Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2010

Sepeda Onthel dan Warisan Budaya Yogyakarta

Gambar
Oleh: Matroni el-Moezany* Naik sepeda onthel ga’ gaul, cewek-cewek tidak melihat aku, ndeso, mungkin kita mendengar bahasa modern seperti itu dan itulah yang kemudian menjadi obrolan kita sehari-hari. Cewek dan cowok. Jadi onthel untuk dunia modern menjadi barang haram bahkan di benci. Bahkan kampus-kampus Yogyakarta, jarang kita menemukan onthel di parkiran. Entah ini karena mahasiswa sudah semua kaya atau mereka malu menggunakan sepeda onthel. Onthel sebagai salah satu warisan budaya Yogyakarta secara turun-temurun mampu beradaptasi secara aktif dengan unsur budaya luar yang datang dari mancanegara, sehingga perkembangannya tetap kokoh dalam kehidupan masyarakat Jogja. Proses adaptasi seni budaya ini berlangsung secara damai, harmonis, dan menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Ini terlihat eksistensi onthel yang sampai saat ini masih di pakai oleh masyarakat Yogyakarta, baik dari dalam maupun masyarakat pendatang. Walau pun keberadaan sepeda onthel tergerus perk

Hari Kedua

Kukirim pesan pada langit Meminta pertanggungjawaban Atas perlakuan yang menimpa cakrawala Hingga ia sakit dan gelisah dengan malam Hari ketiga jawaban itu berbisik di jendela kecil Bersuara pelan dan senyum lirih Entah apa yang dibawa “Kubawa deritamu bersamaku, ke semesta tak berwaktu Karena alam ini sudah renta dan tak mampu Menolong kita” Yogyakarta. 2010

Pesan Terakhir

Siapakah yang tahu batas waktu Di surau engkau mencari Ditepian sana engkau menanti Diperaduan engkau mengadu Dikesepian engkau merayu Di dunia ini, engkau mencari ketakterbatasan, tapi Mengapa engkau terbatas dengan ketakterbatasan Engkau mengatakan cinta, Engkau tuliskan, padahal ia sudah habis di Rumi, Adawiyah, dan Gibran, Sungguh gagal engkau mempromosikan cinta saat ini Lalu pesan apa yang engkau berikan? Jogja, 2010

Kau Bunuh Kata dengan Wajahmu

Diketinggian harap, engkau buat celah Kau bunuh puisiku dengan sentilan Dari dalam cermin kau lihat mata jernih Pelan-pelan kuikuti selembar jejakmu di luar sana Tapi aku belum paham mana yang bermakna puisi Kuikuti dikedalaman sana Untuk mencari cela kecil yang mungkin masih rapuh Mungkin kubisa memperindah bangunanmu Hari perhari wajahmu makin nyata dalam ingatan Entah karena waktu masih menyimpan atau engkau masih menunggu Wajah putih kau siramkan disuramnya malam Tubuh lembut kau biarkan berlabuh di tiang senja Berlabu di punggung keinginan Tiap malam senyummu mengalir dengan rapi Kusimpan diperapian untuk kesuburan hati ini Entah kapan engkau membiarkan keikhlasanmu Kau bunuh kata-kataku di tepi wajahmu Kau biarkan jiwa luluh di samping senyummu Kini, wajah itu bertepi dipangkuan Berdialog tentang keberlanjutan Tapi kemenungguan tetap jadi kemenungguan Semua kata yang tak sempat aku sampaikan lewat Pesan wajahmu Senyu

Memoar Kesendirian

Aku bingung Di kamar sepi Hanya musik Mengisi malam Berpikir masa depan Padahal tak sampai aku meraba Ujung dari sebuah cita Pisahan jarak Memukul waktu Kesendirian kelam dalam Di angan yang jauh Kucoba Menghadirkan bara Walau belum nyala Pengok, 13 Juni 2010

Sang Pelihat

Kubayangkan tubuh seperti cakrawala Pesawat, kalelawar, angin, tumbuhan, dan segala peristiwa Berada di cela ruang berbeda Kubentangkan dada Menghiruf matahari senja Ketanyakan pada mereka Berikan aku tak melimpah ruah Hujan kembali turun Kuintip dari jendela Sang pelihat pun datang Berbisik pelan Menyampaikan pesan Ia tahu Bahwa segala detik adalah peristiwa Penuh makna di balik sang pelihat

Kau Bunuh Kata dengan Wajahmu

Diketinggian harap, engkau buat celah Kau bunuh puisiku dengan sentilan Dari dalam cermin kau lihat mata jernih Pelan-pelan kuikuti selembar jejakmu di luar sana Tapi aku belum paham mana yang bermakna puisi Kuikuti dikedalaman sana Untuk mencari cela kecil yang mungkin masih rapuh Mungkin kubisa memperindah bangunanmu Hari perhari wajahmu makin nyata dalam ingatan Entah karena waktu masih menyimpan atau engkau masih menunggu Wajah putih kau siramkan disuramnya malam Tubuh lembut kau biarkan berlabuh di tiang senja Berlabu di punggung keinginan Tiap malam senyummu mengalir dengan rapi Kusimpan diperapian untuk kesuburan hati ini Entah kapan engkau membiarkan keikhlasanmu Kau bunuh kata-kataku di tepi wajahmu Kau biarkan jiwa luluh di samping senyummu Kini, wajah itu bertepi dipangkuan Berdialog tentang keberlanjutan Tapi kemenungguan tetap jadi kemenungguan Semua kata yang tak sempat aku sampaikan lewat Pesan wajahmu Senyum Tingkah Bunga Atau sekedar kec

AKU PULANG SEBENTAR

menginjakkan kaki karena kerinduan membawa matahari manyampaikan rasa untuk kembali waktu adalah abadi 2 Juli 2010