Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2009

Menguak Ramalan Dan Misteri Kiamat 2012

Gambar
Judul : The Mystery Of 2012, Prediksi, Ramalan, dan Kemungkinan Penulis : Gregg Braden, Peter Russell, dkk. Penerbit : Ufuk Press Tebal Buku : xi+579 hlm Cetakan : I, Juni 2009 Peresensi : Matroni el-Moezany* Banyak di antara kita yang percaya dan beranggapan bahwa kita tidak akan pernah bisa tahu kapan terjadinya kiamat, dan hanya Tuhanlah yang Maha tahu. Namun, pada dasawarsa terakhir ini, kita dikejutkan oleh pemberitaan hasil investigasi astrologi Bangsa Maya yang menguak bahwa kiamat tidak akan lama lagi. Dalam kalender bangsa Maya, diramalkan jika tahun 2012 merupakan akhir dan sekaligus awal zaman baru yang akan dipenuhi dengan darah. Banyak pihak yang bertanya apakah ada bukti ilmiah tentang kehebohan ramalan kiamat 2012 itu. Berbagai buku perihal kiamat 2012 sudah banyak diterbitkan di Barat. Di antaranya buku ini yang juga mencoba memprediksikan tentang adanya misteri pada tahun 2012. Semua itu muncul karena adanya observasi astronomi yang dilakukan oleh Suku Maya. Kita t

Indonesia dan Masyarakat Miskin

Oleh: Matroni el-Moezany* Mengapa Indonesia selalu disandingkan dengan kemiskinan? Itulah sejenak tema di atas kita mengartikan, tapi bagaimana kalau kita benar-benar tahu watak pemimpin kita dan bagaimana kinerja para birokrat Indonesia saat ini? Mungkin akan mengerti apa maksud dan tujuan dari tema di atas. Mari kita melihat realitas publik dasawarsa akhir-akhir ini apa yang terjadi. Ketika kita melihat teroris, kemiskinan, BBM naik, harga bahan pokok naik, kebutuhan rakyat dipermainkan, anak-anak telantar, pendidikan mahal, penggusuran rumah rakyat, pembangunan mall-mall besar, terjadinya bom, kekurangan air bersih, domokrasi kacau, politik shok, hukum seperti mainan, pengangguran, dan ketiadaan rasa kamanusiaan, itu pasti Indonesia. Dunia sudah tahu, kalau Indonesia seperti itu. Kemudian apa Indonesia? Apakah Indonesia? Apakah Indonesia sebuah Negara? Atau Indonesia hanya sekumpulan orang-orang kecil yang tidak memiliki pendidikan cukup? Atau apa? Pertanyaan tersebut yang terus-

Mempertanyakan Keistimewaan Kita

Oleh: Matroni el-Moezany* Kata-kata “kita” sering digunakan banyak penulis dan jurnalis sebagai suatu ucapan untuk memiliki makna positif. Mengatakan “kita” adalah sebagai manusia atau binatang yang merupakan realitas dari kenyataan yang berharga. Tapi apakah ketika “kita” hidup di abab ke-20 bisa mendorong kita untuk melakukan refleksi ulang terhadap hasil dari pemikiran mereka? Sebagai jembatan awal seperti “kita” sebagai bagain dari bangsa-bangsa primitif yang menunjukkan berbagai macam adat, budaya, nilai, sehingga ada ahli antropologi yang menganggap sebagai bayi yang baru lahir sebagai satu lembar kertas kosong yang kemudian diisi dengan kebudayaan masing-masing. Tentunya faktor lingkungan sangat berperan aktif dalam perkembangan kepribadian sehingga di antara antropologi ada yang mempersoalkan sampai saat ini. Sebab kita menjelma menurut lingkungan yang mempengaruhinya. Dalam dasawarsa akhir ini telah mengalami perkembangan yang cepat, bukan hanya dalam ilmu-ilmu biologi dan tin

