Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2010

Wajah Langit

aku ingin masuk diwajahmu Menemui resah yang nyata dalam ingatan Dalam tenggelamnya diri di kelam waktu Sinar langit membakar marahnya cakrawala Setiap pantulan adalah makna yang berharga Mencari kesejatian di antara tumpukan sampah kendaraan Di celah panasnya langit dunia Wajah sejuk kucoba menjadi obat Namun wajahnya hilang oleh sibuknya keseharian kita Di sini tiada guna bersuara lantang Karena yang ada hanya uang dan kekuasaan Aku tak mampu menumpas tuntas Walau hidup serba kelaparan Yang aku bisa hanya mengejar impian Menanti dari pagi sampai senja hari Pengok, 1 Juni 2010

Sampaikah Engkau Di Tepi

Sampaikah engkau di tepi kutakut engkau dimakan harimau bangsa Yang selalu kelaparan memakan rasa Engkau mau kemana Naik pesawat, tersenyum di tengah kelaparan Meninggalkan negeri yang sudah engkau kotori sendiri Di sana aku sendiri Menanti datangmu, bercumbu dengan waktu Tak ada nada teralun bersama rindu Kecuali hanya sepi teriris luka Demangan, 30-31 Mei 2010

Aku Harus Bagaimana Buat Ké Musthafa Bisri

Harus bagaimana ketika waktu tak membuahkan detik senja tiba bersama hujan, apa arti hujan? Apakah dimaknai air turun, gerimis, atau sesuatu membasahi? Detik tak mampu kugenggam Waktu pun luput dari pandang Kulepas seluruh raga di ladang Kemana ia harus kuterjang? Detik bertumpu mengukur seberapa luas Engkau menikmati lipatan gelombang Yang tergenang di laut tubuhmu Aku harus bagaimana Menikmati waktu detik ketika mereka tak menghiraukan Apakah harus kubuang? Atau aku harus bagaimana Multipuspose, Yogyakarta,

Menanti Jawaban Peristiwa

Berlama aku menunggu keajaiban Tak jua terjawab, kutanyakan semesta, juga belum Malam seakan menangis, di tengah sungguh benar-benar butuh Bantuan percakapan panjang dengan harus membayar Siapakah yang mau membantu Lewat secercah uang receh dan waktu yang terus mendadak Malam pun tak nyenyak kulayani Rasa tak bisa kudamaikan Resah bergelimang di ruang jiwa Menanti jawaban yang lahir dari berbagai jalan, tapi kapan? Dimanakah berbagai jalan itu? Kucari dengan do’a, kucari dengan kata, dan kucari dengan minta Belum juga memperlihatkan dirinya Sungguh benar-benar Peristiwa yang selalu kualami? Apakah kemelaratan terjawab ketakmelaratan? Seperti janjiMu Jika demikian, akankah semakin lama Engkau berikan Sementara waktu semakin sempit untuk kuberikan Sungguh benar-benar Dimanakah engkau simpan rahasia Aku sungguh butuh jawaban semesta Demangan, 25 Mei 2010

Di Balik Senyum kenangan 20 Mei 2010

Pagi itu Kuiris senyummu Kubagikan pada orang-orang sedih Senyum pun terlihat Di cela bibir Kupulang dengan sedih Lantaran mereka akan kembali Karena tak mungkin tiap hari kukasih Aku juga sangat sibuk Memikirkan kesedihan sendiri Memikirkan hari-hari, tapi Irisan senyum itu tetap kusimpan Sebagai bekal ketika ada kesempatan untuk kembali Tunggu aku Jogja, Mei 21

Sebuah Tanya di Ladang Sunyi: Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany

Sebuah Tanya di Ladang Sunyi: Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany

Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany

Gambar
Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany* Ilustrasi desa Banjar Barat Banjar Barat Hari Ini Wajahmu kini semakin suram Oleh terjangan anak-anak hedonisme Dulu, engkau sungguh ranum Masjid ramai, dan langgar ramai anak-anak mengaji Sekarang dimana kalian? Kesepian malam menjadi kesepian bulan Banjar Barat, 7 Juni 2010 Kalangka Sungaimu jernih, Sawahmu subur Jembatanmu kokoh Karena orang-orang masih ingin engkau tetap ada Banjar Barat, 8 Juni 2010 Sungai Bai Sungaimu bening Rerimbun tepianmu Membuat aku senang mandi dan nyuci Ikan-ikan manja masih seperti dulu Saat aku mancing Mengitari Menyanyi dan berharap ikan datang menyambut Banjar Barat, 9 Juni 2010 Dulu, Banjar Barat Sawah kaddu’ Sungai len-bulanan Sungai sokun Sungai asta Sungai sumber Sungai bai Sungai dukoh Dam Menjadi saksi desa ini menjadi damai Tanpa api, barah dan darah Walau kini masih seperti itu, tapi Rumahmu terjangkit penyakit uang Dan kemiskinan cakrawala Banjar Barat, 10 Juni 2010 An

Tuhan Maha Bijaksana

Oleh: Matroni el-Moezany* Malam itu aku berangkat dari kos, membawa buku Tafsir Sufi tulisannya Musa Kazhim, karena malam itu adalah malam diskusi rutin malam Jum’at. Aku, Hasan berangkat dari kos. Malam itu tak seperti biasanya, sepi. Kira-kira duapuluhlima menit berjalan, sampailah di tempat diskusi. Cahaya lampu menyala dari tiap sudut, bintang terlihat indah, pohon, dan rerumputan ikut menyertai malam itu. Di sana sudah ada Faqih dan Arif yang sudah menunggu. “Buku apa itu Ron”, Tanya Faqih “Ya, ini buku pengantar untuk kita diskusikan, kata Arif kalau kita mau fokus diskusi masalah filsafat Islam, terutama Mullah Shadra, kita harus paham buku ini” Jawab Roni tegas. Lalu Faqih membaca buku tersebut di bawah sinar lampu yang masih asyik menerangi malam. Cakrawala terang dan langit cerah membuat kami diskusi semakin hangat dan mengesankan. Seperti biasa, kami duduk melingkar. “Sekarang mulai dari mana” Tanya Faqih “Dari awal saja” jawab Tasim sebagai peserta aktif “Dari bab