Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2009

Dosa Senggama Di Cakrawala

Puluhan hari dalam do’a di masjid semesta Dirumpun bunga-bunga yang melelehkan kata-kata Surau-surau batu terbilang angka cahaya yang terpendam Lagu-lagu malam I Tuhan, Ampunilah aku selalu Untuk memuliakan sabdamu. Pemilik kata-kata itu Satu-satunya ruang untuk kutitipkan namamu Dari tak terhingga ciptamu Tuhan, Kasihanilah aku selalu Bersenggama indah. Karenamu. Dengan tatapmu II Senggama yang bergejolak dalam waktu desah Merayakan mimpi nafsu bersama makhlukmu Walau tak selamanya aku berlalu dalam diri dan tangga-tangga ke cakrawala Kala langit terbentang mengurusi isi jiwa di senja, dan gelombang melepas dahaga Dan bangkit untuk menelusuri senggama malam yang hilang tergerus puisi klimaks Mendekati terus mendekat. Dalam cahaya lampu yang padam, dalam terpa dering kereta, dalam tari lirih tubuh lembut memanjat dan membelut lalu memanjat lagi, terang nafas terasa nyaring, terang lampu-lampu dan bulan maka, dalam tubuh dan secarik mimpi itu lahir dalam diam-diam merekah dalam ruh kat

Ziarah Kampung

Aku sangat minim tahu tentang Merindu Tapi, apa yang aku rasakan saat ini adalah benar kerinduan Kerinduan yang sudah satu tahun tak terbayar Kata-kata pun tak cukup untuk menampung Apalagi hanya penyair basi seperti kita Padahal aku telah menyuruh angin Menyampaikan rinduku Tapi kata-kata itu terpotong keputusasaan Menjelan kepastian yang tak terduga Apalagi semalaman tak tidur seperti burung Yang memutong tangan reroncean Sebagaimana semuanya kering tanpa daun Bernama biru Bukankah kesunyian kadang bersayap Ingin pulang kampung seperti kita Banjar Barat, 2009

Aku yang Bertanya

‘.....Di kesunyian yang lembut manja Engkaukah yang berkata itu. Atau aku, Bumi yang gempa itu, atau cakrawala yang gemetar, menggerakkan waktu Tugu jogja sudah menjadi saksi, dan rumpun-rumpun beringin Mengancam kabut, pernahkah engkau pikirkan pada senja berlalu? Ketika tiba-tiba puisiku bergema, atau kata-kata itu sendiri mencarimu Untuk matahari yang tak tersisa Sudahkah engkau baca “dirimu sendiri ketika engkau lapar” Tentang bagaimana mencari makan dan kemudian membuang milik rakyat Yang sangat engkau cintai. Anakmu misalnya. Cucumu misalnya. Ketika malam terisi selalu gelap di ujung jalan menikung Sementara engkau tak mampu meraba kegelapan Untuk mengikis tongkatmu yang sudah rapuh Bayang-bayang akalmu terasa sangat penting untuk engkau jalani Banjar Barat, 18 Sep. 09

Ketika Engkau Tidak Sadar Akan Katamu

----kesaksian untuk Indonesia Kurengkuh semesta waktu Untuk melihat gombal-gambil kata negeri ini Sementara engkau tak sadar Mulutmu yang berkata Membuat rakyatku engkau biarkan kelaparan Lalu dimanakah engkau simpan Semangat untuk merubah bangsa ini Dulu engkau akan membersihkan kemiskinan Kini engkau menumbuhkan Apa yang engkau inginkan? Luka lama belum kau sembuhkan Kini tambah parah, Apa yang kau inginkan dari negeri ini? Harta rakyatku engkau ambil Jiwa rakyatku engkau takuti Apa yang kau inginkan dari mereka? Kini mereka tak punya apa-apa Hanya diam membatu tak bergerak Karena semua tubuhnya telah kau rusak Menjadi barang tak berharga lagi Apa yang kau inginkan dari rakyatku? Rakyatku kini sudah menangis Rakyatku kini kelaparan Rakyatku kini menjadi barang murahan Kini aku tak ingin bertanya lagi Tentang rakyatku yang kau sakiti Karena sudah berabad-abad aku bersama mereka Tak ada presiden yang peduli Hanya sekedar untuk melihat dan bersuara Yogyakarta, 2009

