Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2009

Semesta Tanda Yang Lain

kebertalian ini sudah menjadi tanya sebab aku ingin mati ketika aku mengalami kematian Jogja, 2009

Malam Yang Pagi

Malam ini Percakapan diam terulang di sudut malam Kasur sendiri Tak beruang untuk tiap cakap Mabuk oleh kelelapan Tiada yang mengerti Kapan lelap berakhir Dengan pagi Yogyakarta, 23 April 2009

Engkau Racuni Bahasa Rasa

Dimanakah kau tunggui Ketertinggalanmu, mengurus batu Yogyakarta, 22 April 2009

Suara di Balik Tatapmu

Menatapmu Yang tampak bening bersembunyi Mendengarmu Bergema terang lembab Seperti itu? Si suara yang dulu melangit Sesobek kanvas tertaburi duri-duri Setangkai sesren yang tak manis Bila berani bersuara tanpa kata Sesuatu yang bukan kata dan suara Yang diam di batu cair Yang pernah membekukan suara Mengurai luka Yogyakarta, 22 April 2009

Amanah Yang Tak Di Sengaja

Sore yang beragam cahaya Kubantah semacam linang yang tak terbaca Mengalir sebagai kata Yogyakarta, 21 April 2009

Selintas Kata Perempuan Senja

Kita mengabdi keabadian Berjalan berdua, walau hujan membasahi tubuhku Karena payung tak cukup berdua Kini, pagi dan sore Kau hiasi darah dengan keringatmu Agar detik nanti setajam keinginan kita Sesabar pohon yang kerap kita basahi Dengan kata “sabar” dan putih di sayap hujan Malam itu, kita benar berjalan Seperti jalan awan di atas batu Kita tak mungkin di raba kunang-kunang Karena keringat kita tak wangi seperti bambu Bambu yang menggali dengan akarnya sendiri Kini, sepasang kita seperti sebesar semesta Putih yang kita yakini Sebagai salju Mencari bintang dan tidur kita Pengok, 20 April 2009

kao merah pemenang pertama Mahwi Air Tawar, dan keduany adalah nominator cerpen Matroni el-Moezany dan F. Rizal Alief

Gambar

di Purowkerto bersama teman mahasiswa se Indonesia

Gambar

saat di Purwokerto undangan lomba cerpen se-Indonesia

Gambar

Refleksi Hari Puisi Indonesia, Upaya Desakralisasi Puisi

Oleh: Matroni el-Moezany* Kita semua (para penyair, sastrawan dan budayawan) sudah sepatutnya menampilkan tokoh para pejuang dalam mempertahankan bangsa dengan sastra, seperti Chairil Anwar. Reflesksi puisi ini mengingat 60 tahun tiadanya penyair Indonesia (Chairil Anwar) yang meninggal pada 28 April 1949. Artinya kita juga menyuncoh beliau dan bagaimana puisi saat ini membumi, harus dikembalikan kepada masyarakat, tidak hanya dinikmati oleh kalangan elite, apalagi kalangan akademis. Mengatakan patut karena menurut Saut Situmorang bahwa Chairil Anwar merupakan mata kanan sastra Indonesia, sedangkan mata kirinya adalah Pramodya Ananto Toer, jadi sudah lengkap sastra Indonesia memiliki sepasang mata, yang dikenal luas oleh masyarakat sastra dunia. Kita sebagai pemudah sastra tentunya harus memulai mencari mata kanan dan mata kiri, artinya siapa penerus Chairil Anwar dan Pram selanjutnya. Di kala kita menulis puisi maka yang ada kita menjadi seorang penyair, agaknya masalah yang menghadan

Hanya Air Mata Film Indonesia Menjadi “Ada”

Oleh: Matroni el-Moezany* Tema di atas sengaja saya angkat untuk sama-sama melihat realitas publik per-film-an Indonesia saat ini dan akhir-akhir ini. Sangat banyak film Indonesia yang konfliknya hanya sebatas air mata, artinya ketika konflik dalam film dan konflik tersebut sampai dia menangis, maka di sanalah letak ketertarikan film Indonesia saat ini bahkan air mata sebagai puncak konflik dalam film tersebut. Apakah tidak ada konflik lagi sehingga hanya sebatas menangis, menangis dan menangis saja yang menjadi klimaks film Indonesia? Dengan melihat realitas tersebut, secara tidak langsung pasti memiliki implikasi besar terhadap masyarakat. Jadi, kalau melihat film yang ada sudah banyak yang hanya bermain dengan cinta, cinta, dan cinta-cintaan. Lantas bagaimana bisa cerdas masyarakat kita kalau hanya acara TV setiap waktu sebatas itu-itu saja, tidak lebih. Bagiamana mungkin bangsa kita akan maju kalau hanya perfilman bangsa kita masih di ranah yang sangat dangkan dalam hal pendidikan

Gerakan Rumput

Siapa mendengar suara Mengukur malam Antara angin malam dan piring-piring Gerakan rumput menggerakkan jiwa Lampu-lampu terbang di sayap-sayap sinar Aku sendirian naik onthel Mendirikan sejarah dalam ayat dan kata-kata Yogyakarta, 2009

Seperti Rumput Dingin

Di atas jalan yang basah Rumput di tepi rel memberi mimpi Tentang rasa basah Kedinginan dan keamberan Untuk mengisi Tapi ketika kereta berlaju Aku tahu Ada rumah di bangun, selokan air Seorang laki-laki tua Aku tahu arah angina terlukis Di teras-teras mambu Di cela cermin hitam berusia Sampai merindukan sebuah Tanya Adakah Tanya bertanya tentang tanyaku Mungkin di setiap rumput Yang berujung pada ladang Sembilan Tercatat seperti puisi, tapi Rumput akan tumbuh mengenang pengelana Entah, lalu segalanya berubah Ada yang lahir kuning Ada yang tak lahir tanpa lahir Dia ada sebagai sejarah rasa Bahwa kematian tak pernah ada Aku membaca sebagai puisi saja Seperti detik jam tampa baterai Sebuah langka yang tak pindah Dari cakrawala ke bahasa Hingga batas tapi yang tak terbatas Terus berjejak menuju tiada Tiada yang tertera pada dinging Mungkin kita rumput itu Biru, kuning, hitam dan kering Bisa mengurainya dari tepi seperti rumput dingin Yogyakarta, 2009

Kampung Mimpi

Sepertinya aku tak bisa Mengurai detik yang begitu rapat di apit gelombang Aku terjalan seperti mimpi Dalam pusaran jalan Segalanya seperti ditenggelamkan Malamku biru ada di sini Jendela membentang angina Sedang tinta mengelana Air merangkul rasa yang patah Mencari cela-cela, mencuri waktu Kedinginan berjejak pada detik jam Bersama malam kuwarnai dengan lampu Tak perlu apa-apa atau serta Pengok, 2009

Aku Dalam Kesendirian

Malam-malam boleh saja mengutukku untuk tidur, tapi Tidak dengan kata-kataku Mencari, bertanya, dan bernafas Aku hidup di sana bersama kata dan cinta Aku dalam kesendirian Kemewaktuan menjadi tempat lelapku Tuhan menjadi bajuku Keringat menjadi rumahku Aku dalam kesendirian Bukanlah aku sepi, tapi Mengurai diri untuk menjadi satu dalam diri Jogja, 2009

Satu Roti

Kesunyian yang mendalam kutangisi sendiri Karena hanya satu roti yang mendengar kesedihan Di sana butiran manis air mata Cuma melihat tanpa ada ingin Untuk mendekati Aku bimbang sendiri, apakah ini Dunia atau mimpi, hingga semua Terlihat jelas bahwa ini adalah Kesedihan yang tertebus di tepi roti Kumakan takur lapar Lulihat dia yang lapar Aku jadi bimbang meresapi Anaknya roti yang tak ada arah Mendekati sehingga dia menjadi Basi seperti dasi Jogja, 2009