Cakrawala Pemikiran Gus Mus

Gambar
Judul : Gus Mus Satu Rumah Seribu Pintu Penulis : Labibah Zain dan Lathiful Khuluq (eds.) Penerbit : LKiS Cetakan : Pertama, 2009 Tebal : xxiv + 295 hlm Peresensi : Matroni el-Moezany* KH. Ahmad Mustofa Bisri merupakan sosok tokoh yang universal,  bukan milik kalangan tertentu. Kini Gus Mus lebih banyak waktunya untuk tetap menyebarkan Islam ke berbagai daerah tanah air, bertemu dengan santri-santri dan berbagai kelompok masyarakat lainnya untuk bersilaturrahmi dan bekerja social. Melihat kegiatannya, Gus Mus tidak bias kita rumuskan siapa dianya melalui format-format status baku seperti apakah ia penyair, sastrawan, budayawan, mubaligh, cendikiawan atau apapun saja. Keterlibatan Gus Mus bersifat multideminsional. Ia juga sekedar seoarang guru rendahan di khalaqah, semacam pondok pesantren untuk ratusan bahkan ribuan anak-anak kecil di desanya di Jombang, Jawa Timur. Dari keinklusifan Gus Mus memaknai Islam, dan budaya yang muncul dari kota, bukan dari desa. Karena lumrahnya, oran

Mencari Sekolah Rakyat

Gambar
Judul Buku : Sekolah Masyarakat, Penerapan Rapid-Training Design Dalam Pelatihan Berbasis Masyarakat Penulis : Wahyudin Sumpeno Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta Cetakan : Mei, 2009 Tebal : 329 Halaman Peresensi : Matroni Muserang* Sekolah merupakan tempat mengembangkan diri, bukan hanya intelektualitas saja, tapi juga ruang untuk menggali kreativitas serta bakat yang dimiliki generasi yang diagung-agungkan sebagai penerus bangsa. Saat ini banyak sekolah yang bersaing. Bukan hanya sekolah negeri, sekolah swasti juga. Baik secara akademik maupun non akademik. Semua masyarakat tahu perbedaan antara satu sekolah dengan sekolah yang lain. Itulah yang membuat para orang tua berpikir, dimanakah anakanya akan disekolahkan? Apalagi sekarang ada sekolah yang menggunakan standar internasional. Sekolah yang sebenarnya adalah sekolah yang tidak mementingkan gengsi, namun yang harus dipentingkan adalah kemampuan siswa dalam semangat belajar u

Petani Tembakau

Engkau melindungi dari haus, lapar, Atau kekurangan uang, Ketika cahaya matahari berkelana dari langit Terlihat kicau bahagia Penghujung agustus berkemas Hari-hari serumpun bibir tembakau Menetas di pojok pipi, pahit Tanpa rasa kecewa Helai demi helai tanggal Tumbuh subur tanpa was-was Siap menyergap senyum Menanti waktu di puncak hari Engkau ingin terjaga Tubunya letih lelah pecah Kini engkau menjadi padepokan baru Di saku warna rambu-rambu Aku tak tahu harus di beri nasihat apa Uang di buat cuci tangan Mengulur sutra dari keringat Di setengah bunyi tulang demi menangkap naluri Menemukan rumah kebahagiaan Diam-diam tersenyum penuh makna Terkubur di tengah keringat tembakau tua Yang menjanjikan kenangan makna Persis waktu lalu Ketika masa kini terlihat ranum Tembakau harapan bagi kami Tak berbiji senyum atau permata buta atau engkau melihat sejenis bayang-bayang Yang terselip oleh hasil sinar yang agak samar Yogyakarta, 10 Juli 2009

Kita Baru Lahir Pagi Ini

Siapakah pagi ini yang melihat matahari pertama Dan bisa melukiskan cahaya seperti darah Sementara kita baru lahir Tiap kita pasti bisa Asal engkau sadar ada huruf di dekatmu Mengisahkan jejak-jejak para penghuruf seperti saya Bisa menghamili huruf Bisa melahirkan huruf Seperti para perempuan senja Yang tak bisa hidup tanpa huruf di dadanya Itulah potongan daun kecil Yang sedikit menyumbangkan kata Untuk engkau masak dan kita makan bersama Begitulah gambaran angin sejuk Yang terjalin dalam ruang kata-kata Sebagai pemisah antara negara dan kita Karena tanpa kita harus berteriak Kita tetap berjalan sendiri Tak seorang pun yang melirik Karena mereka sudah terlalu kaya Sementara kita tak memiliki apa-apa Tak punya modal untuk sowan Sehingga kita malu pada negara Malu pada Negara. Malu pada Negara Yogyakarta, 2009

Irama Yang Menciptakan Tuhan

Tak ada untuk ditulis Sementara ruang yang engkau cari belum ketemu Tapi mengapa tiap engkau karyakan kata Irama menjela buah semesta Tuhan-tuhan bermain bersama Menikmati irama yang aku ciptakan Musik terus bergema Mengisi kekosongan Melahirkan biji hujan Kiranya cukup sekali engkau rasakan Irisan musik yang begitu runcing Hingga engkau tak kuasa menahan bersitan-bersitan Atau engkau lawan seperti asap di waktu pagi Tapi engkau tak yakin Bila tuhan tidak mempersilahkan Engkau melewati hutan yang tidak kau kenal Jalan yang begitu jerit nesnapa Sakit yang mengiris perut tuhan Semua tercermin sebagai jeda jejak kaki pecah Karena terlalu jauh untuk mengisahkan tuhan Sementara kita hanya daun kecil yang tak bisa menjadi kaca Sapen, 15 Juli 2009

Irama Kaki

Seperti perjalanan irama Yang sedang mencari arah belantara Dia sendiri seperti api Yang tergoyang waktu karena malu Sementara angin hanya duduk menanti rindu Dikediaman yang tak pernah kulupa Menangisi luapan luas semesta Yang tergiring seperti rasa pada kita Itulah sebagian tubuhku yang mencari Melintasi irisan ilalang dan keruncingan malam Tapi irama itu masih tetap berbunyi dikejauhan sana Mengusikku dari jauh agar bunyi kucicipi Irama itu semakin jauh kudengar Entah karena kaki ini enggan berjejak Atau irama terlalu sendu dan natural, hingga Kemenyatuan tak lagi dicelakan sebagai pemisah Antara irama dan jejak kaki Yogyakarta, 12, Juli 2009

Bom

Adakah yang bisa mengisahkan sejerit halus nertapa Mengusik irisan jiwa yang tak terima kawan kita terluka Kita pasti merasakan hawa panas tak terkira Menjelma rasa yang terlukis oleh waktu Dan kita masih meraba pelan-pelan Untuk mencari irisan-irisan waktu Kini waktu terus berkemas keras pecah Karena tak seiris bawang merah kita temukan sebagai matahari Sebagai liang kamatian yang tak kita kira, padahal tidak Kita suguhkan sebuah puisi Sebagai penyejuk hawa panas itu Agar keterdamparan bom menjadi lebih bersuasana Dan kita menunggu kematian mereka di sini Yogyakarta, 17 Juli 2009

Menguak Spirit Dunia Belum Berakhir

Pendidikan telah dibabtis sebagai salah satu tonggak utama dalam menopang kemajuan bangsa. Maju mundurnya peradaban sebuah bangsa dapat dilihat dari sejauh mana kualitas pendidikan. Bangsa yang meremehkan dan menganaktirikan proses pendidikan nyata-nyata kerapuhan yang akan ditanggung di masa yang akan datang. Keseriusan dalam mengopeni pendidikan banyak bangsa tersebut secara lambat laun akan mempunyai masa depan yang cerah. Berngkat dari bahasa “kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda”, itulah kata-kata lama yang seringkali belum kita sadari. Sebab ketika sadar bahwa tidak lulus merupakan kesuksesan yang tertunda, saya yakin keputusasaan tidak akan terjadi. Sebenarnya kalau kita sabar kita akan banyak menemukan hikmah. Dengan sadar kita bertanya terhadap diri kita sendiri mengapa tuhan tidak meluluskan aku dalam ujian nasioanal? Semua pasti ada intervensi Tuhan. Kita sudah banyak melihat realitas siswa atau siswi gara-gara tidak lulus ujian nasional mereka bunuh diri. Kesadaran me

Mungkinkah Waktu Senja Terselimut Malam

Sehingga orang-orang pada kelaparan Yogyakarta, 2009

Tertawa

Ada suatu hari aku diam, berkata sesuatu Pada suatu hari semua orang serius, berkata sesuatu Ada suat hari demokrasi, politik, budaya, seni, berkata sesuatu Tapi ada suatu bahagia, karena sesuatu Ada suatu hari, sesuatu Ada sesuatu, karena sesuatu semua itu karena sesuatu yang diam tanpa ada cahaya terlihat ada hari aku tertawa sesuatu sesuatu tertawa hari-hari tertawa semuanya tertawa hanya tertawa ternyata hanya tertawa yang bisa sesuatu sesuatu yang ternyata tertawa aku bisa tertawa karena tertawa sesuatu karena sesuatu karena di sana ada mbah surif yang menyuruh aku tertawa? Yogyakarta, 2009