Darah yang Mengalir di Kesunyian Malam

Seperti darah yang tak terlihat jelas Karena kamarau, aliran darah terhenti Lalu siapakah yang akan menjadi sunyi Untuk mencuri sungai-sungai dibibirmu Selain sudah tergelar rapi Mesin-mesin siap menyedot dan membakar Jurang-jurang kering, aku menunggumu, katanya, Untuk mengambil air minum Siapakah yang akan menjadi air Ketika semua sudah di pasung oleh mesin Ibu, Suaramu terjual tanpa harga di negeri ini Tubuhmu terkuras habis oleh kesesatan teknologi Yang pada akhirnya mengalami kegersangan Ketidakpuasan dan mematikan rumus-rumus gersang Karena kita terlalu sunyi untuk merasakan kata-kata Pengok, Jogja, September 2009

Indonesia dan Masyarakat Miskin

Oleh: Matroni el-Moezany* Sumber: Koran Pak Oles, edisi Agustus 2009 Mengapa Indonesia selalu disandingkan dengan kemiskinan? Itulah sejenak tema di atas kita mengartikan, tapi bagaimana kalau kita benar-benar tahu watak pemimpin kita dan bagaimana kinerja para birokrat Indonesia saat ini? Mungkin akan mengerti apa maksud dan tujuan dari tema di atas. Mari kita melihat realitas publik dasawarsa akhir-akhir ini apa yang terjadi. Ketika kita melihat teroris, kemiskinan, BBM naik, harga bahan pokok naik, kebutuhan rakyat dipermainkan, anak-anak telantar, pendidikan mahal, penggusuran rumah rakyat, pembangunan mall-mall besar, terjadinya bom, kekurangan air bersih, domokrasi kacau, politik shok, hukum seperti mainan, pengangguran, dan ketiadaan rasa kamanusiaan, itu pasti Indonesia. Dunia sudah tahu, kalau Indonesia seperti itu. Kemudian apa Indonesia? Apakah Indonesia? Apakah Indonesia sebuah Negara? Atau Indonesia hanya sekumpulan orang-orang kecil yang tidak memiliki pendidikan cukup?

Kematian Puisi Indonesia, Benarkah?

Oleh: Matroni el-Moezany* Saya sangat sepakat apa yang dikatakan Aguk Irawan MN di Kompas, Sabtu, 5 September 2009 bahwa nasib puisi di Indonesia mengalami kegetiran atau musibah kematian. Ini terlihat dari media massa yang sejak dulu konsisten memuat puisi kini sudah bisa dikata berhenti, sekarang lebih banyak penyairnya ketimbang kata-katanya di media. Penerbit pun demikian, mereka belum berani untuk menerbitkan antologi puisi. Apakah ini akibat dari minimnya penjualan buku puisi di pasaran, sehingga puisi menjadi sangat ditakuti penerbit. Puisi sekarang lebih banyak mengisi rak pribadi penyair, file, dan di benak-benak para penyair saja, karena kita harus berjuang melawan para penyair yang lain, sementara media yang mereka tujuh hanya sedikit itupun hanya sekali dalam satu Minggu, jadi sangat sulit untuk menampilkan proses kreativitas para penulis puisi di Indonesia, khususnya pulau Jawa. Mengapa pulau Jawa. Saya sudah membuktikan selama dua bulan edisi Minggu membaca Koran Tempo ya

Seruling Sunyi

Oleh: Matroni el-Moezany* Seirama dengan kuping yang mendengar suara dari balik layar kumputer, tiba-tiba tanpa di sengaja suara itu mematuk dan membawa Rizki menemui Tuhannya. Seluring yang membuat Rizki bertanya akan dirinya dan ruang yang tertutup retak tak bernama, mengapa bunyi seruling itu membuat jiwa ini memiliki ruang lain untuk selalu bertanya ketika seluring terdengar bersuara, sehingga malam itu tak ada kata-kata yang mampu mengubah jalannya suara seluring, selain diri yang selalu merindu. Karena kita terlalu sunyi untuk merasakan kata-kata. Maka bertanyalah selalu untuk merasakan adamu dalam ruang-ruang kehidupan. “Bangunlah rumah tanya dalam dirimu kalau engkau ingin selamat, saya yakin manusia hidup pasti memiliki keinginan selamat, selamat dari kemiskinan, selamat dari kelaparan dan selamat dari hal-hal yang dirimu tak nyaman” “Rizki terus berharap suara seruling tetap menjadi tanda akan kerinduan dalam menjani jejak hidup”. Pikirnya. “Tapi akankah waktu itu akan hadir