Kelebihan Puisi dan Filsafat

Oleh: Matroni el-Moezany* Tentunya kita semua tahu bahwa kalau berbicara kelebihan, pasti semua di dunia ini memiliki kelebiha dan kekurangan, tapi di sini penulis tidak ingin melihat kekurangan dalam setia sesuatu, agar kelebihan selalu berpihak kepada kita. Sastra dalam hal ini adalah puisi merupakan ekspresi kreatif dari renungan sastrawan terhadap kehidupan masyarakat, jadi yang menjadi terekspresi bisa berupa hiburan, pencerahan, komentas atas situasi, rangkuman, potret keadaan, karikatur, symbolisme, ekspresi tragedy atau tragis dengan mini kata pertunjukan. Jadi dalam hal ini sastrawan melahirkan ide-ide pencerahan dan pembaruan. Kelebihan puisi yang bersumber pada imajinasi terletak pada kemampuannya tidak hanya menjadi model identifikasi, tapi juga bagaimana mendorong kita membuat konstruksi mengenai “aku” lebih luas dari kerangka model-model psikologi. Puisi adalah sebuah pesta atau “perayaan” dari realitas. Filsafat adalah discovery , yang lalu dipresentasikan

Kata Hujan

Kata hujan bukanlah musik yang terdengar dalam tubuh Ada yang melafalkan seperti suara sepi, dan dari yang bersembunyi Di balik batang sangat rapi, barangkali engkau bukan batang kayu sesren Di tepi tegal yang bertemu di rumah baying-bayang mata Segalanya tersenyum dan kupu-kupu iri hati Sedangkan perempuan itu engkau paksa Memecah batu untuk pemandian hati Kata hujan bukanlah musik yang terdengar Dalam tubuh, turun menemui kerikil dan cela-cela Air sungai, diamkanlah kata hujan jatuh di pagi Seketika embun masih bekum maka akan engkau dengar Sesuara lain melentunkan hujan Dan di situlah kupu-kupu bersembunyi Di balik pecahan batuan, sedang suara masih tak ada Juga air belum tentu waktu datang bertamu Yogyakarta, 2009

Berpuisi Setelah Kematian

Terkadang aku lelah setelah bermain di hutan kata-kata Tergerai keringat rasa, menjelma dalam bayang-bayang semesta Aku tak ingin mengigau kedua kali Terlalu banyak kerinduan bersama angin Menuai kafan dari bulan pada belum sempat aku sebut kupu-kupu Di tembok air mata kutangisi, membaca Waktu dan menit-menit, juga sebaris kata-kata Yang melengkung, di sana ketemukan Kami menemukan rasa yang dijarkan ibu padaku Puisiku meradang, seperti pelangi melingkar Sementara akar kami tak sampai Menahan nonjolnya susu yang sederet kata-kata Seperti air dalam jamban, di mana rasaku Pernah hilang, aku telah membuang waktu Karena semua telah basah, di depan pintu Di wajah indah perempuan cantik-cantik Mirip mimpi ratu, seperti gelang emas, Dan di sanalah kami bersambung Jogjakarta, 2009

Sebatang Kata Terbuat Di Tengah Rasa

Terkadang aku ingin berlabu di pulau Kalianget Menuju asta Yusuf menemui kata yang tertinggal semala setahun Menjaga ciuman huruf menelan sepi malam Pohon besar yang tegak di sampingmu Seakan telah rapi antara aku dengan perjalanan Sepasang musim tak tertera sebelumnya kalau aku masih ingin menghafalmu lewat jejak kaki dan huruf-huruf semesta Pijakan awal dari sekian waktu Kuraba dengan lesatan malam kesunyian Dalam tiap tingkatan huruf kau temui dengan serpihan-serpihan Kini jejakmu kuingat dalam setiap kata Kuingat dalam setiap rasa Mungkin kau ingin aku berkata bahwa Puisiku lahir dari sana dan menjadi pengisi samudera Para manusia-manusia raksasa Di kedalaman lautmu, kini mulai terihat jelas Bahwa karang masih ada di dasar lauatan Dan inilah yang sering aku tak kuat melukai Agar sedikit luka menjadi berdarah di lautmu Yogyakarta, 25 Maret 2009

Berkata Pada Titik (.)

