagi derita bagi rakyat Terlalu sakit melihat dirimu yang masih seperti anak-anak Padahal bajumu bermiliaran harganya Hukum engkau biarkan berliku Ketidakadilan engkau biarkan bersarang Lebih mahal mana Antara bajumu dan keadilan? Antara rakyat dan kekuasaan? Apakah engkau akan seperti itu Sampai tanah menjadi samudera Atau manusia menjadi debu Sehingga yang ada hanya waktu 22. 01. 2011