Puasa Membumikan Agama Multikultural

Oleh: Matroni el-Moezany* Agama sebagai jembatan kita untuk menuju pada Tuhan, yang sudah sejak lama menjadi tradisi kesadaran kita, tapi ketika agama dibenturkan dengan sosial dan budaya, wajah agama berubah, seperti harimau yang akan mencengram. Inilah agama yang menjadi ideologi dan kemudian mengungkung kita sendiri. Agama bukan lagi dianggap sebagai proses untuk saling menebar kasih sayang, tapi agama lebih dipahami sebagai agama yang teosentris, seakan-akan agama tidak ada keterkaitan dengan sosial. Padahal kalau kita menelaah lebih dalam dimensi multikultural ini sebenarnya sudah tersirat kuat dalam Islam dengan pernyataan bahwa Islam adalah penebar kasih sayang bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Pengejawantahan dari pernyataan tersebut tidak hanya dalam konteks teologis an sich, tetapi juga sosial budaya. Islam, seperti yang tercermin dalam sikap Rasulullah, sangat menghargai eksistensi pluralitas budaya dan pluralitas agama. Salah satu ajaran yang memperlihatkan adanya

Di Tepi Sungai Bai

Oleh Matroni el-Moezany* Pagi yang cerah menghiasi penantian. Orang-orang sudah datang untuk mencuci. Mereka ramai-ramai mandi dan mencuci dengan sabun yang sangat murah harganya. Yang penting bagi mereka bersih dan suci. Mereka sudah biasa mandi dan nyuci di sungai itu. Dari saking terbiasanya masyarakat sana. Dari pagi, siang, dan sore tidak pernah sepi. Karena begitulah kebiasaan mereka setiap hari. Sementara Lin sendiri dalam penantian. Lin juga bingung. Apa yang Lin nantikan. Di tepi sungai Bai. Sungai yang hanya di buat nyuci dan mandi. Lin terdiam. Berpikir. Tidak apa-apa menanti di sini. Sebab sungai ini tidak pernah mati dan airnya habis. Mungkin Lin harus belajar pada sungai Bai itu. Agar kehidupannya juga seperti sungai yang tidak pernah mati. Lin berpikir lagi. Tapi aku kan manusia. Yang terbatas dan tidak bisa berbuat apa-apa seperti air. Lalu, dia teringat ketika belajar filsafat di perguruan tinggi, kala itu dia belajar tentang filsafat kehidupan, bahwa dunia berasal dar

Kelemahan Inventarisasi Seni-Budaya

Oleh: Matroni el-Moezany* Seni dan budaya sebagai hak dan kekayaan intelektual bangsa, sangat disayangkan ketika karya kita diambil oleh orang yang tidak memiliki kreativitas dalam menciptakan seni. Oleh karenanya, dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, pada Pasal 10 Ayat 2 disebutkan, negara memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang jadi milik bersama, di antaranya cerita, hikayat, dongeng, legenda, tarian, koreografi, kaligrafi, dan karya seni lainnya. Kalau sudah ada hak yang melindungi seni dan budaya, yang terpentinng bagi kita hanya menekankan adanya sama kerja (bukan kerja sama) untuk melindungi hasil karya rakyat. Salah satu cara adalah sama kerja untuk mengumpulkan atau menginventarisasi seni dan budaya yang ada di daerah-daerah. Sudah sejal lama pemerintah kita sudah mengimbau kepada pemerintah daerah agar menginventarisasi seni budaya lokal yang ada di daerahnya. Namun, dari 33 provinsi yang ada di Tanah Air, hanya baru tiga provi