Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2010

Air Mata

Suatu pagi Saat jiwa membatu keras Mengalirkan airmata Tergeletak jiwaku mencari kelembutan Tak disangka air mata Semakin deras Jiwa yang keras dan gelap Menjadi sejuk Lantaran airmata bersinar Membasahi batu-batu dalam diri Jogja, 22 Februari 2010

Titik, Koma, Kegelisahan

Bila ketidakadilan dimana-mana Kau tak mau melihat diriku Menebar rakyat-rakyat pengemis Keadilan hanya sampah serapah Dan uang adalah bunga-bunga mekar yang dikerumuni kumbang penguasa Keadilan laksana mataair bening beracun Perpus UIN, 16 February 2010

Kupanggil Keadilan

Sambil melihat penguasa Kupanggili, adikku Angin ketidakadilan Menyerang bangsa ini Miliaran ekor harimau Muncul dari istana Berwaktu-waktu lamanya Menuding rakyatku Keramaian bangsa itu Sebagai ladang besar yang hampa Dan rakyatku membatu di sampingnya Rakyatku, perhatikanlah, rakyatku Tertatih-tatih dikesunyian Di terjang ganas bangsaku Yogyakarta, 16 February 2010

Pada Sebuah Gitar

Kutempelkan cermin di gairah tubuhmu Adalah engkau yang memainkan suara milankoli Meredakan damai peti jiwaku Di tepi utara mimpi kamarku Kubermain tiap pagi Memasukkan wajah redam. Setiap darah Malam legam berhias mimpi Menjenguk setiap jam kaca Ketegaran terlihat seperi abu-abu Di tepi gitar Di wajah gitar cermin jemari dengan seribu huruf Di bibir senar-senar mendung Engkaulah gitar milankoli Dalam benak mantra-mantra Sendiri di dinding kamar Meski guguran masuk Mengubah jubah pakaianmu Gerimis suaramu Membersihkan penantian rindu Yogyakarta, 16 February, 2010

Di Kamar Rindu

Hujan turun sebelum senja Mengisi agenda malam Air tengkurep di atas atas Meresap dipelataran pertapa Angin masih sedingin rindu Ketika bertemu daun dengan sendu Kuselesaikan beberapa huruf Di ranting daun menari Mengusik keterlanjangan mataku Walau tak retak, hujan berwajah rindu Seperti selelu berganti Seperti jejak langkah Tak terasa mengapung di angkasa Yogyakarta, 16 Februari 2010

Rakyat Bertanya

Apakah mencuri dihalalkan? Tidak! Mengapa koruptor masih menebar senyum? Apakah hukum sudah tak bisa di baca? Tidak! Mengapa masih banyak ketidakadilan? Apakah bangsa peduli pada kita? Ya! Mengapa uang kita di curi? Apakah uang menjadi kuasa? Ya! Ya sudah! Jogja, 22 Februari 2010

Gejolak Batin

Api kecil Mampu menghapuskan langkah dosa, tapi Mengapa kekecilan itu membakar Seluruh tubuhmu? Menggelapkan mata Menggelapkan rasa Menggelapkan hati Menggelapkan penguasa Seperti Langit tak punya kelembutan Hanya api membakar istana Hangus habis Peradaban hancur Kamanusiaan lebur Kekuasaan tak memuaskan diri Kekayaan tak memuaskan keserakahan Semua sama Hanya untuk diri sendiri Dimanakah janjimu? Jogja, 22 Feberuari 2010

Bicaralah Walau Pahit Sekalipun

Kejujuran adalah dunia damai Disanalah aku hidup Berbagi rasa Berbagai masa Berbagi waktu Berbagi kata-kata Dengan jujur hati tak akan sakit Dengan jujur kita tak iri hati Dengan jujur kita tak dengki Aku mulai dalam diri Aku hidup dalam diri Menyeruak hati yang bersih Kini, kutaksabar menanti Jalan sepi yang berbuah rizki Jogja, 22 Februari 2010

