Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2009

Mengapa Selalu “Tidak Beres“

Oleh: Matroni el-Moezany* Setelah pelantikan para penguasa, ada banyak kasus yang terjadi pada penguasa kita. Mulai dari mentri, KPK, DPR dan MPR semua penuh dengan kasus. Entah mengap? Apakah ini ada unsur politik sehingga rakyat dibingungkan dengan kasus yang tidak jelas. Atau karena mereka ingin dikenal oleh masyarakat bahwa “akulah penerus pencuri negerap ke depan”. Aku juga tidak mengerti. Negara kita tidak pernah kekuarangan. Tapi mengapa penguasa selalu tidak beres dalam mengurus semua kewajiban dan tanggungjawabnya masing-masing? Misalnya kasus sedikit isi laporan audit BPK atas kasus Bank Century, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Kasus Soeharto, pemberian amplop kepada Panitia Khusus Rancanagan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, kasus SBY, Neoliberalisme, dan semua penguasa berkalung kasus yang ujung-ujungnya adalah uang, dan rupiah. Inilah salah satu sekian banyak kasus yang membuat Indonesia menjadi termiskin di dunia. Anehnya para penguasa bukan berupaya untuk

Menyadari, tapi Terbelenggu

Ibu, anakmu kini Duduk merenung sepanjang masa Menyesali dosa harian yang belum terhapus waktu Ibu, anakmu kini Terbalut awan tebal berbalut hujan Tak berdaya merangkai syair Ibu, anakmu kini Sudah tak sekuat kata-kata Sekali berucap sungai-sungai mengalir di bibirmu Tak ada bendungan menahanku Tak ada jeda waktu untuk istirahat Kecuali terhanyut oleh pesona awan hitam itu Sampai sedalam-dalamnya Apakah engkau ada ingin untuk mencari angin surga? Tentunya begitulah inginku ketika waktu mengingatkan Kini, hanya hati kecil yang mampu menembus rasa dalam kata Sebagai bukti kalau aku benar-benar menyadari dalam diri Tapi tidak dalam tindak, Aku tak mengerti! Mengapa mesti begitu? Jogja, 2009

Lebah

Aku bermimpi hujan lebat sekali Mendekati pandanganku Semua orang ketakutan, lari Aku dan adikku Wil Duduk melihat hujan itu Ternyata hujan datang beriring lebah Lalu menghampiri aku dan adikku Dengan kening keemasan Lebah itu berbicara padaku dan adikku “Jangan engkau makan madu Karena ia adalah tempat menghilangkan harusku” Mulai detik mimpi itu Madu yang kubeli 70 ribu Kusimpan di atas rak buku Tanpa kuminum dan kusentuh Entah mengapa mimpi itu Membuatku khawatir? padahal aku tak percaya Jogja, 2009

Embu’ *

Embu’ anakmu kini tak berdaya Oleh balutan darah kental yang melingkupi jiwa Seperti mendung ingin hujan membanjiri luka-luka Kisah waktu selama bertahun-tahun aku kosongi Hanya hegemoni kata yang tersaring rapi oleh bibir-bibir Hingga di bawa semesta ini orang-orang dengan sendiri Percaya kalau kata-kata adalah intelektualitasmu Dari teks yang memberi kabar lewat satu bibir Menjadi sejarah panjang dalam kesadaran jalanku Semacam menentang aturan Tuhan Hidupku itu Embu’ Anakmu kini tak berdaya Sudah banyak kata yang rusak Maafkanlah peradabanku ini Yang mentidakmanusiakanmu Karena sudah terlanjur hujan maka, mandilah Tiada waktu tanpa mandi dengan awan tebal di jiwa tanpa dosa-dosa jejak di kaki semua itu karena ulahku sendiri roni, hidanganmu terlalu lugu untuk menjadi penyair besar karena hanya sekecil kata engkau luangkan menerima rasa yang terkalung di leher malam Embu’ anakmu kemaren dilukai harta yang tak lama akan mati dengan anakmu sakit sekali, karena anakmu belum memiliki kat

