Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2010

Band Indonesia Miskin Kritis

Oleh: Matroni el-Moezany* Akhir-akhir ini banyak bermunculan band-band baru di Indonesia, bahkan acara TV pun memberi ruang gerak bagi mereka untuk memperkenalkan karyanya. Tapi bukan lantas tidak memiliki dampak apa-apa terhadap masyarakat Indonesia. Bahkan saking parahnya band-band itu sudah mendarah daging di jiwa anak-anak SD, apalagi SMP dan SMA, bahkan Mahasiswa. Kita mengakui betapa sangat sepinya bangsa kita tanpa musik. Tapi musik yang bukan tamba memberi semangat moralitas untuk anak didik bangsa, melainkan hanya sebatas main-main dan romantisme kosong. Mengapa? Band-band yang ada hanya berkutat di ranah cinta, cinta dan cinta. Memang bagus kalau kita memang benar-benar hakikat cinta itu sendiri. Tapi band Indonesia berkarya cinta hanya memuaskan pasar-pasar tanpa makna apa di dalamnya. Bahkan hampa. Band Indonesia yang banyak mengeluarkan tema cinta hanya sebatas hiburan, setelah pulang, hilang sudah. Artinya tema yang diusung oleh band-band Indonesia cinta untuk anak-a

Puisi Sederhana

Kata yang sederhana akan paling bermakna Ketika setiap sesuatu tersampai dengan lembut Puisi ini berasal dari orang-orang sederhana Selalu setia pada kesederhanaan Menuju cakrawala sederhanaan tak terbatas Luapan rasa yang tak bisa di bendung siapa pun Menjadi huruf di ruang yang sangat sederhana Di rak-rak yang belum terisi puisi-puisi dunia Itulah luapan yang lahir dari kesederhanaan panjang Di tengah kekayaan bunga-bunga tak bertepi Siapa pun boleh “menjadi”, tapi Kemenjadian selalu berada di lubuk terdalam Berkelindan bersama orang-orang di luar diri Menjadi rumusan kata-kata sebelum puisi Kiranya cukup untuk membuktikan Kemenjadian rasa yang tak terulang sejarah Kini rasa benar-benar menjadi penguasa dunia Di tangan para penyair Rasa sesuatu yang sangat berharga Dan inilah yang harus diperdebatkan dan diperjuangkan Bukan politik, bukan demokrasi, bukan kapitalisme, bukan hedonisme, dan bukan globalisasi Ketika rasa bermain di ruang kesederhanaan Keseh

Kemajuan di Ujung Pisau

Tidak cukup hanya suara Tidak cukup hanya ide Tapi, kata-kata dan kegelisahan Hasutan-hasutan yang tak mampu mengubahnya Karena cahaya belum terjadi Ia berada di kejauhan jarak Yang tak dapat aku tembus Engkau tak menghasilkan apa-apa Dengan kegelisahan yang terpendam Mendengarkan puisi dari para penyair Menaruh perhatian cerdas akan kata-kata Kepatuhan dalam kata Aku ingin tahu Pengulahan huruf demi huruf Sangat sedikit yang aku inginkan Nyaris tanpa keinginan Tapi, aku pasti akan kembali Membiarkan diri ini di tangan kata Tanpa membuang waktu dalam keangkuhan Pada kemauan kata yang diinginkan kita Kudorong semua kehampaan Dari sebuah benda yang tak dapat kusentuh Kulihat dari asal akar yang menjadi nasib Untuk melatih diri dalam keseharian Yogyakarta, 2010