Bumi, Cakrawala, Langit

Engkau yang damai Dengan resah aku berjalan ditubuhmu Lantaran rumah ini penuh kesombongan Kubaca tangismu yang terluka Merekam jeritmu haus dan lapar Kutahu, kau kecewa Walau tubuhmu kini retak, tapi Senyummu terurai rapi di bantai kami Engkau yang damai Jangan lupakan penguasa yang pernah melukai Biarkan mereka ditubuhmu yang luka Dengan wajah muram merah Singkirkan mereka satu persatu Ke jurang yang amat dalam Dalam bumi Dalam cakrawala Dalam langit Untuk sadar menyesali Jogja, 22 Februari 2010

Kau Menangis Untukku

Adikku… Dalam diam kudengar tangismu Dan cela-cela aliran pipimu yang mulus penuh rasa Masa depan menjadi terarah Sejuk Diamku menyimak doa-doamu Renyuh jiwaku mendengar tangis ikhlasmu Adikku, tak mungkinkah kebahagiaan untukmu? Suatu hari sungai-sungai kecil mengalir di tubuhmu Setelah kau usapkan dua tangan diwajahmu Adikku… Kau pandang wajahku yang penuh rasa Bersuara samar dengan tatap sungguh Mengapa harus engkau yang menangis Membiarkan pagi tak gembira Istirahatlah adikku Esok kutahu, kau harus bangun dengan senyum makna Dalam waktumu dan keberlanjutan damaimu Jogja, 22 Februari, 2010

Hujan Malam

Malam menjerit Karena lupa mengucapkan ba’ Teriakan melengking jauh Tak mampu kupegang Karena terlalu kecilnya nilai kemanusiaan Tubuhku bergetar Trauma akan sejarah buram Yang menimpa kota asal Tak satupun huruf kubacakan Di tengah curam kenistaan Biarkan itu membawanya Karena memang sulit memaknai Satu huruf dalam hidup, tapi Akankah ketersulitan diri merusak aliran darah Mengotorkan kejernihan jiwa? Mari kita bermain bersama 15 Februari 2010

Berharap

Kepergian diri yang jauh Kesepian terasa beku untuk disampaikan dingin malam dan musik milankolis melantun Mengisi kerinduan Aku berharap pada malam Angin tak membolehkan Berharap pada dingin, diri ini tak membolehkan hanya cukup kata-kata menemani Yogyakarta, 2010

Mengapa Ada Bunyi di Dunia ini

Mengapa ada bunyi di dunia ini? “terlentang aku menanyakan” Alangkah sepi, mati, dan lenyap kita Hanya bunyi kau tiada Sungguh luar biasa Engkau Separuh Malam, Jogja, 2010

Pantai Lombang

derak matahari menjadi gaya hidup di sini Siapa pun siapakah yang mampu menghadangnya mengingkari teriakannya mengingkari gelombang pantai berombak pelan Dari cekungan panjang Pantai ini pantai kebisingan orang-orang bisingnya menggairahkan liarnya melantunkan nafasnya di sini tak ada selain di sini, di pulau sumenep Pantai Lombang, Sumenep, 2009

Hujan Rintik Di Senja Hari

Kusendiri di kamar sepi Hanya rintik membias rindu Kubaca “Sang Pemenang Berdiri Sendirian” Terdengar suara burung yang jauh Dari cela jendela yang mulai tadi terbuka Lalu…… Kusebut nama Tuhan Mengapa matahari yang muncul? Kusebut nama matahari Mengapa bulan yang muncul? Kusebut nama bulan Mengapa bintang yang terlihat? Kusebut nama bintang Mengapa awan tebal yang datang? Kusebut nama awan Mengapa hujan yang turun? Kusebut nama hujan Mengapa air yang datang? Kusebut nama air Mengapa banjir menghadang? Kusebut nama banjir Mengapa longsor yang terjadi? Kusebut nama longsor Mengapa penguasa tak peduli? Kusebut nama penguasa Mengapa tidak ada yang adil? Ah, alangkah sepi semesta Aku sendiri berdiri sendirian Yogyakarta, Februari, 2010

Seorang Penyair Bermimpi

Malam bergelayut bergantung dalam mimpi Dalam sangkar keagungan Tubuh tinggal sepotong, menjelajah Biarkan jauh Penyair bermimpi melintasi sekat waktu Curam dan lembah dengan kata-kata Yogyakarta, 15 February 2010

Onthel Bocor

Roda telah lama melanglang buana Menjelajah ribuan angan-angan Kadang tersesat kadang juga membuat sendiri Di dalam hati Kata-kata dalam diri menciptakan Banyak lengkungan di cakrawala Sampai satu huruf terjebak Di lengkungan dan tukang tambal Dan tukang itu Diam-diam membetulkan dengan rapi Walau semesta beracun seperti ini Jogja, 15 Februari 2010

Tiap Pagi Aku Kepasar

Aku berharap pada embun Menunggu matahari dan mimpi Hingga pagi tak sepi lagi Ribuan orang di pasar bermimpi Dalam hati Aku butuh ruang lain Sekalipun engkau sibuk Memilih-memilah daun pagi Pasar Telo, Jogja, 15 Februari 2010

Ada Telefon; Kau Ketempatku

buat: Dwi Lestari ST kau siapkan makan pagi dan sepiring impian kuhabiskan berdua aku penyair juga suka makan puisi begitu bening Perpus Jogja, 15 Februari 2010

Aku Ingin

Aku ingin hidup damai Bersama langit dan bumi Hujan turun Jernih dan deras Akan kuracun cakrawala Dengan kata-kata Puisi menggetarkan semesta Gemuruh ombak Gemuruh langit Gemuruh para penyair Yogyakarta, 15 Febaruari 2010

Besok Aku di Tinggal Pulang

Adzan sudah menderu Membangunkan aku yang masih terbaring teduh Malahirkan benih-benih rindu Yang lama akan menjelma Sebuah keterpurukan waktu Culas-culas matahari Menyisakan sederet peristiwa Membiarkan kuning keemasan Mencuri sepertitiga diri Kupersiapkan jiwaku di bius tenang Kupersiapkan otakku dibius dengan tenang Kupersiapkan tidurku dibius dengan tenang Tuhan sampaikanlah Yogyakarta, 15 Februari 2010

Pena Seorang Penyair

Penaku bermain di atas akal eksitensiku Sebuah ruang memaknai adanya Banyak dunia yang tercipta Huruf ba’ yang menjelma di atas ubun-ubun Sebelum adaku larut bersama rohku Yogyakarta, 16 Februari 2010

Gubuk Damai

Bagi yang berkabut Menutupi relung-relung jiwa O, hidup hari ini, aku damai bersama diri Tempat mempertanyakan diri Walau angin membawa sayap patah Segala bunyi malam memecah keangkuhan Manusia Mencari kejernihan semesta Untuk menemui hidup Selalu ada yang baru Jogja, 16 Februari 2010

Keberlanjutan

Selalu ada yang tersisa Dari kata, gerak yang berdiam dalam diri Lewat sajakku Keberlanjutan Keberlanjutan diri bersama puisi Menjelajahi semesta dan cela-cela cakrawala Perpus UIN, 16 Februari 2010

Ketidakjujuran

Belum sampaikah engkau pada waktu Melihat sadarmu Yang bersembunyi dibalik bening jiwamu Hingga segala keterlihatan menjadi suram Keburaman yang seringkali Membiarkan kabut mendekat Jagalah matahari Agar terus terbit Memberikan kehangatan Hidup ini, akan terus seperti air Jika mengalir menghilangkan haus Menebarkan aroma kebahagiaan Mengajak kita Bermain di terangnya matahari dan bulan Yogyakarta, 15 Februari 2010

Mengapa Kau Iri Padaku

Akar yang punya jalan sendiri Jalan yang terbentang Jalan kebebasan untuk diri Barangkali aku tak peduli Karena aku hidup untuk diriku Bukan apa-apa dan siapa-siapa Begitulah aku sekarang Menikmati diri bersama diri-diri yang lain Bersendiri Yogyakarta, 15 Februari, 2010

Sepi yang Selalu Sendiri

Sepi itu berjalan sendiri Tak satu pun huruf lahir arah waktu tak bertanya Diam bukannya tak bertetangga Membiarkan dirinya terbang ke cakrawala Menikmati kesepian huruf-huruf Sehingga kata-kata nyaris tak bernyawa Apakah sepi itu punyamu Aku ingin pinjam Mau ke pesta penyair dunia Baju, sepatu, tas, celana, hp, dan wajah-wajah Sudah siap, ayo kita berangkat Berperang melawan kekosongan Walau sejenak sepi itu nakal Apakah sepi itu tak mau bersama Melepaskan lelah Merelakan angin berjuang sendiri Membiarkan kata-kata berkeringat abadi Cukup hanya diri sebagai pemenang Dalam perjuang melawan sepi Itulah kesejatian kata-kata untuk diri Yogyakarta, 2010

Ironi

Berkaca pada malam Berkaca pada siang Terpantul pada waktu Beranak pada rasa Pemenang pada diri Yogyakarta, 2010

Dua Ekor Pemangsa

Dua ekor pemangsa kau dan kami Kami hidup dikeseburan hutan, kau gusur Kau bakar hutan kami, hanya untuk pasar modern Dua ekor pemangsa itu tak mendengar Apakah karena kami terlalu kecil tak terlihat? Mereka senang, tertenyum penuh makna panjang Menghabiskan uang untuk kami Itulah yang membuat kami longsor dan mati Pasarku telah di gusur Hanya untuk kau Gunakan sendiri Diri kami hancur Tak menemukan lagi air Tak menemukan tanah akar menjalar Tanah kami sudah beton-beton Dua ekor pemangsa Membuat banjir dan bencana Kami menjadi korban keangkuhan Dan tidur dengan tanah ber-air Berlumpur dan bercampur Dua ekor pemangsa itu diam Tak peduli pada kami Rumah kami, tanah kami, tubuh kami Semua hancur karena kau Membiarkan hidup dengan sesak Membiarkan hidung kami ber-air Tak bisa bernafas Kering daun ini Roboh tubuh ini Hanya karena kebutaanmu Yogyakarta, 2010

Sebuah Perbatasan

Aku adalah sebuah perbatasan Dari puisi-puisiku dan aku menjadi titik pertemuan antara aku dan puisi Di perbatasan itu Aku tetap mencari Walau godaan terus-menerus menghianati Pelan-pelan perbatasan itu semakin jelas terlihat Seakan menguraikan sendiri makna-makna hidup Tapi itu jelas, bahwa itu adalah jawaban dari pertanyaanku Hidup sebenarnya membutuhkan pelihat Agar engkau menjadi pemula dalam menjalani Kemampuan akal tak selamanya menjadi penentu waktu Tapi, ketakmpuan diri menjadi haluan terpanjang dalam diri Dan itu tak terbatas. Tak usah engkau bertanya sesuatu di luar diri Karena jawaban itu sudah menunggu dikedalaman gerak tubuhmu Memang sulit untuk menjelaskan ini kepada kalian Tunggulah dia pasti datang menjawab semua nyeri Yang tersimpan dalam di benak ari-ari Karena jawaban itu masih mengalir dalam tubuhmu Mengikuti aliran darah dan denyut nyawa Perbatasan demi perbatasan dia lewati Hanya untuk menyampaikan jawaban itu untukmu Maka, Tunggul

Bersuara Apa Adanya

Biarkan puisi ini bersuara apa adanya Membiarkan orang-orang mencari Tapi, kedashsyatan tetap aku yang punya Tersimpan dikedalaman pencipta Aku berpuisi pada kita Bahwa aku mempuisikan adanya sendiri Puisi tak melahirkan dirinya sendiri Ia dilemparkan ke dalam semestaku Akulah yang menanggung kehidupannya Membiarkan ia bermain dengan penyair-panyair Agar ia menguasai gerakanku Untuk memikul huruf-huruf semesta Maka, kuciptakan pentas-pentas Untuk menampilkan kita dan puisi Walau engkau belum mampu Menciptakan aktual-aktual Dalam kehidupanmu Januari, Yogyakarta, 2010

Sebongkah Tanah Kering

Kubawa sebongkah tanah kering Kubaca bersama kata Kemudian lahir sebuah rasa Dan puisi-puisi semesta Yogyakarta, 2010