Kuingin berkata Pada titik di tengah titik yang paling terkecil Entah dengan apa? Lalu kutawarkan Rasa Untuk sedikit mendekati cakrawala Kubertanya Kenapa menangis Tak ada duanya di dunia ini Jogja, 2009

Sela-Sela Yang Tak Kuciptakan Sendiri

Kurasa dalam bahasa kubaca setiap cela Yang mendengarku Di kedalaman dalam luas waktuku Tak tertera dengan sederhana Oleh setetes suara malam di sisa usiaku Sehabis makan malam Dengan ikan ayam di dada Mencela roti bangsa Yang tak sabar meninggalkan susah-susah Aku tak menemukan angka di matahari Tapi di ruang jiwaku aku lihat samudera tak terbatas mengalir Ke dalam darahku Ikan, kata dan kegembiraan Mengisi sela-sela Yang tak kuciptakan sendiri Partikel-partikel bahasa Yang kulihat nyata, ternyata Lari menemui ruang tulangku Seperti aku yang sedang lapar membutuhkan semesta Selembar perjalanan kutulis di ufuk malam Semesta ini seperti kertas kosong Tempat menanam kata Bersayap beribu rasa Beranting kelembutan Berdaun kesejukan Berbuah kebahagiaan Jogja, 2009

Kutemukan Malam Dalam Waktu

Sajak Kampung di sana ada bahasa yang melahirkan kita ada tradisi yang menghias langkah kita ada banyak kata yang membimbing kita dalam mengarungi waktu walau tanpa luka di sana aku sanggakan untuk mendapatkan maknamu walau dari halaman tepi sajak kampung? Engakaulah aku Semenep, 2008 Prosa Do’a Dalam Malam sebelum malam aku berjalan bersama do’a bergumam menjadi batu berkata menjadi bara seperti aku yang berdarah-darah bertangga-tangga malam itu pada langit jingga di bulan basah kita tinggal mencari masa dimana semua waktu terkurung bersama luka terjatuh bersama darah asa aku pun berlalu bersamanya dalam gelap dalam lubang masa-rasa singgahi segala makna-makna aku seperti perjalanan prosa dalam buah karya Goenawan Muhammad mencari baru warna yang ada dalam kata yang ada dalam rasa juga dalam kata-kata Sumenep, 2008 Semesta sudah lama semesta ini terbuka untuk menaburkan darah untuk menaburkan batu untuk menaburkan kerikil malam sudah lama semesta ini terluka untuk menepis sisa sejarah

Malam Tanpa Cahaya

bila malam hilang tanpa cahaya pagi seakan muram dalam pandangan matahari seusai perjalanan yang sudah jauh aku merasa tenang walau malam siasia menurutmu tapi, tubuh kita butuh bahasa untuk berbagi pada semesta karena sulit bagi kita merasakan kata-kata yang langsung hadir karena kita belum bisa merajut kembali sajak-sajak rasa Yogyakarta, 2008 Bila bila puisi terluka aku tulis di atas darah agar tersapu oleh kata tapi bila cahaya tanpa sinar aku akan melukai tubuh bulan agar tak ada lagi keterlukaan bila kau terluka tanpa darah aku kuberi rahasia agar terdiam dalam malam bila berdarah tanpa luka akan kusuguhkan rasa agar bahasa tak lagi sengsara bila menderita tanpa luka kata-kata akan lahir menemui semesta karena semuanya sudah ada bersama kita Pengok, Yogyakarta, 2008 Pertama di Dunia pada mulanya syair terlanjur terbuang, maka aku pergi sebagai orang yang pergi untuk tak mengulangi kepatahan sunyi yang terdampar pada kata kupilih jalan senja untuk ratap pelamunan seperti warna wak

