Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2010

SADAR, MENYADARI, KESADARAN

Oleh: Matroni el-Moezany* Selintas judul di atas remeh, tak mutu, tapi tak salah kita mencoba membaca dan berpikir radik, sehingga menemukan apa makna dari ke tiga kata di atas. Dan kita refleksikan bersama, sharing, diskusi bersama, untuk menyatukan kata-kata itu menjadi kehidupan, agar apa yang diharapkan oleh ketiga kata di atas menjadi kenyataan.    Perjalanan sejarah dan ilmu pengetahuan akhir-akhir ini  menjadi angin yang selalu di serap dan di keluarkan, tanpa di ada unsur refleksivikasi kritis di dalamnya. Ilmu pengetahuan, informasi, globalisasi, kapitalisme, modernisasi, budaya asing, hedonisme, dan gaya hidup, dengan sadar semua di serap dan di rekam oleh kita. Dalam hal ini, kita membutuhkan refleksi kritis terhadap data yang di serap. Menyadari yaitu melakukan tranformasi, eksplorasi, implementasi, realisasi terhadap data yang  kita serap dari keseharian. Menyadari merupakan aktivitas, keselaluan dalam melaksanakan hasil serapan itu. Menyadari sebuah ruang dimana kita

JEJAK SPIRITUALITAS DALAM SENI

Oleh: Matroni el-Moezany*   Akhir-akhir ini kita sudah mulai menemukan karya seni yang menampilkan unsur spiritualitas, seperti Pameran bertajuk Zero to Zero yang menggambarkan transformasi spiritual di Galeri Nasional, Jakarta , 17 Oktober 2010 karya Andi Suandi. Ini awal dari perjalanan seni untuk mencari kediriannya, dalam menjalani hidup. Perjalanan yang penuh haluan dan warna membuat Andi mampu menskplorasikan imajinasinya dalam bentuk lukisan “transendental” yang kemudian membuat kita sadar bahwa perjalanan itu memang penuh keberagaman, jadi di sini kita di tuntut untuk jujur pada diri sendiri dan orang lain. Kejujuran boleh kita sampaikan lewat kata-kata, lukisan, puisi, dan cerpen atau karya sastra yang lain, karena untuk mengeksplorasikan kejujuran tak membutuhkan biaya , gratis. Tapi yang rumit melaksanakan kejujuran itu sendiri. From Zero to Zero adalah sebuah konsep sederhana dalam proses kehidupan manusia. Dari ada menjadi tiada. Dari lahir, tua, lalu mati k

Kesenian Yang Menderita

Oleh: Matroni el-Moezany* Awal-awal saya di Yogyakarta , kota Istimewa ini tak sepi dari pertunjukan kreativitas seniman, teater, dan pertunjukan kesenian lainya, mulai dari acara pembacaan puisi, musikalisasi puisi, tadarus budaya, teater, sanggar, lomba cipta puisi, cerpen, peringatan para penyair, dan ritual-ritual yang menyangkut kesusastraan dan kesenian telah banyak mewarnai daerah Istimewah Yogyakarta. Lalu apa yang bisa diberikan? Kreativitas yang ada di Yogyakarta hanya berkutat di ranah panggung dan wacana? Walau Kreativitas harus memperjuangkan saku sendiri, bantingan seniman, tanpa ada orang plat merah yang melirik Yogyakarta tetap menjadi ruang kreativias seseorang. Seniman selalu bersahabat dengan kreativitas. Arti bersahabat itu adalah seniman amat mencintai kreativitas itu sendiri dan sebaliknya kita tetap setia kepada keseharian kita. Apa pun yang diperintahkan seni, sastra, dan budaya, menjadi keselaluan. Suara sastra, seni dan budaya memberinya roh

Mencari “Juru Kunci” Sastra Indonesia

Oleh: Matroni el-Moezany* Tempat-tempat imajiner. Sudah lama saya lakukan. Tepatnya sekitar 1993.  Sewaktu di Yogyakarta saya melakukan bersama Zainal Arifin Thoha (alm) dan teman-teman. Dalam perjalanan yang lebih khusyuk belakangan ini, terpetik dari perjalanan itu kesimpulan awal sekaligus akhir bahwa setiap penulis dan pengarang pastilah, harus memiliki waktu khusus, memiliki tempat dan semesta ruang di mana perjalanan imajinasi lebih sistematis, kritis dan tajam. Di sanalah ada pilihan untuk berhenti dan meninternalisasikan. Internalisasi tentang perjalanan sistematis dan serumpun peristiwa yang ditransendensikan menjadi buah karya. Demikianlah saya kemudian mendengar ada orang yang suka sekali menjadikan bak mandi sebagai kubangan imajinasi, seperti yang dilakukan Archimedes di kota Syracuse, melahirkan proklamasi pengetahuan terpenting: Dan, Karl Marx dengan dingin membiarkan satu per satu keluarganya mati kelaparan lantaran bertahan dalam tempat pemujaan, Perpustakaan Lon

Surat Dari Waktu

Sebenarnya banyak kata yang bertebaran di cakrawala Tapi mengapa bintang masih terlihat cerah? Begitulah sebenarnya sajakku berkata pada kita Berkata lewat siang malam Yang tak henti-henti menyuarakan bahasa Tuhan Bahasa yang tak semua kita menemukan Seluas jiwa menangkap luka, sederet masa Bertebaran di detak jantung rahasia Kutanam tunas kata didaratan Sementara waktu memilih dunia lain Surat itu menjaga jendela dan pintu Ia tak ingin surat pertamanya melukai semesta Surat itu datang kembali Bertuliskan bencana-bencana kekinian Jogja, 2010

Nyanyian Palsu

Sudah lama aku simpan dikotak jiwa Sarapan masa yang tak banyak kita tahu Gelap terang cahaya malam Tak juga kuhiraukan nyanyian cahaya mengutusku Lewat pesan tanda dan makna Entah mengapa aku tetap tak menyampaikan Banyak sajak kulahirkan Banyak dosa kuberikan Banyak rasa kusampaikan Tapi mengapa tak banyak perubahan yang kuberikan Jogja, 2010