Penyair, Petanda yang Ditandai

Ron, engkau memilih sengsara, katanya Karena engkau jadi penyair Sungguh kau tak menghargai detik waktu berjejak Kau belum merasakan bagaimana berjejak Hingga kau tak peduli angkuhmu melukai matahari Hidupmu yang serba ada, tak sadari Ia akan mati dengan jejak waktuku Kini, aku hanya menjejakkan kata Untuk merobohkan angkuhmu Boleh kau angkuh seperti itu karena hartamu Tapi, kau tak akan merasakan kebahagiaan Kau akan mengemis padaku Apa arti hidup yang mengalir dalam darahku Pengok, Jogja, 2009

Permintaan

Semenjak kurengkuh hati lembutmu Kau sandungkan rasa untuk menempelkan kata ke langit Seperti peperangan besar yang belum terjadi pada orang lain Kini kami sudah menang, dan kemenangan itu Takkan ada batu yang mampu menyandungkan kaki Untuk kembali pada ruang ketidakpastian Karena kami saat ini sudah duduk rapat dalam jalinan huruf-huruf Tuhan Pengok, Jogja, 2009

Tanpa peta

Engkau jejakkan tanpa peta Mengejar semesta agar memelukku Dimana engkau Apakah cinta yang akan memberi jalan menemukan arah Aku persembahkan diri pada orang lain Karena itu adalah diriku yang lain Biarkanlah aku rajang waktu Walau diri tak terjalin cinta dari kamu Aku kirimkan diriku yang sebagai pelengkap rasa Yang terbuang dari jiwa Jogja, 2009

Sastrawan No-Energi-Transformasi

Oleh: Matroni el-Moezany* Indonesia adalah negara plural, salah satu dari sekian banyak ragam komunitas adalah komunitas yang berorientasi sastra atau seni. Saat ini banyak sekali komunitas sastra, dan orang-orangnya juga hebat-hebat, salah di Yogyakarta yang banyak komunitas sastra, kemaren saya juga mengikuti acara balai sastra kecapi di kampus Sanata Darma, di sana membahas banyak tentang proses kreativitas kepenulisan, yang menjadi pengurus di dalamnya penyair dan sastrawan besar, seperti Dwi Cipta, Sunli Thomas Alexander, Kedung Darma Ramansa, Indrian Koto, Mutia Sukma, Retno Iswandari, dan banyak yang lainnya yang aku tidak kenal, tapi mereka adalah pejuang kesusastraan di Indonesia. Ini bukan tidak memiliki arti apa-apa, yang jelas mereka sampai sekarang masih aktif menulis di Koran maupun di buku. Masalahnya kemudian adalah mereka belum mampu untuk merubah perkembangan sastra di Indonesia, buktinya sampai saat ini belum ada pelajaran sastra sejak dini, artinya belum ada kulikul

Isya’

Kini malam mulai terlihat jelas Dengan lipatan garis bulan, dan bintang Aku merindu tengah malam yang sendu Agar percintaan ranjang menjadi aku Yang tak terhitung dengan waktu Kuraba puting langitMu Untuk membuktikan kalau Engkau benar-benar ada Karena hadirMu, jiwa ini nyaman Menikmati warna hidup yang tercemar rapuh Oleh tangan-tangan rindu Malam terus membuktikan Kalau hidup ini benar-benar palsu Tidak sesuai dengan adanya Kiranya cukup itu saja Sajak-sajakku mengisi waktu Tuhan Agar nanti kata-kata ini menjadi semesta keabadian Dalam lautan jiwaku Pengok, 2009

Magrib

Malam tak terasa menyelimuti mataku Tiba-tiba azhan terdengar memanggil Seperti mengajak ke negeri kosong yaitu sunyi sunyi yang terasing dari sajak-sajak sunyi yang merangsang untuk bercinta dan merindu Melingkari senja-senja yang tak tertutup mata Kini kurancang nyanyian manja untuk menyambut hadirMu Pengok, 2009

Ashar

Dari dhuhur mata ini tak mampu aku lelapkan bersama angin Lelah pun terasa menyengat tubuh, Ada banyak cara untuk hilang Buku sudah aku jadikan waktu Batu-batu sudah kulenturkan, agar maaf ini menjadi sajak-sajak rindu Pelan-pelang tubuh ini kuserahkan pada waktu Padahal kadang aku sangat marah Untuk mengingat aturan waktu yang kadang mengikat jiwa Tak terasa kepadatan waktu sudah menjadi-jadi Menekan detik dada untuk menghadapMu Ya, kini detak itu sudah terasa sampai pada untuk menghadapMu Pengok, 2009

