Mempertanyakan Komunitas Sastra

Di muat di Koran Minggu Pagi, Minggu I Januari 2011

Oleh: Matroni el-Moezany*

Akhir-akhir ini kita banyak menjumpai komunitas-komunitas sastra yang ada di Indonesia, khsusunya di Jakarta di bawah Dewan Kesenian Jakarta (DJK), Yogyakarta dengan Dewan Kesenian Yogyakarta (DKY) dan lain sebagainnya, dan semua daerah memiliki komunitas sastra, hal inilah membawa kabar gembira dengan banyaknya komunitas sastra, perkembangan sastra semakin hari semakin pesat. Seperti apa yang di katakan Ahmadun Yosi Herfanda bahwa komunitas merupakan salah satu basis penting perkembangan sastra Indonesia (2010).
Ketika komunitas menjadi penentu basis pertumbuhan sastra, maka yang menjadi pertanyaan adalah dalam hal apa komunitas sastra menjadi penentu dalam perjalanan sastra? Karena tidak semua sastrawan hidup di bawah naungan komunitas. Ada sastrawan yang secara otodidak menjadi sastrawan. Apakah dengan perkembangan teknologi, penulis sastra harus hidup di bawah naungan komunitas? Saya tidak tahu. Yang jelas menulis bukan hal yang harus di komunitaskan atau di asuh oleh komunitas.
Kalau pun komunitas harus ada, maka kita membutuhkan kesungguhan dan perjuangan untuk mengolah komunitas itu sendiri, karena adanya komunitas merupakan keberadaan kita untuk terus menghidupkan kehidupan komunitas, artinya lahirnya komunitas sastra di Indonesia agar tidak hanya menjadi sarana untuk adu tanding dengan komunitas yang lain.
Komunitas merupakan lahan kita untuk menumbuhkan relasi solidaritas, baik komunitas sastra, politik, budaya, agama dan komunitas lain yang ada di Indonesia. Dengan dalih relasi solidaritas itulah makna komunitas memiliki ruang untuk lebih luas lahan kerja dan dampaknya terhadap masyarakat luas. Misalnya Yogyakarta yang banyak sekali komunitas, Jakarta, Solo, Surabaya, Bandung, dan Malang, bahkan setiap perguruan tinggi memiliki komunitas lintas universitas, semua berafiliasi untuk memberikan semangat kemanusiaan dan menghidupkan eksistensi komunitasnya sendiri, padahal dengan semangat yang tinggi (semangat tanpa refleksi kritis), akan sia-sia, artinya makna kemanusiaannya sangat kurang di mata publik.
Komunitas yang di bangun dengan semangat kemanusiaan, akan memiliki semangat keagamaan, dan kultural, dengan semangat inilah komunitas memiliki ruang yang sangat luas dan tak terbatas untuk siapa saja. Eksistensi komunitas bukan di ukur dari semangat untuk memperjuangkan komunitasnya sendiri, melainkan semangat relasi solidaritas-lah eksistensi itu memiliki makna dan eksistensinya.
Komunitas sastra pun harus demikian, bagaimana kita mampu mengolah komuntitas itu dengan semangat kebersamaan. Tak ada orang lain, yang ada keluarga dan sahabat atau saudara. Ketika semuanya menjadi saudara akankah kita akan menghina dan menyingkirkan saudara kita? Tentunya tidak. Walau saudara kita salah, akankah kita bertindak anarkis? Tentunya tidak. Begitulah sedikit ajaran Rasulullah. Semangat perjuangannya lebih pada manusianya bukan pada komunitasnya.
Komunitas sebagai basis perkembangan dan pertumbuhan sastra tolak ukurnya juga demikian, sesama sastrawan atau penulis bukan saling mengadu domba, intimidasi, melainkan saling bekerja sama untuk menuju visi yang sama yaitu kemanusiaan, kebersamaan, dan relasi solidaritas. Dengan ketiga macam itulah komunitas akan menjadi basis pertumbuhan yang subur dan memiliki masa depan yang cerah.
Apa yang dikatakan bahwa sastra merupakan mata air bangsa dan  mata air inspirasi memang benar. Kalau di ruang agama dan politik mereka saling sikut sama lain, tapi dalam sastra tidak. Inilah yang harus menjadi objek kita untuk tetap memperjuangkan komunitas sastra di mata dunia. Kalau banyak Negara berperang atas nama politik, atas nama agama, maka sastra jauh berbeda dengan itu. Sastra bukan agama. Sastra bukan politik, tapi sastra adalah lahan kemanusiaan yang mampu menghidupkan kehidupan dirinya sendiri dan orang lain. Jadi siapa pun yang tidak mampu bersosialisasi atau masih ada embel-embel materi, mereka belum paham apa sastra yang sebenarnya.
Hampir sama dengan filsafat, tapi sedikit berbeda, kalau filsafat dalam menghidupkan kemanusiaannya lebih pada dataran makna, konsep, dan pemikiran, tapi kalau sastra lebih pada manusianya itu sendiri, jadi lebih di rasa baru rasionalitas. Komunitas sastra bukan komunitas diri sendiri, melainkan komunitas semua orang. Dengan komunitas seperti itulah perkembangan sastra di Indonesia menjadi berkembang dan terus tumbuh dengan mengikuti semangat zaman dan tidak melupakan arti dasar komunitas itu sendiri.
Mengapa harus komunitas sastra? Komunitas sastra adalah komunitas yang tidak mengenal ras, agama, politik, budaya atau partai. Komunitas sastra adalah komunitas semua orang, siapa pun boleh sharing dan ikut bersama. Sastra hidupnya selalu santai tapi kritis melihat realitas. Makanya tidak semua orang mampu hidup di dunia sastra. Apalagi dunia puisi.
Dunia puisi adalah dunia yang penuh dengan absurd, dengan ke-absurditasnyalah tidak semua orang mampu, kecuali para tokoh eksistensilisme yang sudah banyak menulis puisi dengan jembatan filsafatnya. Seharusnya komunitas sastra yang ada di Indonesia mampu memegang eksistensi itu, siapa pun pemegang eksistensi sastra, itulah sastrawan sekaligus filosof dunia, dan di tangan inilah filsafat dan sastra menjadi utuh, karena mampu menyeimbangkan dua dunia yaitu dunia sastra dan filsafat. Begitu pun dengan tuntutan agama bahwa engkau harus seimbang antara dunia ini dan akhirat.
Dengan demikian, proporsionalitas atau keseimbangan-lah yang benar-benar membutuhkan perjuangan bagi eksistensi komunitas sastra. Keseimbangan merupakan dunia kebahagiaan, kedamaian, dan dunia cinta. Inilah sikap humanis-sosialis-solidaritas yang dibutuhkan manusia dan komunitas-komunitas yang ada di Indonensia saat ini. Perkembangan yang tidak bisa di bendung, sikap kita adalah mencari keseimbangan di antara mereka, agar sinergi yang ada di antara komunitas menyatu. Kita boleh beda dalam bertindak, berfikir, tapi masih satu dalam memperjuangkan semangat relasi solidaritas kemanusiaan.

  
*Penyair tinggal di Yogyakarta

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Pentingnya Etika Memilih Guru dalam Keilmuan

Matinya Pertanian di Negara Petani