Bahasa Sederhana dalam Malam

telah kau sandingkan malam dengan purnama malam yang datang bersuara rindu mendengar ringkik kaki bersepeda seperti hendak merelakan musikmu malam ini aku bersamamu aku tatap rembulan seakan mengenalku apa yang ngeri di jiwa pelan dan sejuk kau sampaikan guguran kata di luar sana kita lahir untuk bertanya bisikmu, di teras purnama kita semakin risau oleh harapan kosong, kelahiran kita hanya pantas hanya ber-tanya untuk sebuah bahasa sederhana dalam malam sayup tiang lauspeker terdengar suara sejuk kelahiran kita adalah kerisauan kita adalah bangsa yang merumpun kekurangan kita hanya pantas ber-tanya jeruk kecut menganggu lidah percakapan deru kereta memecah ketertiduran tak berdetak pada malam yang penuh kegelapan di gerus tuli dan buta negeri kelam kita hanya panyas ber-tanya? Yogyakarta, 2008 Suara Sederhana dalam Malam terdengar suara malam yang sungguh menyejukkan jiwa dari cakrawala sungguh mengugah barangkali nyanyian bayi yang belum sempat aku sampaikan lewat ruang al-fa-ti-ha d

Tak

Seperti Senja seperti senja aku pun lelah seharian meratapi kata untuk kusuguhkan pada puisi lalu, tidur bersama malam, tapi puisi yang kusandangkan tak lepas dari kejaran waktu untuk terus mengisi ruang kosong di matamu keresahan seperti senja penderitaan juga seperti senja aku tak kuasa mengeja puisi manja sementara aku tetap terus mengisi semesta walau jiwa ini rasanya terurai oleh lancip sinar matahari yang tak kubayangakan sebelumnya pisau, tajam, katamu, tapi tak setajam puisiku pada semesta yang menusuk-nusuk tuhan pada tumbuhan yang masih segar pada luka babad-babad lalu sepertinya luka sejarah masih seperti senja yang belum usai kau selesaikan hanya dengan kata, tapi juga dengan langkah-langkah perputaran keresahan dan ramuan rasa, sebab tidak mudah untuk menghilangkan sinar yang masih dalam ratapan mata Yogyakarta, 2008 Menjelang Pagi sepertinya kutertidur di sore hari, tapi bayang-bayang di atas gubahan semesta masih tertata rapi apakah karena aku belum makan hingga jiwa ini

Nyanyian Biasa

aku menyerah pada semesta dalam lempeng api di tepi matamu berharap di tepian jerit yang menganga kau anggap belian rapuh hingga udara sampai dengan sempurna di dekapan sang penebus dosa itu mungkin hanya nyanyian biasa yang kebetulan terdengar oleh waktu, tapi pada sebuah rasa, hanya sedikit masa belum terimah, dirinya disakiti siang itu ya, hanya siang saja, aku berharap pada matahari sementara lapar masih menemuiku lantaran pagi tak lagi ada untuk mengisi ruang kosong dalam kata lalu, aku berjalan, menghitung detik agar reruntuhan menjadi nasi untuk kumakan dalamdalam, tapi aku hanya makan kata dan rasa hingga semesta ini sesak dengan orangorang? salam, aku sampaikan pada siang ini se-air saja lamunan terus mengisi lantaran bunga hanya berdiam dalam malam sering aku berharap ia datang siang ini untuk tidur bersama di alunan alun-alun hingga terlihat wajah asing di suram maram lagu indah tak lagi pusing hanya sebatas ruang belum ada dalam diriku “kau diam dalamdalam” Kutub, 2008 Pada

Nyanyian Biasa

aku menyerah pada semesta dalam lempeng api di tepi matamu berharap di tepian jerit yang menganga kau anggap belian rapuh hingga udara sampai dengan sempurna di dekapan sang penebus dosa itu mungkin hanya nyanyian biasa yang kebetulan terdengar oleh waktu, tapi pada sebuah rasa, hanya sedikit masa belum terimah, dirinya disakiti siang itu ya, hanya siang saja, aku berharap pada matahari sementara lapar masih menemuiku lantaran pagi tak lagi ada untuk mengisi ruang kosong dalam kata lalu, aku berjalan, menghitung detik agar reruntuhan menjadi nasi untuk kumakan dalamdalam, tapi aku hanya makan kata dan rasa hingga semesta ini sesak dengan orangorang? salam, aku sampaikan pada siang ini se-air saja lamunan terus mengisi lantaran bunga hanya berdiam dalam malam sering aku berharap ia datang siang ini untuk tidur bersama di alunan alun-alun hingga terlihat wajah asing di suram maram lagu indah tak lagi pusing hanya sebatas ruang belum ada dalam diriku “kau diam dalamdalam” Kutub, 2008 Pada