Catatan Cahaya Bulan

Aku ingin malam ini meluangkan waktu Mencatat cahaya bulan Aku tak yakin semua orang melihat Bahkan merasakan ada cahaya Karena ada tumpahan lain Yang mengergap sepenuh-penuh Lewat waktu yang tak disadari Padahal malam ini hanya tanda Bahwa temanmu yang masih gila Sedangkan aku ingin melanjutkan kisah cinta Sebagai malam cahaya untuk rasa Semua sudah terlanjur terjulur tersungkur Bersama waktu yang terkapar surau-surau Baris di tubuhmu menjadi tanda Kerbersamaan di pulau bunga-bunga Engkau sungguh setia Menguras segala waktu di jiwamu Kubaca bersama baris cahaya di cela awan kedinginan Disaksikan para sosiolog malam Yang menghamili teori realitas untuk puisi Ternyata hanya dingin mengantarkan Lewat bunyi bulan yang mengusik perhatian Sementra dingin tubuh tak mampu Menghirup api lajang di kening kemesraan Padahal berlama-lama menjadi pertapa bayang-bayang di atas batu hitam mencekam garam Kini temanmu bertanya Masihkah engkau menyimpan cerita kelaparan Di ruang sepi sehingga engkau bis

Kata-Kata Kosong

Mungkinkah kata menjadi matahari Padahal kekosongan menjadi bibirmu Aku katakan bahwa engkau selalu seperti kosong Engkau tertawa saja tanpa ada butir pijakan di matamu Apakah engkau memang tulis akan kata Apakah engkau memang tak ada rasa Apakah engkau memang keturunan seprti itu Hingga mata dan kekosongan selalu mewarnai bibirmu Yogyakarta, 7 Juli 2009

Separuh Perjalanan Puisi

Kami orang-orang kalah, menaruh hati pada semesta Membujuk tuhan sebagai tempat meminta, dimana kami berada Kami juga tak mengerti kalau ada makhluk bernama rasa Dan semesta di lihat seperti tanda, tentu kami memiliki nama, tapi Engkau tahu semesta dan tanda, keduanya sama dalam mata Andai saja engkau ada cukup dengan rasa Seperti kebanyakan orang, kami di sini seperti mereka Kami juga merasakan lapar, haus, tidak punyak uang Kami ingin sekali duduk bersama presiden, makan darinya Agar keterlaparan ini menjadi terisi dengan janji-janji Kami bermimpi mencintai Tapi tak ada kuasa menjalin kebaikan, hanya kerusakan Yang kami rasakan selama ini Apakah kami memang tidak diakui sebagai kami? Kami hanya bertanya, tanpa berharap jawaban Dari siapa pun, termasuk tuhan sendiri Kami lengkap berkata bersama puisi Kami cukup bertahan dalam kata Kami cukup berdarah dalam peperangan Kami cukup sendiri,….? Yogyakarta, 3 Juli 2009

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Oleh: Matroni el-Moezany* Sejak dulu sampai sekarang nama celurit, pasti identik dengan Madura, entah Sumenep, Pemekasan, Sampang, dan Bangkalan, bahkan orang Madura dianggap bersinonim dengan senjata tajam. Tetapi watak dan kepribadiannya patut di puji dan dikagunmi dengan setulus hati, kata Emha Ainun Nadjib. Padahal kalau kita lebih kritis melihat Madura secara holistik-uinversal semua orang akan terkagum-kagum dengan etika (tatakrama), agama, budaya, seni dan kerukunan antar masyarakat, ini bukannya saya membela orang Madura. Tidak, tapi setidaknya ini menjadi pemicu untuk menipiskan realitas yang dicitrakan terhadap orang Madura sejak dulu menyandang stereotipe negatif. Artinya sampai saat ini belum ada seseorang yang mampu menyingkap sesuatu yang ada di balik Madura itu sendiri, terutama dari sisi simbol celurit. Simbol celurit yang berbentuk melengkung seperti tanda tanya. Inilah sebenarnya yang menjadikan Madura dan makna Madura menjadi jelek di mata masyarakat luar Madura. Pa

Lesso

Lesso Oleh: Matroni el-Moezany* “Kenapa engkau lesso akhir-akhir ini?” Tanya Rizal pelan “Karena aku sekarang bingung sekaligus males, itu aku melihat gambar-gambar, para penguasa selalu bermasalah dan foto-foto orang yang tidak aku kenal”. “Dimana kamu lihat”? “Itu banyak di TV, di tepi jalan dan di rumah-rumah di pajang seperti bintang di atas langit”. “Lho itu para caleg, yang akan menjadi penguasa negeri ini” “Kenapa harus begitu, kayak artis saja” “Enggak itu cuma para calon, sekarang hampir mendekati pemilihan presiden dan wakil presiden, apa kamu tidak tahu” “Aku memang tidak tahu dan tak ingin tahu” “Kenapa”? “Sepertinya itu hanya gambar dan foto dan aku lihat wajah-wajah mereka tidak ada yang cocok menjadi wakil rakyat nanti, kalau mereka nanti terpilih pasti mereka akan menjadi maling” “Kamu jangan sembarangan berkata seperti itu” “Kenapa” “Nanti kamu di hukum” “Aku kan cuma bilang, kalau mereka itu tidak layak menjadi wakil kita nanti” “Terus, menurut kamu siapa yang pantas

Matinya Budaya Kontemporer di Indonesia

Oleh: Matroni el-Moezany* Berangkat dari sensitifitas kegelisahan bersama, para budayawan dan sastrawan Indonesia ketika melihat para kandidat pemimpin bangsa Indonesia yang tidak sadar akan budaya kreatifitas bangsanya sendiri, seperti per-film-an, seni rupa, tari, musik, sastra, dan teater yang bisa menjadi nilai tambah dalam perjalanan ekonomi kita ke depan. Boediono dan teman-temannya misalnya mengatakan reformasi perjakan adalah perlu. Tapi mereka ketika berbicara jati diri bangsa sama sekali tidak menyentuh masalah yang sangat substansial dari bangsa kita bagaimana pentingnya reformasi perpajakan untuk mengembangkan kebudayaan dan kesenian kontemporer di Indonesia. Padahal setahun yang lalu sudah di beri peringatan oleh sejumlah budayawan yang mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Direktorat Pajak. Mereka mengusulkan Undang-Undang Pajak lebih berfungsi untuk memberikan keringangan pajak bagi perusahaan atau organisasi nirlaba yang mensponsori acara kebudayaan. Anehnya real

Rasul sebagai Agent of Change Humanity

Gambar
Judul : Revolusi Sejarah Manusia, Peran Rasul sebagai Agen Perubahan Penulis : Dr. Munzir Hitami Penerbit : Lkis Cetakan : Pertama, 2009 Tebal : 286 hlm Peresensi : Matroni el-Moezany* Al-Qur'an, meskipun bukan kitab sejarah, banyak memuat informasi mengenai dinamika perubahan umat manusia dan juga jatuh-bangunnya sebuah bangsa yang disebabkan oleh tindakan manusia itu sendiri. Al-Qur'an juga banyak mencatat peran penting para Rasul dalam mengubah suatu masyarakat bangsa dari masyarakat tribal tidak bermoral ke arah masyarakat religius berperadaban. Buku ini mengkaji secara detil konsep perubahan umat manusia dalam Al-Qur'an dan peran penting para rasul sebagai agen perubahan. Manusia sebagai makhkluk yang dinamis yang senantiasa bergerak dan berubah. Dia bergerak bukan tanpa tujuan, tapi dia akan membentuk kultur, tatanan social, dan peradabannya sendiri. Hanya saja pergerakan dan perubahannya seringkali terjadi ketidakseimbangan antara perubahannya de

Matroni el-Moezany, habis main kasti

Gambar

Indonesia dan Puisi

Oleh: Matroni el-Moezany* Setiap penyair tidak akan pernah lepas dari kata. Bahkan siapa pun anda tidak akan lepas dari rumpunan kata. Sebab kata-kata merupakan sebuah masyarakat besar, lebih besar dari masyarakat dunia. Mengapa? Kata-kata yang menjadikan semesta ini ada, dan dengan kata kita menjadi besar yang di akui dunia. Itu tiada lain kalau tanpa kata, hanya dengan kata. Apalagi dalam dunia puisi, kata-kata sangat ditekankan untuk mengolah dan meramu agar tercipta ladang sebuah bunga yaitu bunga kata yang indah. Sastrawan menjadi di kaya dengan kata. Kekuatan kata menjadi penentu utama dalam dunia puisi. Tidak semua orang suka puisi, sebab puisi adalah dunia realitas yang dispekulatifkan dengan kata walau lahir juga dari realitas sosial. Artinya lahirnya kata dalam puisi berangkat dari realitas yang di internalisasikan, baru kemudian di eksplor. Jadi sangat sulit bagi orang-orang yang belum terbiasa meramu kata dalam jiwa. Meramu kata sama seperti kita meramu jamu. Bagaimana agar