Patung di Tengah Hujan

Hujan rintik tak menghadang Bagiku menyentuh patung-patung di pinggir jalan Engkau sampaikan pesan Lewat sepi malam itu yang dilekatkan Semua orang menyukainya Mendukumentasi, menyimpan Dalam indera-indera keabadian Patung-patung kuning keemasan Membasahi mata-mata tajam di surau-surau tepi Semakin mewaktu malam itu Semakin deras hujan mengundang patung-patung Semakin bersih wajahnya, entah dengan mata-mata Disiratkan wajah-wajah pahlawan Menyuarakan rekaman masa lalu Di benak waktu, tak terjawab seperti yang tertulis sejarah Kata-kata masih kasihan terhadap kita Karena ia masih menyimpan rasa Untuk kebersamaan dalam meraih masa-masa Di kemudian hari kini hanya sebatas hampa yang mengurung wajah-wajah mereka menyimpan untuk di jual kenapa aku harus bertanya seperti itu aku tak mampu untuk menjawab karena ketika aku harus menjawab semua sudah terjual rapi masihkah aku mempertahankan untuk kemenjawaban kata-kata yang sudah tertata dengan diri sendiri

Rekan Jejak

:Untuk seseorang yang melukai waktu Untuk sekian lama aku rawat waktu Dari haluan demi haluan masa Hanya kepada kekekalan diri di semesta Enkau tak memikirkan Betapa luka yang ke dua ini menjadi petanda yang di tandai Mungkin engkau tak mengerti kengerian itu, tapi Akankah engkau: bertanya salah apa aku padamu? Tiap hari tak terlihat wajah pemaaf Entah mengapa engkau begitu-begitu Apakah engkau iri atau karena engkau miskin Hingga tak memikirkan kata-kata Yang melukai sungai-sungai dalam diri Waktu demi waktu engkau semakin tak terpikirkan Senyummu melukai, kata-katamu mengeringkan lautan Hingga kegersangan tak ada dalam dirimu yang terjamah bunga-bunga Engkau sungguh luka di atas luka Kejam, di atas kekejaman, Aku tak memiliki kesan apa-apa, tapi Untuk melupakan itu sungguh sangat berat Apalagi engkau rekan jejak Aku tak mengerti mengapa engkau rela Mengatakan luka untuk rekan jejakmu sendiri? Ketakmengertian sungguh tak mengerti Januari, Yogyakarta,

Tengah Malam Sehabis Mimpi Membunuh Ular

Benda-benda dalam waktu Kata-kata dari tuhan Telah tersembunyikan waktu Aku di panggil untuk menghadapmu Sebagai salam keberlanjutan Yang duduk dalam sunyi Merekahkan bunga-bunga yang masih beku Yang tertetesi keringat malam Walau pada akhirnya semua menjadi nyaman Bersama gelap ombak dan hujan di kamar Akupun rebah bersama waktu Meluangkan rasa sebagai wadak hamba yang lemah Dalam mimpi semua terlihat bahagia bersama kerumunan Ketika sunyi datang membangukan, aku berada pada sebuah waktu yang tak kumengerti semua menjadi sepi merayap tubuh detik waktu terdengar di dinding memecah kesunyian malam tak ada yang belum kumengerti untuk kesekian kali menyapa malam itu tubuh menggigil tak mampu kulelapkan walau padanya aku biarkan kata-kata terlukis bersama malam-malam tak ada yang mampu menjawab walau terjawab sebagai jawaban Yogyakarta, 2010

Tak Ada Fatwa Haram di Dunia

Oleh: Matroni el-Moezany* Kata sejak dulu hanya diperuntukkan pada orang yang melakukan sesuatu yang di larang Allah. Seperti meninggalkan shalat, tidak zakat, berzinah, tidak puasa, tidak shalat jum’at. Kalau ada ulama atau kiai yang menfatwakan rebonding itu haram, itu hukum dari mana yang mengharamkan? Apakah pernah Allah mengharamkan rebonding? Uang untuk rebonding pun tak mencuri. Prakteknya pun juga halal, jadi jelas bahwa di dunia tak fatwa haram kecuali yang di larang Allah tadi. Kenyataannya, ada penguasa kita yang mencuri uang, itu tidak ada fatwa Haram, tak ada uang haram bagi penguasa. Lantas mengapa ulama itu mengharamkan. Rebonding di haramkan, tapi mencuri uang rakyat tidak haram, lantas hukum agama yang mana ketika di lontarkan kemudian tidak adil. Haramnya hanya untuk rakyat, tapi kalau untuk penguasa tidak haram. Hukum apa itu? Sepertinya ulama sudah tak memiliki apa-apa di mata umat. Dia hanya manusia yang belum mampu melihat realitas seutuhnya. Jadi jelas hukumn

Jejak Waktu yang Terlupakan

Seribu atau lebih engkau merangsang masa Menjejakkan sebagai semesta Kobaran keringat tak jua kau ingat Semangat kata kau buang-buang Walau hari-hari engkau bersama Tak lupa masa silam yang tertulis waktu Dengan nada lembut Kusambut senyum indah Di alirkan lewat cela-cela airmata Engkau tak merasa kalau jiwa ini retak Dengan mengingat jejak waktumu Engkau masih rela senyum indah Walau diri ini retak seretaknya Keseharian kau isi bersama Aku tak tahu Apakah jiwamu terasa bersemayam untukku Duduk beriringan, berjalan, dan melihat waktu berdua Hingga engkau merengkuh mimpi Dan menjadi semangkuk kata-kata Marilah lihatlah hati ini, Sambil sesekali membuai aroma angkasa Yang hampir menguning Inilah aku Untuk jiwamu yang kosong Aku berjejak dengan bingung Berlari, mendaki, dengan cepat Hanya untuk mendapatkan satu cela dalam diri Meluangkan waktu sebagai bentuk Kemenyatuan rasa dengan aku Sekarang engkau tahu Mengapa aku lupa Menghidupkan waktu Yogya

Ramuan Sabar

Masa kini adalah masa ketidaksabaran Engkau sudah tak sabar untuk menumbuhkan waktu dalam diri Makan capat saji, kerja cepat mare, semua serba cepat Mati pun juga cepat Begitulah jika engkau tak sabar dalam keseharian Semua tak kuasa menahan diri Semua tak membutuhkan detik Bahkan tak membutuhkan jejak Lihatlah waktu selagi matamu masih berkedip Berjalanlah selagi kakimu bergerak Rembulan-matahari pun seperti itu Dia selelu setia pada waktu, setia pada masa Ombak terdengar rapi, tapi Lautan masih menunggu angin Kita tertatih-tatih dalam jejak Rumput pelan-pelan menjalari angkasa Tumbuhan beranjak menuju cakrawala Itu pun karena bantuan waktu Dia hidup untuk waktu, mati pun untuk waktu Karena semua yang menentukan adalah waktu Belajarlah pada waktu Menangislah untuk waktu Bekerjalah untuk waktu Waktu adalah kesederhanaan, kesejukan dan kelembutan Engkau akan damai bersamanya Dalam mengurai ramuan ampuh kehidupan Yogyakarta, 2010

Mengapa Engkau Berbohong

Mengapa engkau berbohong? Katanya engkau akan memakmurkan negeri ini Membersihkan dari kotoran-kotoran anjing Membersihkan dari penghianat Dari maling-maling dan dari keringat-keringat palsu Mengapa engkau berbohong? Sebentar, anakku Karena sekarang yang menjadi pemimpin bukan aku Tapi orang-orang serakah Tunggu kalau nanti aku menjadi pemimpin Apa yang diinginkan menjadi pemimpin Pengabdian Bagiku pengabdian terhadap kata-kata Adalah bentuk utama dalam negara Kata-kata bukanlah kata-kata, tapi rakyat Negara ini bukanlah negera, tapi rakyat Rakyat itu suci Berasal dari sesuatu yang suci Menuju kesucian Mengapa engkau berbohong? Kalau aku berbohong, itu untuk diri sendiri Tapi kalau aku terpaksa berbohong, itu untuk orang banyak Sungguh luar biasa kata-kata pemimpin Walau dia menjadi maling republik Tapi dia masih mampu menelan ombak Mengapa engkau berbohong? aku harus berbohong, karena semua disini bohong orang bohong, semua bohong, negara bohong, rakya

Malam Saja Tak Cukup

Malam saja tak cukup untuk bermalam-malam Karena waktu tak akan pernah melupakan dirinya Siapa pun tak luput dari rengkuhan-rengkuhan detik Yang senantiasa melukiskan daun menari Kulukis malam-malam itu dengan indah Mencari keringat emas yang tersimpan Di ruang ketidakmengertian Ruang-ruang berbicara pada langit Malam pun berdialog dengan angkasa Diri ini terkulai mesra demi satu angkara Dimana kotak-kotak keramik Yang ada di istanamu? Mengapa engkau biarkan aku beralas daun Dan tidur di atas kesederhanaan Aku belajar kesederhanaan bukan dari kamu Tapi aku dapatkan dari diperjanalan menuju Ketinggian kata-kata yang segalanya menjadi ada Dan segalanya tak bisa di tukur dengan benda Dimanakah sekarang pesan itu kau simpan Padahal semua orang sangat membutuhkan kesejukan Melembabkan kegersangan keringat yang sudah berpuluhan tahun Terkuras mengejar malam-malam Apakah memang engkau sengaja Membiarkan mereka mati kegersangan Mati tanpa dimandikan Aku sendiri t

Mengapa Janjimu Kosong

Setelah sekian lama menjadi manusia biasa Engkau kini belajar menaiki mobil mewah Tak peduli uang siapa yang dibelikan Langit engkau cakar dengan senyum Dirimu engkau lukai dengan janji Angin pun engkau kotori dengan wacana Sebuah nama yang terluka Negeri yang terasa asin dari keringat Seperti laut yang selalu pada setia pada darat Seribu pulau terkapar Seribu jurang tergali Berjuta anak-anak lapar Dirimu enak-enak dengan kursi keemasan Sudah saatnya negeri ini terluka Dengan kasus tak berhala Kalian sudah diberhalakan dengan kekuasaan Di gilakan oleh kekuasaan Padahal itu semua adalah palsu Kepalsuan yang mereka duduki Tak memiliki makna apa-apa Selain hanya permainan-permainan belaka Aku tidak heran kalau dirimu Tak bertanggungjawab Karena yang menjadi daging bukanlah pengabdian, tapi Keserakahan dan keserakahan di atas segalanya Biarkan langit melihat dengan muram Biarkan laut keruh dengan keringat Biarkan angkasa penuh asap Biarkan bangsa penuh ma

Pernahkah Aku Bertanya Hidup Ini

Sebuah kata panjang dalam sejarah Terkelupas menjadi kerikil kecil Memenuhi pot-pot bunga Tak ada kita yang tak butuh kebahagiaan Mengejar impian yang tertanam sejak dini, tapi Pernahkak aku bertanya hidup ini Yang kadang tak sesuai, sesuatu yang kita inginkan Pernahkah aku berpuisi seindah hidup ini Aku seakan mencium cakrawala Karena kata-kata begitu indah dalam puisi Saat kulihat kita larut di sana Aku tak ingin melewatkan hidup itu Karena puisiku tahu apa sebenarnya hidup ini Sekarang itulah yang membuat hidup itu terjadi Aku memiliki puisi dimana hidup itu ada Ada sesuatu untuk kusukai Yaitu hidup penuh kata-kata Yogyakarta, 2010

Malukah Aku

Malukah aku Bergaya, makan, berbaju, seperti ini Tidak! Aku seperti ini bukan bantuan siapa-siapa Sendiri aku menikmati hidup, tapi Doa tetap kuminta pada ibu dan bapak Kekayaan yang ada adalah kata-kata yang mengalir Dari keringat imajinasi Membanjiri kelembutan dalam menyambut tamu Inilah aku, berimajinasi di keringat pengabdian Dari surau-suara kenikmatan semesta Memperdulikan orang lain kekayaan karena mereka keringat kerena mereka itulah aku menjadi yang lain Kekayaan tanpa yang lain adalah sia-sia Yogyakarta, 2010

Menyadarikah Aku

Menyadarikah aku Sesuatu yang terlewati dengan sadar Keterlaksanaan sudah terlihat rapi di sini Terjalin dengan indah, berbunga dan lembut Aku seperti melihat matahari terang Membajuhi tubuh-tubuh kedamaian Melindungi batas-batas keangkuhan Di tepi keramaian kata-kata Menyadarikah engkau Setelah semua penuh kemenentuan-kemenentuan Penuh kesopanan-keseponan Yang terbangun dari sadarmu sendiri Maka terlihatlah bahwa aku benar-benar ada Untuk diri dan orang lain Karena hidup hanya untuk mengabdi Mengabdi pada diri Mengabdi pada ilmu Mengabdi pada orang lain Dan mengabdi pada sesuatu yang lain Yogyakarta, 2010

Sadarkah Aku

Sadarkah aku Menjalani hidup yang penuh dosa Sadarkah aku Bergaya tanpa makna Bila tiada kemandirian dalam diri Sadarkah aku Kilau keemasan masih jauh Dari lipatan-lipatan bara yang berasap Kelembutan batu di jiwamu Mulai sejuk mencari kepastian Walau itu masih mengenang di angkasa mimpi Yogyakarta, 2010

Mengapa Aku Seperti Ini

Mengapa aku harus seperti ini Padahal tak kumengerti siapa aku Mengapa aku harus seperti ini Sementara kutakmandiri untukku Mengapa aku harus seperti ini Bergaya dengan bantuan orang tua Aku juga tak mengerti Gempuran ombak laut dalam diri Tak kuasa kutampung sendiri Akhirnya larutlah engkau dalam keseharian yang tanpa makna Yogyakarta, 2010

Mengapa Aku Seperti Ini

Mengapa aku harus seperti ini Padahal tak kumengerti siapa aku Mengapa aku harus seperti ini Sementara kutakmandiri untukku Mengapa aku harus seperti ini Bergaya dengan bantuan orang tua Aku juga tak mengerti Gempuran ombak laut dalam diri Tak kuasa kutampung sendiri Akhirnya larutlah engkau dalam keseharian yang tanpa makna Yogyakarta, 2010

Musim Panas di Akhir Oktober

Oleh: Matroni el-Moezany Musim yang panas. Langit jernih dan matahari tersenyum bersinar dengan cerah. Musim panas yang sempurna. Dan panas sekali. Menjanjikan segala sesuatu yang sensual. Tidak seperti pohon rindang. Dan itulah begian yang terbaik. Rizal duduk di terik matahari, di bawah pohon jambu. Yang beraroma lembut, tempat yang terasa asing. Karena pertama kali mengunjungi tempat itu. Talun Rejoso di Nganjuk. Lalu lintas di ramaikan oleh pasangan-pasangan pejalan kaki pada jam dua belas siang. Rasa panasnya terasa nyaman. Tahukah kau, Syifa suatu hari kelak kau akan bosan memilih kekasih seorang penulis kelaparan. “waktu di pandanginya wajah kekasihannya yang menggeleng dan tersenyum di bawah sinar matahari. Pada suatu hari di musim panas. Sebulan yang lalu. Kau tak kelihatan, Syifa menepuk perut Rizal, lalu mencium bibirnya dengan lembut “aku cinta padamu Zal”. Kau pasti gila. Namun aku juga cinta padamu, saat itu adalah musim panas yang keras bagi Rizal. Selama enam bulan

Seratus Persen Kata Jadi Luka

Oleh: Matroni el-Moezany Pagi itu pemuda itu pulang pergi dari kampusnya, Rony merasakan lelah. “ya Tuhan.” di sini aku seperti iti. “Maaf, kalau aku salah menyebutmu,” terdengar suara lembut dan lirah dalam jiwa seorang pemuda. Rony meletakkan badannya dan kembali mengucapkan “Ya Tuhan” dan membaca buku. Ia sudah membaca buku lebih dari lima kali, bukan karena buku itu bagus, tapi karena itu satu-satunya buku yang ia miliki. Halaman awalnya hilang, mungkin tersobek entah siapa yang menghilangkanya. Sudah seminggu ini Rony sudah tidak makan, lapar sekali, karena ia hanya sendiri dalam hidupnya sejak ia menjadi seorang mahasiswa. Karena Rony adalah salah satu ribuan orang yang tidak dikirim di kota besar ini, sang kawan baik hati mengundangya untuk makanmakan bersama dikosnya. Rony tidak biasa tidur sore, kadang ia terbisa tidur di mana saja. Sering kali di pinggir jalan atau berada di mesjid, atau menumpang di rumah beberapa kawannya yang mau menampugnya untuk satu dua malam. Ron

Sejati Air Mata

Kepunyaanmu Menyerikan jiwaku Setelah pintamu kau sebutkan Sepertinya sangat berat untukku Tapi, kejernihan airmata Tak sanggup kutampung Di kamar sempit dan merumpun sampah Kupeluk engkau dengan cinta Kuelus engkau dengan airmata Kulindungi engkau dengan kata-kata Karena semuanya telah menyatu dalam luka Walau pun akhirnya sejati airmata Jadi lautan yang tertata di tepi kata-kata Y0gykarta

Aku Rumput yang Terbentuk dari Batu

Dari biji keras menjadi lembut Melanglang cabang-cabang keangkuhan Menyebar ke ladang-ladang kesempurnaan Engkau tak menunjukkan kemarahan Hujan pun kau panggil pelan-pelan Untuk menyempurnakan semesta tubuhmu Kuangkat engkau menjadi hijau Yang membanjiri wajah-wajah batu Bentuk-bentuk seluruh tubuhmu Adalah bagian dari rangkaian batu-batu Yang selalu tumbuh dan tumbuh Mencapai puncak kesatuan Antara rumput dan batu Antara satu dan dua Akhirnya tak ada tiga tanpa satu Karena hanya satu tujuan rumput dan batu Yaitu aku yang jauh dalam “tidak tahu” MP, Jogja,

Kalau

Kalau saja aku penyair besar Kugapai rindu-rindu yang terkapar Di ruang keniscayaan Di balik rinai kata-kata Kusimpan rahasia besar untuk kita Kalau itu engkau butuhkan Akan datang tanpa harus engkau susah mencarinya Semuanya terarah dalam atom semesta Melukiskan kalau ia akan bilang Aku mencarimu di ruang kalau Bersama-sama melukai tirai Yang menutupi penglihatan Di sini kalau saja aku datang Kobaran bendera dalam diri Menjadi kebersamaan mencari kata Yang melukai tuhan Sudah kusimpan rapat-rapat Semua yang terkisah di ruang itu Semua yang termimpi di meja itu Kesaksian kisah kalau engkau Tak keberatan melukai diri untukku Kalau saja aku penyair besar Memang itu jadi harapan Kalau saja aku penulis besar Memang itu jadi jembatan Kalau saja aku orang besar Memang itu jadi suratan Kalau saja aku orang kaya Memang itu berjalan dalam do’a Kalau saja aku orang miskin Memang itu tidak kusuka Kalau saja, terus kalau saja Hanya kalau saja, tapi itu mun

Banyak Orang

Banyak orang mengatakan aku di tunggu dunia ini Mendengar suara angin, mendengar suara bunga-bunga Tapi mengapa aku masih mendengar suara rakyat Menjerit tak kuasa mengeluarkan airmata Hanya untuk satu bungkus nasi Seperti aku yang menunggu kalian Aku ingin jadi presiden Bertindak seenaknya Menindas rakyat Bermain dengan palsu Berkata kosong Tidak!!!! Menjeritlah si miskin Aku ingin jadi diriku saja Yang mampu jadi presiden dalam diri Tak menindas, tak seenaknya, tak palsu Aku ingin seperti itu Tapi aku ingin membunuh presiden Di luar itu Pengok, Jogja,

Kesendirian

Di kepingan tepi raksasa Sendiri menapaki jejak kapalsuan Sendiri melihat masa depan Tak satu pun terlihat bak mentari Kiranya sendiri Lebih menyenangkan Melewati virus ketakpedulian Sendiri bersama Sendiri dalam keringat Sendiri merindui Sendiri pelihati Sendiri sebagai pemula Sendiri dalam kesendirian UIN Jogja,