Malam Kutemukan Neraka

para penyair harus di kutuk karena malam kutemukan neraka sajakku bagai bulan, pecah jadi sepuluh di senja petang perjalanan bagai bulan tersebar itu di huruf-huruf sajakku waktu sudah seperti aku kadang pecah jadi sembilan, jadi sebelas bahkan jadi abu yang tak kumengerti untuk apa kutulis dalam lembar semesta bila sesuatu itu tak ada dalam waktu Sumenep-Nganjuk, 2008 Senandung Percakapan senandung percakapan yang tak pernah kalong dari perjalan rasa kuberjalan dari langit membawa luka dan neraka kulihat dipertengahan sabtu malam ada rembulan terlihat separuh ada yang melihat waktu karena takut terlambat di pagi yang telah lewat padahal sebentang semesta belum selesai aku tawarkan pada bunga Sumenep, 2008 Seusai Kata seusai kata apa arti puisi ini di kala waktu mundur serumpun angin cakrawala menggiring menjadi bayang-bayang titian panjang di sela reroncean hutan tenggelem pada lutut waktu jadi masa di tepi yang bukan tepi Sumenep, 2008 Aku Tak Menyelam Pada Puisi Tuhan, waktu, kata,

Sesobek Puisi Untuk Ibu

kujamah ibu dikejauhan jiwa berpuisi di madura menyerbu putus asa di sawah kuingat di hari kemarin pentas tani yang berjudul tembakau gila yang naskahnya tak terlihat dan jiwa kita telanjang pentas itu berlangsung tanpa panggung melainkan berlansung di atas puisiku keringat berkeringat pentas yang bermain nyawa bercumbu dengan mereka bersedih pada tuhan kita yang amat lugu dan tiada tahu pikiran terjatuh tanpa ada makna kita yang polos, pemaaf kini surat keputusan berkeliaran menjamuh dalam sumbang bisu yang tidak ditentukan oleh kata melainkan dengan do’a lalu ibu tergabung dalam ruang sepi menunggu janji kata Madura, 2008 Mripat Terbuka kebisuan panjang mengingatkan pada senyum rahasia kukatakan lewat kesunyian dengan isyarat dan tanda tanya yang menyelesaikan malam dan siang ini bukan pakaian pesta yang terjamah oleh puisi Sumenep, 2008 Surat Buat Petani di Madura sehabis azan kau jejakkan kaki di perut bumi yang berkeringat menapaki sesuatu yang jauh dengan raga kau guyurkan segala

Pesan

hanya hidup kau tahu bulan-matahari yang lain hanya bentuk dari penantian tetap kucari makna kehidupan walau di matamu tak terlihat keindahan Jogja, 2008 Cium cium membuat bibir basah adalah puisi puisi yang tak tersentuh oleh kegersangan jiwa Jogja, 2008 Kutumbuh Dari Puisimu kutumbuh dari puisimu kataku merumpun menjalar seperti jembatan menjulang memanjang di depanmu Yogyakarta, 2008 Perjalanan Senja adik mau kemana? main-main; jangan, di sana banyak orang kelaparan lalu? jualan nasi ambil uang di saku di saku siapa? kakak tak punya uang di saku hewan berakal itu dimana? di senyum gelap siang hari, tapi mereka tak menyaut saat aku sapa dengan arimata dan kelaparan terus!!! adik diam saja ya!!! lalu, bagaimana agar mereka dengar dan tahu kalau kita lapar atau kekurangan aku tidak tahu kak; kakak juga tidak tahu dik; tapi mengapa adik senyum saat lapar? daripada aku mengeluarkan airmata yang tak bermakna bagi mereka! aku senyum karena masih hidup dan kenyang hanya dengan air mentah su