Dhuhur

Kiranya sebatas tuntutan untuk mengingatMu Tanpa menyadari akan matahari Yang menyinari garis tubuhku Pengok, 2009

Subuh

Inilah perjalanan yang tak kurang Sementara aku selalu sering menghindari waktu Tuhan, Cegahnya aku masuk di jalanMu Agar aku mandi api nerakaMu Tuhan, Jangan ampuni aku Karena terlalu banyak waktu yang luka hanya karena aku Bermimpi selalu berteriak hanya dengan sajak-sajaknya Bermimpi memeluk semesta hanya dengan kata-kata Dia adalah matroni el-moezany Yang sombong karena memiliki dunianya sendiri Tapi ada kata kecil yang selalu memujimu Dan meminta ampunan hanya padaMu Pengok, 2009

Di Perjalanan Ini

Diperjalanan ini Aku menemukan banyak kata Banyak suka, banyak bahagia, dan banyak-banyak Semua terlewati dengan rasa Dengan bahasa yang terlahir Bersamaan dalam langkah kaki Langkah jiwa dan langkah-langkah Kini aku tak lupa juga melukai Tuhan Kata-kata itu melukai luka Yang tak terbahasakan penyair Lalu, siapakah yang mewakili aku Menyampaikan luka-luka itu Sehingga kesenangan semesta Tertata rapi dalam hidupku Kebahagiaan itu, kini harus dipertanyakan pada Tuhan Karena kebingungan masih membelenggu jalanku Berpikir sudah, berdo’a pun sudah Lantas apa lagi yang Engkau inginkan dari aku Sehingga jalan ini tak terlihat jelas Tiap hari aku berdialog dengan bulan Membicarakan kebahagiaan kita Kadang bulan itu menangis, karena kebingungan Memilih kebahagiaan Jogja, 2009

Menciptakan Tradisi Kesadaran

Oleh: Matroni el-Moezany* Kedatangan Miyabe ke Indonesia membuat masyarakat geger dan banyak membuahkan kontrofirsi. FPI misalnya yang mengatakan bahwa Miyabe “sang penghancur moral bangsa” dan banyak yang lainnya. Ketika FPI demikian, yang akan terjadi adalah apa yang dikatakan Wina Armada benar bahwa bahaya besar yang mengancam kebebasan berekspresi. Padahal Indonesia sudah lama membuka pintu lebar-lebar kebebasan oleh reformasi. FPI dalam hal ini sudah sampai di ranah sadar bahwa mereka sudah menjadi pejuang-pejuang yang membela fornografi. Tapi apakah kedatangan Miyabe sudah jelas-jelas fornografi? Belum tentu. Mereka tidak tahu. Mereka hanya berkoar-koar menolak Miyabe datang ke Indonesia. Mereka belum tahu, apakah film itu benar-benar ada adegan porno atau tidak. Jadi benar apa yang dikhawatirkan oleh Putu Wijaya bahwa benarkah ada kebebasan berekspresi itu? Ekspresi itu sendiri apa? Sementara yang disebut kebebasan itu apa tak ada batasannya? Putu Wijaya melanjutkan dengan men

UWRF Penguat Perkembangan Sastra Dunia

Oleh: Matroni el-Moezany* Pada tanggal 7 sampai 11 Oktober 2009 nanti Ubud Writers dan Readers Festival 2009 (UWRF 2009) siap dihelat di Ubud, Bali. Inilah salah satu bentuk kepedulian sastrawan kita terhadap perkembangan sastra Indonesia dan dunia pada umumnya. Pada perhelatan ini UWRF mengambil tema “Suka-Duka”. Karena tema memang sangat pas untuk Indonesia sebagai bangsa yang selalu di timpa musibah dan selalu ingin berkelahi baik perkelahian akal, politik dan ekonomi apalagi perkelahian korupsi. Dalam sejarahnya Suka-Duka merupakan kebijakan komunal kuno yang selama berabad-abad telah menjadi salah satu soko guru masyarakat, serta lembaga tradisional Bali. Sehingga festival kali mengambil tema Suka-Duka untuk menjadi penguat prinsip yang telah di bangun sejak lama. Kini prinsip itu menjadi pembimbing anggota lembaga kemasyarakatan tradisional, seperti banjar dan desa pekraman, untuk berlaku sebagai satu entitas tunggal dalam menghadapi perhelatan dan kesulitan hidup, maupun dalam