Manusia Bodoh


Oleh: Matroni el-Moezany*

Sebenarnya apa yang dimaksud manusia bodoh? Sangat sulit untuk mendefinisikan, tapi untuk melengkapi catatan ini, tidak apa saya artikan; manusia bodoh adalah manusia yang tidak memiliki pengetahuan apa pun, tidak pernah membaca, tidak pernah belajar dan tidak pernah mau memahami. Tapi ketika dikaitkan dengan bangsa kita. Apakah ada manusia bodoh? Kalau boleh menjawab tidak ada. Karena semua masyarakat Indonesia semua pintar. MPR, DPR, Menteri, apalagi presiden. Jadi manusia bodoh akan berbeda arti bahwa manusia bodoh adalah orang-orang yang tidak pernah mau membaca dan memahami dirinya sendiri. Jadi kalau sudah tidak mau membaca dan memahami dirinya sendiri, tidak heran kalau masyarakatnya di biarkan saja. Ada bencana, ada koruptor, semua dibiarkan. Walau pun ada hukum yang memperoses koruptor tapi jalan itu tidak akan menghasilan apa yang diharapkan masyarakat. Karena yang menghukum dan di hukum sama-sama koruptornya, jadi sama deh.
Korban bencana, misalnya mereka di biarkan, tanpa rumah, tanpa bantuan, tanpa empati. Kini mereka dibiarkan hidup di chelter yang di bangun ala kadarnya, yang sebenarnya tidak layak di huni. Itulah ketika terjadi pembentukan manusia bodoh. Pendidikan pun demikian. Di sekolah dan universitas guru dan dosen menjadi “dewa”, merintah ini dan itu. Dan para siswa dan mahasiswa mau diperbudak oleh “dewa-dewa” yang bernama guru dan dosen. Padahal dosen dan guru bukan Tuhan, mereka hanya memiliki status guru dan dosen, guru dan dosen hanya menang status. Padahal belum tentu guru dan dosen menjadi ladang ilmu pengetahuan. Anehnya status itu menjadi sakral dan dijadikan dewa oleh siswa dan mahasiswa.
Sistem yang dibangun bukan untuk siswa dan mahasiswa menjadi lebih cerdas, melainkan untuk menciptakan manusia bodoh. Jadi mahasiswa dan siswa hanya patuh terhadap “dewa” itu, kebebasan berfikir sudah di berangus oleh sistem yang begitu rapi dan santun. Suatu ketika saya datang ke Fakultas Ushuluddin, untuk meminta memori wisuda, yang itu memang hak saya, padahal waktu saya bukan lagi mahasiswa yang bisa di berangus dengan sistemnya, kebetulan saya menjadi ketua alumni, karena saya tidak memakai sepatu, memori wisudah tidak di kasih, hanya karena saya tidak memakai sepatu. Akhirnya saya pulang, dan tidak kembali lagi karena saya tidak mau.
Sistem menjadi nomer satu, sedang pendidikan mereka tidak peduli. Mengapa? Mereka kerja untuk sistem, bukan untuk perkembangan pendidikan. Tak heran kalau pendidikan kita tidak ada kemajuan sama sekali. Walau pun kulikurum berganti seperti apa pun, selagi mereka-mereka tidak mau untuk mengembangkan pendidikan, saya yakin pendidikan bangsa ini tetap berjalan di ruang “saku” tak kemana-mana. Diam. Itu tadi, para pelajar bukan lagi bertujuan untuk belajar dan membaca, akan tetapi sudah di cekoki oleh sistem yang tidak mencerdaskan. Mengapa hal ini bisa terjadi di pendidikan kita? Pertama sistem pendidikan yang tidak mencerdaskan, kedua pelajarnya tidak mau membaca, ke tiga para pelajar tidak memiliki tradisi membaca, ke empat para pelajar tidak takut kalau tidak membaca, melainkan takut kalau di hukum oleh sistem yang tidak mencerdaskan tersebut. Bahkan sampai hari ini ada dosen yang berbisnis dengan anak didiknya sendiri, seperti harus membeli buku tulisannya sendiri, walau pun buku yang di tulisnya tidak mutu, ada juga dosen “kuper” kalau ada anak didiknya yang kritis, dosen ini tidak suka, akhirnya kalau kritis berpengaruh pada nilai.
Para pelajar lebih baik les di lembanga yang menerima tempat les, daripada belajar dan membaca sendiri. Mahasiswa pun demikian, mereka tak ingin membaca, bahkan mereka selama menjadi mahasiswa tak pernah membaca. Tapi hanya mengandalkan dari dosen di kelas. Ya kalau dosenya cerdas dan tidak kuper, tapi kalau dosenya sudah oon apalagi kuper. Kenapa? Dosen atau guru itu kan bukan ilmu pengetahuan. Dosen atau guru hanya status. Sekali lagi hanya status. Jadi seharusnya sebagai pelajar harus membaca dan belajar sendiri.   
Begitulah realitas pendidikan kita saat ini.  
Kalau ada pendapat lain dari anda, tolong tuliskan dengan baik. Tanggapi tulisan ini, karena ini menyangkut harga diri sebuah bangsa yang bernama Indonesia, yang saat ini bangsa itu memiliki maling-maling.

*Penyair

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani