Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2009

Bintik Hujan Dari Langit Seperti Sebuah Tanya

Dan belum ada penyair yang sanggup mencari jawabannya Jogja, 27 Juni 2009

Adakah Yang Lebih Sedih Dari Perjalanan Kata

Sempurna Pengok 26 Juni 2009

Cermin

Cermin, sekarang siapa yang paling engkau terlihat Kalau bukan aku sebagai bayangan dirimu Aku bercermin karena baru pertama aku tahu Bahwa dirimu bisa melihat tanpa menggunakan mata Sudah berlama-lama aku menginginkan kebahagiaan ini Melihat wajahmu dengan menggunakan mataku Melihat baju baru, untuk digunakan di pesta perkawinan kita Malam-malam sudah menjadi bayang-bayang Melihat bayang-bayang yang bermakna Seperti huruf kitab yang aku baca dalam malam Mengisahkan sebuah bahasa yang terlupakan waktu Bahkan waktu pun pada saat itu tak ada Karena sibuk melihat cermin yang suram di dinding matamu Sementara aku senang karena sudah waktu Untuk siap dengan segala bekal Walau matahari tak sudi menyengok Karena ada yang lebih penting Cermin yang lebih cermin Cermin yang lebih menjadi cermin Cermin yang lebih seperti cermin Cermin yang lebih seperti waktu Cermin yang lebih seperti kata Cermin yang lebih luka dari luka Cermin yang bahagi dari kebahagiaan Cermin yang lebih lapar dari kelaparan

Aku Baru Mengerti

Aku baru mengerti sikap wajahmu pada semesta Ketika diri ini tak memiliki rasa kemewaktuan Pada batu yang keras, tapi dia berkata seperti matahari Mengingat kenyerian hari-hari yang jauh Ternyata buku suram terbuka dengan sendirinya Tanpa aku harus memaksa merobek dari bibirnya Senyerian bukanlah apa-apa, tapi Kedirian yang terbuat ibu menjadi sakit, Karena buku-buku suram terbuka rapi pada malam Entah bagaimana aku membersihkan lagi hingga putih tanpa tinta Padahal keterjatuhan waktu sudah menjadi sejarah Pagi yang cerah setelah semalaman aku membaca buku-buku itu Ternyata aku tak bisa menguraikan kecuali hanya nyeri yang ada Aku gantikan sebagai kata ganti yang tak sempurna Agar kenyerian waktu yang terlupakan “Tertulis dalam jiwa” Yogyakarta, 22 Juni 2009

Puisi Detak Becak

Detak becak selalu aku lihat di tepi malam Membunyikan musik diri setelah aku tanya Becak menyembunyikan hulu yang kabur Menangiskan bahasa senja di tubuh tumbuhan Becak seperti cecak dalam dinding semesta Mencari giringan iring di sela-sela rasa Becak terjual tak seberapa basah tubuhnya Merelakan diri tak terbayar oleh layar Becak engkau sabar sadar menyadari Lalu kesadaran pun mengalir sendiri Tak terlukiskan hari-hari Engkau menikmati jalannya matahari Becak basah diri engkau sudah tak peduli Becak basah duri engkau lalui Engaku biarkan biri-biri berlari mengejar sembari Menjejakkan sehelai mimpi siang untuk diri dan sanubari Seperti engkau becak pun tertidur Tapi tidak untuk diberi dan didasikan Seperti musim dasi yang makan nasi basi Itulah semesta termanis yang meluah untuk bangsa, katanya? Tapi tidak untuk cecak detak becak rancak Yogyakarta, 2009

Puisi 15 Juni Pagi

Buat adiku, Alim Aku baca sms kalau engkau tidak lulus ujian akhir Di sini terlihat gelisah melihat masa depan yang tak terbaca Memulai genangan airmata perempuan indah di atas bata Aku coba meluangkan waktu untuk berkata dalam hand phone Sepertinya engkau sudah tak tahan airmatamu tumpah Seramai pasar di dalam jiwa Sesepi kata di dalam gelas Aku terus memisahkan sisiran tangismu Mengirimkan sesabar kata di sela airmata, tapi Bisakah kekecewaan ini menjadi saksi bahwa Itu adalah keberlanjutan dalam waktu Singgasana di luar kata-kata ini Tak seperti bahasan kilasan di surau-surau Sebab aku ada dalam sebab itu sendiri Yogyakarta, 2009

Catatan Debat Wapres Tanggal 23 Juni 2009: Membangung Jati Diri Bangsa

Oleh: Matroni el-Moezany* Wakil presiden dari Megawati, Prabowo adalah kandidat yang dalam slogannya memperjuangkan rakyat kecil. Seperti Prabowo kata pada debat tanggal 23 Juni 2009 bahwa Penghasilan rakyat Indonesia di bawah 20,000,- rupiah perhari, inilah realitas masyarakat Indonesia yang diperjuangkan. Ekonomi rakyat sebagai basis perjuangannya bersama wapres Megawati. Bodeiono lahir di Jawa Timur, Blitar adalah sosok yang lembut dan kalau berakata terlalu akademik, mungkin cocok kepada mahasiswa-mahasiswa. Dalam debat kemaren dia memulai dari perkataan Bung hatta bahwa korupsi sudah menjadi budaya, bertahun-tahun Negara menjadi indek terbawa dari semua Negara. Dia menawarkan empat tujuan dalam menjalankan kebijakan pemerintahan untuk mewujudkan pemerintah yang bersih harus di bangun pertama Pancasila, kedua UUD 45, ketiga NKRI, dan ke empat Binnneka tunggal ika. Membangun bangsa tidak dengan depresi, kekerasan, tapi dengan meninkatkan perdamaian. Budiono juga menawarkan empat ag

Sinergitas Budaya, Masihkah Jogja Relevan dengan Budaya Lain

Oleh: Matroni el-Moezany* Sebagai wujud rasa cinta kepada Yogyakarta sebagai kota budaya, seni dan pendidikan, kebetulan saya adalah pendatang ke daerah istiemewa ini dan sampai saat ini masih diterimah di kota ini dan saya kira Jogja adalah kota yang selalu terbuka untuk siapa saja yang ingin belajar, berdagang dan mengolah seni. Kota istimewa Yogyakarta selain sebagai wadah pengembangan pendidikan, budaya dan seni. Buktinya bangunan asrama-asrama mahasiswa dari penjuru Indonesia terlihat di kota Istimewa ini. Dalam hal ini, Kota multikultural seperti jogja tidak benar jika diopinikan sebagai kota yang enggan untuk menerimah budaya asing, artinya keistimewaan kota Jogja juga terlilhat dari inklusifitas dirinya dalam menerimah budaya luar, seni luar dan pendidikan luar. Yogyakarta yang memiliki suasana yang tenang, keramahan orisinil, dan alunan indah bahasa kromo inggil yang muncul dari mulut masyarakat Jogja tersebut setiap diajak berbicara. Sebuah keadaan yang akan semakin sulit dit

Sastra Kita Dimata Kita

Oleh: Matroni el-Moezany* Akhir-akhir ini sastra sudah tidak dipandang penting oleh pemimpin Indonesia, beberapa bukti jelas adalah ketika para kandidat pemimpin Indonesia menyampaikan visi dan misi kepemimpinan sama sekali tidak menyinggung seperti apa perkembangan sastra kita saat ini dan nantinya ke depan, para pemimpin kita lebih pada janji dan upaya perkembangan daya saing sementara di bidang yang lain belum tersentuh apalagi perkembangan sastra. Ngomongnya adalah pengabdian pada masyarakat. Saya sebagai pribadi tidak akan pernah memilih pemimpin Indonesia sebelum para pemimpin bangsa benar-benar terbukti mengabdi kepada masyarakat. Artinya bukan saya yang harus mengabdi pertama kali kepada Negara, tapi harus Negara yang mengabdi pertaman kali kepada masyarakat, baru kemudian rakyat. Sekarang terbalik masyarakat di suruh untuk mengabdi kepada Negara, sementara Negara tidak mengabdi kepada masyarakat. Itulah realitas bangsa. Sastra dalam hal ini sangat memiliki peran penting untuk

Meggha’ Peleper, Tradisi Pengantin yang Kian Punah

Oleh: Matroni el-Moezany* Ada banyak nilai kearifan dalam tradisi yang terkandung di daerah seperti pulau Madura yang terkenal dengan keras, dan stereotipe negatif dan sampai saat ini masih belum hilang. Bahkan stereotipe itu sudah dijadikan sebagai tradisi bagi masyarakat Madura. Padahal kalau kita lebih cermat dan melihat secara menyeluruh realitas tersebut memang ada, tapi itu pun kita masih harus melihat dari setiap kabupaten yang ada di Madura. Sebab dari satu kabupaten dengan kabupaten yang lain memiliki budaya dan karakter tersendiri. Bahkan saru desa pun sangat beda dari cara bicara dan tingkat kekerasannya. Jadi untuk melihat salah satu tradisi yang sarat dengan nilai-nilai moral (sopan santun) sangat banyak, dan itu tidak pernah tersentuh oleh masyarakat luar Madura. Salah satunya adalah tradisi “Meggha’ Peleper” dalam acara pengantin yang dilakukan saat rombongan pengantin laki-laki hendak masuk ke halaman rumah pengantin perempuan. Di pintu gerbang halaman rumah pengantin p

Refleksi Hari KB se-Dunia,

Pentingnya Membudayakan KB Alami dan Sehat Oleh: Matrony el-Moezany* Sering kita melihat, membaca, dan mendengar berita tentang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang dipulangkan dari Malaysia karena tidak memiliki paspor atau surat-surat dokumentasi keimigrasian lainnya. Juga beberapa TKI mendapat perlakuan tidak senonoh, bahkan disiksa atau tidak digaji oleh majikannya. Pada bagian lain ada banyak anak jalanan, gelandangan dan pengemis berkeliaran di beberapa kota di negara kita. Semua fenomena ini memperlihatkan sebagian dari wajah-wajah suram situasi tenaga kerja Indonesia dan lebih dari itu menunjukkan fakta kemiskinan di Indonesia. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, masalah kemiskinan sepertinya tidak pernah ada habisnya. Kemiskinan identik dengan ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini masih dirasakan oleh sebagian besar penduduk Indonesia maupun dunia. Ia menjadi momok bagi pelaksana pembangunan di banyak negara berkembang, tak terkecuali Indonesia Rela

Budaya Sebuah Relevansi Tradisional

Oleh: Matroni el-Moezany* Belakangan ini seni budaya sudah menjadi barang langka khususnya di Indonesia, buktinya debat wapres dan cawapres sama sekali tidak menyinggung masalah seni dan budaya yang sangat erat dengan rakyat, tapi mereka lebih pada kepentingan material semata. Padahal seniman dan budayawan yang berjuang mati-matian untuk rakyat tentang relevansi dan kepraktisan penerapan konsep “seni-budaya” untuk politik Indonesia saat ini. Setelah mempelajari dengan hati-hati beberapa dokumen sejarah dan materi-materi yang lebih mutakhir dari senibudaya tersebut. Bagi Seniman, penyair dan budayawan, seni bukan hanya melambangkan perwakilan terbaik kelas bawah layaknya seni tradisional di negara manapun misalnya bagi kaum proletar, buruh, buruh tani, pengrajin. Bagi budayawan seni mewakili mayoritas rakyat kecil Indonesia pada umumnya yang apakah ia pekerja atau wiraswasta hidup termajinalkan. Bahkan eksistensi mereka pun sangat rapuh. Mereka berada di ambang batas kelangsungan hidupn

Politik, Hukum dan Budaya

Oleh: Matroni el-Moezany* Dengan semangat demokrasi, politik dipestakan hanya dengan kata-kata dan berpesta politik dengan janji-janji, sehingga melahirkan bangsa seperti Indonesia. Jangan sampai mereka terjaga. Kita tidak membawa apa-apa kecuali kepentingan. Kita tidak membawa pemikiran atau pun bunga-bunga indah kecuali serumpun rencana-rencana kecil yang senantiasa tertunda untuk kita kabarkan kepada masyarakat. Sebentar lagi, pada tanggal 8 Juli 2009 maupun sesudah Indonesia dan budayawan diundang untuk melihat dan beropini oleh dirinya sendiri untuk menyumbangkan satu pendapat yang bertopik politik, hukum dan budaya yang melanda bangsa Indonesia. Saya berdebar dan ngilu menerima undangan untuk mencontreng lagi. Betapa besar dan mulia kepekaan pemerintah di negeri ini, bukan tanpa faedah mereka menyabar undangan. Tapi apa guna pemerintah bagi masyarakat yang saya yakin perlu dan lebih urgen berupa nasi, beras, minyak goreng, gorengan, pakaian, sabun, selimut, dan tenda, ketimbang

Kita Butuh Pemimpin Berkualitas

Oleh: Matroni el-Moezany* Tidak mungkin ada pemimpin bangsa yang berkualitas tanpa para pemilih berkualitas. Tapi saya tidak yakin, kalau misalnya semua pakar pemimpin dan pakar politik Indonesia berkumpul menjadi pemimpin bangsa, mereka bisa membawa rakyat terbebas dari ketertindasan, kemiskinan, pengangguran, dan buruknya pelayanan kesehatan. Sekitar tiga pekan lagi tepatnya pada tanggal 8 Juli 2009 kita akan memilih secara langsung presiden dan wakil presiden Indonesia. Di tengah gejolak waktu pencontrengan yang semakin dekat ini dan kepungan janji-janji ketiga pasangan kandidat, kita harus lebih berhati-hati melihat sosok pemimpin dan para kandidat pemimpin bangsa, jangan sampai kita memilih pemimpin yang salah apalagi dalam hal kepemimpinan sama sekali kurang mampu. Demi mencari pemimpin yang berkualitas, maka kita tidak bisa secara drastis menyimpulkan bahwa ketiga pasangan kandidat (capres dan cawapres) semuanya bagus dan berkualitas. Itu tidak pasti, sebab mereka sama-sama ma

Tari India Yang Sarat Spiritualitas

Oleh: Matroni el-Moezany* Banyak seni Indonesia yang kurang perhatian dari pemerintah seperti tari di Indonesia yang kurang diperhatikan oleh kita sendiri sebagai bagian dari bangsa Indonesia, padahal dengan seni tari kita bisa menikmati dan memaknai bentuk dan lengkungan tari itu sebagai refleksitas kehidupana sehari-hari. Dan saat ini gerakan tari perlu dialog yang universal. Sebagai bukti, setiap orang dapat menikmati tarian yang berasal dari negara mana pun. Tidak hanya terhadap penonton, dialog dalam dunia tari pun bisa dilakukan antara gerakan-gerakan dari daerah yang berbeda. Sebenarnya kita tidak harus berkaca kepada Negara lain untuk menemukan tari yang sarat spiritualitas, banyak tari Indonesia yang mengandung makna filosofis seperti tari Bali, tari Jawa, dan tari-tari yang lainnya. Tapi mengapa kita harus menunggu seni tari dari luar untuk dijadikan referensi? Kalau kita masih ingat kesadaran sejarah bahwa karya tari klasik kerap dipadukan dari gabungan berbagai tari yang me

Pentingnya Kesadaran Budaya Cinta Dalam Islam

Oleh: Matroni el-Moezany* Sebagai jembatan yang menyejukkan bahwa agama pada hakikatnya lahir untuk pembebasan dari penderitaan, penindasan kekuasaan sang tiran untuk kedamaian hidup. Agama Islam dan juga agama-agama yang lainnya, seperti Kristen dan Yahudi, bahkan Budha, Hindu, dan Konghucu, semuanya untuk manusia, agar dapat berdiri bebas dihadapan Tuhannya secara benar, yang kemudian diaktualisasikan dengan taat kepada hukum-Nya, saling menyayangi dengan sesama, bertindak adil dan menjaga diri, dari perbuatan yang tidak baik serta perintah taqwa. Semua pesan sentral dari adanya pembebasannya itu di sampaikan secara jelas dalam kita suci masing-masing agama, baik al-Qur’an, Injil, Taurat, bahkan juga Wedha dan kitab-kitab suci lainya yang sarat dengan ajaran ketuhanan, cinta, moralitas dari kemanusiaan yang holistik-universal. Begitulah kata Musa Asy’Arie dalam bukunya “Dielektika Agama untuk Pembebasan Spiritual”. Pesan cinta inilah menempatkan agama berada pada posisi yang berlawan

Detak Yang Tak Terbaca Tuhan

Setiap detak yang tak terbaca tuhan Engkau terasa bebas menginjak-injak Membersihkan keraguan Sehelai mimpi terbuang sia-sia Karena embun merapi menutupi pandangan pagi Aku tetap melangkah bersama roda kehidupan Mengisi sisa-sisa mimpi yang tak terbaca tuhan Yogyakarta, 2009

Sebagai Awal Kehampaan

Terlalu banyak aku dapatkan dari kata-kata Sehingga kepompong pun merasa sesak untuk aku sapa Aku tak sadar darimana kata-kata ini lahir Puisi-puisi indah mengalir sepi Menginginkan menjadi tuhan semuanya terbawa Di dalam saku tuhan sendiri Aku tak mengerti mau dibawa kemana Padahal yang membutuhkan sudah menepi menunggu Tak semestinya hilir musik aku baca Dia nyaman dinikmati seperti gula jawa bercampur nyiur Yogyakarta, 2009

Sebuah Nama Yang Belum Terbaca

Seperti biasa kata orang bahwa kita bisa makan, bisa bohong Karena kita sudah kembung kebanyakan makan orang Pada volume ini kita bisa keraskan puisi kita Sebagai perlawanan kepada kepala kita sendiri Sebagai jembatan untuk merusak diri Engkau sebenarnya bukanlah aku Yang bisa berkaca pada waktu bahwa kita akan terus berjalan Menjalani kata-kata kita sebagai lahan kebakaran jiwa Semangat yang tak terlupakan dalam semesta Mungkinkah sesepi pagi bisa aku rampas dari bibir matahari Padahal lapar masih mengusik jarum memanah dari jauh Seringkali gelisah karena matahari Selalu tak menguraikan keinginan para penyair Untuk mengisahkan sejarah lapar menjerit terlalu sakit Aku pun pelan-pelan pergi menemui malam Mungkin di sana aku menemukan sisa makanan dari bibirmu Untuk aku semaikan seperti puisi di meja makan Yang bertuliskan aku sudah makan, tapi aku masih lapar Jogja,14 Mei 2009

Puisi Diri Malam Sendiri

Malam, waktu ini menjadi semu untuk kita baca sebagai puisi diriku malam Bagaimana bisa gambar dirimu lebih indah dari pandanganmu? Karena diri yang engkau baca selengkapnya Tertata sebagai kata yang tunduk padamu Sebagai ruang lain untuk dikabarkan sebagai semesta Sementara semesta belum sanggup kita baca Yogyakarta, 2009

Dengan Tidak Sengaja

Dengan tidak sengaja aku berjalan Dengan tidak sengaja aku berkata Dengan tidak sengaja aku baker negarmu Agar ruang ketidakmengertian ini menjadi bangga Agar kelapan kepada menjadi sangset Walau aku tetap hidup seperti ini Aku tidak mau berjalan bersama kalian Aku nyaman berdiri di atas diriku sendiri Sambil menyampaikan pesan indah kepada dunia Sebab aku berjalan tanpa sebab dan kepentingan Aku ikhlas seperti matahari yang tak berkata apa-apa kepadaku Kira-kira begitu kita ke depan Menghadapi diri dan kedirian Tanpa sesebab apa pun yang mengurasi sakumu Aku tidak yakin engkau akan suka berjalan walau tanpa uang Sesepi bunga yang terasa itu pun tak aku rasakan pada saat ini Semerah apa pun darah kita, engkat tidak akan bisa mengulang bibir lembut di atas bintang Apakah kita tetap seperti hujan kadang tidak ada Atau kita akan seperti malam kadang tidak ada Juga atau kita ingin menjadi penyair kadang juga tidak ada Lebih baik kita menjadi dirimu sendiri dalam kedirianmu Itulah puisi yan

Hilangnya Nilai Etis dan Religius Politik

Oleh: Matroni el-Moezany n Dwi Lestari* Para elite politik pada saat ini sibuk mencari simpati dan dukungan. Mulai riuhnya suara-suara menuju pilpres menjadikan berbagai macam isu menyeruak diangkat ke permukaan. Pada titik ini, dalam dunia politik, persahabatan dan permusuhan dalam waktu sesaat menjadi sangat rentan terjadi, bahkan pada titik seperti ini pula, sabotase-sabotase nilai keagamaan bisa terjadi. Akhir-akhir ini, urusan jilbab masuk ke politik adalah keniscayaan. Seakan inilah drama yang memang menarik untuk ditonton. Budaya saling menjatuhkan dalam kampanye pilpres seakan-akan menjadikan kawan berubah menjadi lawan. Seakan tiada yang bisa dipercaya semua bisa berubah dalam seketika. Menyeruaknya isu jilbab ke dalam ranah perpolitikan, mengisayratkan bahwa para elit politik telah berusaha untuk menyabotase nilai-nilai agama untuk diperdagangkan. Apakah benar, politik harus ditempuh dengan suatu pencampuradukkan nilai-nilai yang itu sebenarnya jauh panggang dari pada api.

Estetika Sebagai Basis Eksistensi Manusia

Oleh: Matroni el-Moezany* Seni adalah ekspresi manusia yang memiliki tempat terhormat dalam kehidupan ini tentunya dengan tidak mengesampingkan estetika sebagai ruang. Dalam konteks estetika, seni selalu mengambil peran signifikan. Hampir setiap seni tidak terlepas dari estetik. Kesenian selalu unjuk diri dan berperan sebagai simbol dinamika budaya. Estetika sebagai filsafat seni, sedikitnya ada tiga tema yang terus menjadi perdebatan sampai saat ini yaitu seniman sebagai subyektivitas dalam karya seni sebagai obyektivitas ketika dia menghasilkan karya dan dipublikasikan baru kemudian ada penilaian seni yang terdapat dalam apresiasi sastra maupun kritik seni. Seniman sebagai aktor atau subyek yang selalu berkarya dalam filsafat seni klasik sampai Hegel dan Kant di pemikiran Barat dipandang sebagai pencipta seni manakala memiliki inspirasi dari realitas kehidupan setelah mengalami internalisasikan dan pengheningan lalu diekspresikan dalam karya seni. Bila memakai medium kanvas dan warna

Berkurangnya Nilai “Budaya Rasa”

Oleh: Matroni el-Moezany* Ribuan artefak budaya Indonesia telah dicuri oleh pihak asing, seperti: Batik Adidas, Sambal Balido, Tempe, Lakon Ilagaligo, Ukiran Jepara, Kopi Toraja, Kopi Aceh, Reog Ponorogo, Lagu Rasa Sayang Sayange, dan lain sebagainya. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, ia juga terdapat di banyak Negara berkembang lainnya. Untuk itu, WIPO (World Intellectual Property Organization), lembaga Intellectual Property internasional, mengusulkan sebuah alternatif penyelesaian. Usulan ini dimuat dalam "Revised Draft Provisions For The Protections Of Traditional Cultural Expressions/ Expressions Of Folklore". Inti dari usul tersebut adalah menyerahkan kepemilikan atas ekspresi budaya tradisional kepada Kustodian atau komunitas. Ini dapat dilihat pada pasal 2 dan pasal 4 pada draft tersebut. Ekspresi budaya tradisional "X" yang dipelihara dan dikembangkan oleh komunitas "Y" akan menjadi milik komunitas "Y". Misalnya komunitas bat

Agama dan Budaya hanya Hiasan

Oleh: Matroni el-Moezany* Bangsa kita harus kembali ke jati diri kemajemukannya. Karena, ajaran agama dan budaya hanya dijadikan hiasan saja, tetapi harus menjadi cara hidup yang menuntun kita untuk memahami dan mengerti sesamanya. Sebab bangsa kita adalah bangsa yang mejemuk. Karena itulah jati diri kita. Dengan memahami keberagaman itu, kita bisa hidup lebih damai. Dalam bangsa yang majemuk seperti ini, seharusnya pendidikan dipahami dalam arti luas, yang tak terbatas kepada pendidikan formal. Forum-forum keagamaan, seperti pengajian dan kongregasi, harus juga diakui sebagai sebuah pendidikan masyarakat. Dengan cara seperti agama dan budaya tak hanya menjadi hiasan, tetapi juga menjadi cara hidup. Di tengah perlunya penghormatan terhadap kemajemukan itu, ada kecenderungan pejabat negeri ini berupaya memperbesar peran negara terhadap agama dan budaya. Dan di dalam menggeluti kebudayaan modern masa kini, kita membutuhkan sebuah gambaran yang jelas atau katakanlah sebuah “peta” paling

Lorong Batu

Melewati lorong batu Aku menemukan jiwamu menangis di sana Air mata terlihat bening, penuh makna Dan aku masuh dengan rasa Entah darimana aku dapatkan Lorong batu ini mengenangimu Aku lekati pakai kata Yang merengkuh kebebasanmu Lorong batu Yang menjerat-jerit rumpun senyummu Sejauh bening yang bersembunyi Hingga aku meringsutnya Lantaran hamparan langit terus menyambut Kekerling hening jiwamu Aku telah membuka matahari membiarkan dirinya terbuka melewati lorong batu Yogyakarta, 2009

Ibadah Kata-Kata 2

Aku sadar Kalau kata begitu suci dan bening Hingga aku tak menemukan umpama menyamainya Aku sadar Kata yang aku tulis begitu suci dan bening Tapi tidak begiku Aku sadar Apa yang aku tulis semua bohong Yogyakarta, 30 Mei 2009

Ibadah Kata-Kata 1

Mengapa kita kadang berjeda dalam diri Untuk menunaikan ibadah kata-kata? Penyair berdiam sana Meratapi diri yang gelisah Karena sudah lama tak beribadah Sesepi bunga sesren jiwamu Meduri tapi engkau manis di rasa Gila pun tiada bangga, tapi kita masih bersama Untuk menghadap tuhan kata-kata dalam diri yang sempurna Mengurai segala ketakbersalahan Mengaji segala keberjedaan Meloncati segala sungai kata Agar tak lagi rusak jalan kita menuju masjid kata Jogja, 2009

Sadar

Dimanakah engkau simpan sadar-mu Sehingga engkau enggan untuk berkata Dimanakah engkau simpan menyadari-mu Sehingga engkau enggan untuk bertindak Dimanakah engkau simpan kesadaran-mu Sehingga engkau enggan untuk menciptakan tradisi-tradisimu sendiri Apakah ini akibat dari kata-kata Sehingga semuanya adalah kata-kata? Mungkin? Yogyakarta, 24 Mei, 2009

Hidangan Diskusi

Tanah yang tempat Untuk kata yang terhidang di depannya Namun, lisan yang bergemuruh Terlalu bertolak dengan bahasa Sehingga haus yang bening bersembunyi Di kerumitan mengurai kata Pengok PJKA, 22, Mei 2009

Huruf Malam

Pucuk dari huruf adalah kata Kala suara menyisip dalam telinga Suara serupa rasa Menyentil di tenggorokan Terasa serupa makan rasa Seorang dara Darah yang kemudian Tak menemukan suara keterasingan Kita harus berdarah-darah Orang berdarah-darah 22,09

Hujan, Tak Boleh Pulang

Engkau bilang, karena sepi menyergapmu Takut, selalu menyeramkan Aku pun memaksa mengurai kata lembutmu Untuk diperkenankan pulang, tidur Di sini engkau bisa tidur, ucapmu merayu Setetes hujan di luar jendela Padahal malam belum lengkap Tinggal separuh untuk kita 182009

Summa Summarum

Summa Summarum Aku tidak peduli sama sekali Pada pecahan angin merombak pagar Atau/atau kami Baik/maupun kami Yk, 12 Mei 2009

Sedetik Untuk Puisi

Setiap kata dan berlapis-lapis makna Mengantar mimpi gelisah Terkirim lewat angin mengalir huruf malam Seperti darah tak lagi terus bertamu Setiap jatuh menyanyikan hari Dengan detik bertutur Kukaryakan sekalung rindu yang rentan Serumpun waktu hancur Kukaryakan pada waktu, biru lengkungan setapak kata Bergegas mencari arah nama Tak setiap kapal sedang berlabu itu adamu Pengok, 8 Mei 2009