Benarkah Kritikus Sastra “Mati”?


Oleh: Matroni el-Moezany*

Kita dikejutkan kembali dengan “Kritikus Seni Sudah Mati” ini terkait dengan berkembangnya teknologi seperti Blogger, kelompok diskusi pembaca, juri kompetisi sastra seperti Khatulistiwa Literary Award atau Anugerah Pena Kencana (yang sering kali bukan kritikus sastra), penerbit, selebriti yang menulis endorsement atau blurb di sampul buku, pengguna Facebook atau Twitter yang mengetik komentar pendek atau mengeklik tanda jempol (Kompas/9/01/2011).
Bahkan dengan berkembangnya teknologi yang kurang kreatif. Kritikus profesional diberhentikan dari media tempat bekerja karena tidak diperlukan lagi: Todd McCarthy (kritikus film) dan David Rooney (kritikus teater) dipecat dari Variety, Raymond Solokov (kritikus restoran) dipensiunkan dari The Wall Street Journal.  
Sejak K. Barthes memproklamasikan ”kematian pengarang”, belum ada lagi makna orisinal. Kalaupun ada makna orisinal, makna tersebut selamanya tak terjangkau, tak dapat diringkus oleh kritikus itu sendiri. Menurut Barthes, makna bukanlah sesuatu yang bersemayam dalam karya dan menunggu ditemukan, melainkan diproduksi oleh pembaca. ”Kematian pengarang” adalah momen ”kelahiran pembaca”. Apakah ini yang harus dipertahankan dalam dunia sastra dan kritik sastra Indonesia.
Menurut saya, kritikus yang mencari makna orisinal dari karya seolah dituntut untuk merenungi karya dengan mata pengarang. Sesuatu yang cukup absurd karena kritikus sesungguhnya adalah orang memiliki tradisi membaca yang cukup kuat. Ia tak dapat melampaui posisinya sebagai pembaca. Jika kritikus menyadari posisinya sebagai pembaca, maka ”kematian pengarang” tidaklah mengakhiri riwayatnya sendiri, tetapi justru menjadi momen pembebasan kritikus. Sejak pengarang mati, kritikus menjadi merdeka untuk ikut bersukacita dalam nikmatnya tafsir bebas yang dirayakan khalayak pembaca.
Kalau begitu, apa bedanya seorang kritikus dengan pembaca yang bukan kritikus? Bedanya, menurut saya, terletak pada tingkat produktivitas dalam menghasilkan makna. Kritikus adalah pembaca yang bukan saja memproduksi makna, tetapi juga menghasilkan makna. Ibaratnya, ketika semua orang bisa membaca, kritikus adalah dia yang pembaca-kreatif. Orang mencipta puisi menghasilkan makna yang membedakannya dari orang membaca. Makna inilah yang diproduksi oleh sastra itu sendiri. Sastra misalnya, memberikan makna ekstra kepada bahasa, puisi memberikan makna ekstra kepada sunyi dan realitas.

Benarkah?  
Inilah pertanyaan harus dicari jawabannya, karena jika kebenarannya hanya sekedar terletak pada kebertanyaan, maka tidak heran kalau sampai saat ini kita selalu risau dan gelisah dengan kematian itu. Padahal kematian merupakan kelahiran kembali untuk lebih eksis sampai dimana batas perjuangan kritikus pembaca sastra itu sendiri.  
Saya sendiri sepakat jika kritikus sastra dan kritikus yang juga mati, karena di zaman sekarang kebanyakan orang sudah melebur menjadi satu dengan keberadaan itu sendiri. Ada kapitalisme, mereka juga ikut, ada gaya hidup mereka lebur, dan ada banyak macam perkembangan budaya dan teknologi dan kita melebur di sana tanpa ada kritik untuk membaca apalagi mengkritik.
Saat ini sangat sulit untuk mencari pengkritik, apalagi konteksnya sudah berubah dari kritis ke ketepesonaan. Pesona inilah penyakit kita saat ini. Kita melihat sesuatu yang dianggap ramai dan banyak orang menyukai (trend) kita ikut-ikut senang anehnya kita ikut arus lebur, sehingga tak mengenal dirinya lagi. Keterpesonaan inilah yang menjadi darah daging kita saat ini. Keterpesonaan inilah kemudian membuat kita tak memiliki kreativitas untuk menjadi kritikus apalagi pembaca yang baik.
Walau kebenaran masih dalam proses, tapi akankah kematian kritikus ada? Untuk saat ini kita semua menjawa ada, karena di samping kebanyakan males membaca apalagi mengkritik. Membaca saja sudah males apalagi mengkritik. Sangat di sayangkan ketika tradisi membaca sedikit mengalami keburukan. Apa yang harus kita perbuat? Selain menangisi dan mengasihani mereka. Hanya ada satu kata kasihan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani