Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2011

Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany*

Sumber: Harianjoglosemar. pada tanggal 16 Januari 2011 Mata Berbintang Jangan berhenti Merawat lukaku dengan lembut Terlalu pedih kakiku untuk berjalan Aku tetap tersenyum Seperti bintang-bintang dimataku Apakah kemungkinan itu akan mungkin bagiku? Hari-hariku telah kuisi dengan telaah Berjamaah bersama malam Berkidung dengan kata-kata Bersimpuh dihaluan tak bertepi Kududuk di bawah huruf Merenungi kedip mata berirama Sambil menuai angin yang semakin dingin Memeluk sajak-sajak Lalu Kutitipkan semua pada harihari Agar jadi asli dan azali Jogja, 2010 Sketsa Waktu Setelah sekian lama tak menemukanmu Sekian lama aku mencari Sekian lama aku meneduri Beralas huruf-huruf Berselimut kemelut Dan puas dengan kata-kata Kini, kubiarkan mereka bersenggama Di cangkir semesta Agar kemenduaan itu menjadi nyata Melihat kegelapan dan cahaya Lantas dimanakah mereka tidur tak ada kesunyian menyelimuti tak ada sengsara menghambat karena dalam kata mereka s

Mempertanyakan Komunitas Sastra

Di muat di Koran Minggu Pagi, Minggu I Januari 2011 Oleh: Matroni el-Moezany* Akhir-akhir ini kita banyak menjumpai komunitas-komunitas sastra yang ada di Indonesia, khsusunya di Jakarta di bawah Dewan Kesenian Jakarta (DJK), Yogyakarta dengan Dewan Kesenian Yogyakarta (DKY) dan lain sebagainnya, dan semua daerah memiliki komunitas sastra, hal inilah membawa kabar gembira dengan banyaknya komunitas sastra, perkembangan sastra semakin hari semakin pesat. Seperti apa yang di katakan  Ahmadun Yosi Herfanda  bahwa komunitas merupakan salah satu basis penting perkembangan sastra Indonesia (2010). Ketika komunitas menjadi penentu basis pertumbuhan sastra, maka yang menjadi pertanyaan adalah dalam hal apa komunitas sastra menjadi penentu dalam perjalanan sastra? Karena tidak semua sastrawan hidup di bawah naungan komunitas. Ada sastrawan yang secara otodidak menjadi sastrawan. Apakah dengan perkembangan teknologi, penulis sastra harus hidup di bawah naungan komunitas? Saya tidak tahu. Yang

Benarkah Kritikus Sastra “Mati”?

Oleh: Matroni el-Moezany* Kita dikejutkan kembali dengan “Kritikus Seni Sudah Mati” ini terkait dengan berkembangnya teknologi seperti Blogger, kelompok diskusi pembaca, juri kompetisi sastra seperti Khatulistiwa Literary Award atau Anugerah Pena Kencana (yang sering kali bukan kritikus sastra), penerbit, selebriti yang menulis endorsement atau blurb di sampul buku, pengguna Facebook atau Twitter yang mengetik komentar pendek atau mengeklik tanda jempol (Kompas/9/01/2011). Bahkan dengan berkembangnya teknologi yang kurang kreatif. Kritikus profesional diberhentikan dari media tempat bekerja karena tidak diperlukan lagi: Todd McCarthy (kritikus film) dan David Rooney (kritikus teater) dipecat dari Variety, Raymond Solokov (kritikus restoran) dipensiunkan dari The Wall Street Journal.   Sejak K. Barthes memproklamasikan ”kematian pengarang”, belum ada lagi makna orisinal. Kalaupun ada makna orisinal, makna tersebut selamanya tak terjangkau, tak dapat diringkus oleh kritikus itu sendiri

Mengapa Kau Iri Padaku

Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany* Mengapa Kau Iri Padaku Akar yang punya jalan sendiri Jalan yang terbentang Jalan kebebasan untuk diri Barangkali aku tak peduli Karena aku hidup untuk diriku Bukan apa-apa dan siapa-siapa Begitulah aku sekarang Menikmati diri bersama diri-diri yang lain Bersendiri Yogyakarta, 15 Februari, 2010 Ketidakjujuran Belum sampaikah engkau pada waktu Melihat sadarmu Yang bersembunyi dibalik bening jiwamu Hingga segala keterlihatan menjadi suram Keburaman yang seringkali Membiarkan kabut mendekat Jagalah matahari Agar terus terbit Memberikan kehangatan Hidup ini, akan terus seperti air Jika mengalir menghilangkan haus Menebarkan aroma kebahagiaan Mengajak kita Bermain di terangnya matahari dan bulan Yogyakarta, 15 Februari 2010 Keberlanjutan Selalu ada yang tersisa Dari kata, gerak yang berdiam dalam diri Lewat sajakku Keberlanjutan Keberlanjutan diri bersama puisi Menjelajahi semesta dan cela-cela cakrawala Perpus UIN, 16 Februari 2010

WiWit, Ungkapan Rasa Syukur Warga Kaligalang

Oleh: Matroni el-Moezany* Ketinggalan jaman, deso , engga’ gaul, ngapain merayakan upacara seperti itu, mungkin inilah komentar pembaca (modern) ketika melihat judul di atas. Bukannya berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, manusia dapat menciptakan apa saja yang diinginkan. Bukankah lantaran kemajuan yang dicapai, khususnya pertanian, kita tidak perlu lagi menggantungkan diri terhadap cara leluhur atau dengan cara tradisional? Barangkali kita kurang cerdas jika mengatakan demikian, walau pun potensi ke arah itu masih berkurang, kenyataanya masih ada yang mengusahakan cara-cara tradisional terutama di dusun Kaligalang, Kec. Sentolo, Desa Kaliagung, Kabupaten Kulon Progo. Buktinya warga Kaligalang masih melaksanakan upacara Wiwit ini ketika ingin panen padi.   Pelaksanaan Upacara Wiwit ini, dilaksanakan empat hari sebelum panen, kadang satu minggu, ketika padi menguning, persediaan materi sudah lengkap. Laki-laki dan perempuan boleh ikut ke ladang, tapi yang melaksana

Kapan Kita Bersama

Refleksi Akhir Tahun Oleh: Matroni el-Moezany* Sepanjang tahun 2010 banyak kita saksikan kompleksitas kehidupan. Kehidupan dipemerintahan, keagamaan, kebudayaan, politik dan partai yang semua ingin berjuang demi kebenaran masing-masing. Entah kebenaran itu memiliki makna atau tidak. Tentunya tak pantas menyebutkan apa secara detil kompleksitas itu. Penulis yakin masyarakat Indonesia, mulai dari kalangan atas sampai dusun pun tahu, apa sebenarnya yang terjadi di negeri ini? Koruptor dan pelecehan seksual yang tak kunjung usai di meja hukum menjadi wajah indah tahun 2010. Walau ada bencana, gempa, tsunami, letusan Gunung Merapi dan Bromo. Di samping banyak problem kehidupan yang lain belum tuntas. Apakah problem itu hanya berjalan di ruang subyektivitas kata Kierkegaard, sehingga ia menjadi tangisan perangnya melawan para menteri atau hanya sebagai pembelaan bagi orang awam? Problem yang memang tanggungjawab negara dibiarkan saja, belum selesai masalah ini, kita munculkan lagi isu it