Yang Pertama

Depok, yang Pertama Satu malam satu wanita melintasi tepi mataku laut tak berombak dan bintang berkabut kuintip jam dua malam katanya, menyapa, Subuh satu wanita melintas irama sepi inilah pertama untuk depok untuk laut yang hampa ombak inilah wanitawanita yang aku jumpai Pagi seramai bintang membiarkan kaki basah untuk depok Untuk awal sejarah kini, lalu, nanti dan akan adalah wanita untuk semua persembahan, maka jadilah depok yang akan lahir dari wanita Kau jadi wanita yang terpecah? Depok, Paris, Yogyakarta, 2008 Monolog Bunga Kudengar dari ibu Aku diberi bunga Bunga apa itu ibu? Bunga yang membuat kita sejuk, Damai, dan bahagia Inilah seharusnya harihari kita Yogyakarta, 2008 Bersama Cermin Sepenggal jejak malam Sejenak langkah Bersama cermin Yang jernih Melawan cakrawala Di angin cinta Bagaimana? Yogyakarta, 2008 Puisi Kehidupan I Penyebab segala kata dan semua rasa tak lain hanya aku Bukan kau yang menjadi rasa juga bukan aku yang menjadi cahaya Aku bukan sesuatu yang memiliki ca

Yang Tertinggal dalam Malam

Yang tertinggal dalam malam kau laksana wakilku diperjalanan jauh itu hingga lagu mengingatkanmu untuk bersanding dengan hati yang belum kau sapu bersih dalam jiwa dan kata-kata Aku pun sadar dalam ngerti karena aku mengambil dari galau, tapi kau masih jauh mengharapkan waktu dari aku Malam itu senin merayu dalam sepi kau tidur di atas pantat, tapi hati kau jauh terlempar pada waktu adakah kau mengerti rasa pada resah kukira ia lelap, ternyata hati masih bergembira dengan suatu yang jauh? Aku tiada api, kau bertanya? aku adalah raja kata yang lembut membirkan hati berkelana untuk menyambungkan lagi hati yang dulu kau bagi pada malam akhirnya lagu menjadi satu dalam dirinya Yogyakarta, 2008 Surat Buat Presiden bila mata menjadi saksi dimanakah kau selipkan kata-kata bila kata-kata menjadi saksi dimanakah kau selipkan rasa bila rasa menjadi saksi dimanakah kau selipkan tingkah Yogyakarta, 2008 Selamat Berjumpa Selamat berjumpa aku ucapkan pada waktu dan aku bertanya pada matamu yang tida

Seharusnya Aku

Seharusnya aku melangkah lebih jauh mengiringi sejakmu yang lembut tapi baru merasa bahwa rasa menjadi kata yang akhirnya aku tak bisa menjauh darinya Tatapan pagi mengundang rasa yang ngeri hingga waktu menyuruhku untuk merasa dan merasa pada detak hari yang kelam Lalu, pagi lagi tersisa pada waktu yang dulu kau sampaikan pada rasa yang melahirkan kata dan kau mengira waktu tak beruba padahal tahu mentari muncul di waktumu tiap pagi Yogyakarta, 2008 Tak Pernah Ada Tak pernah ada rasa yang melahirkan kata seumpama kilau di rembulan menyebar ke retak bambu kuning di belakang dapurmu kau tak merasa ia adalah puisi yang meramaikan semesta Tak seharusnya kau berkata apa yang kau impikan pada masa yang gersang karena kau akan hilang dalam diri dan kata yang tak pernah ada dalam dirimu Seusai rasa kau hinggap pada riang lain Yogyakarta, 2008 Irama Lincah Irama lincah menari seperti burung, mengasikkan menjadi perpuisian semesta Kau menyuruh hati yang rapuh pada lembut katamu hingga makna kau

Sekali Selesai Hari Ini

Ruang Baca Bila sebuah malam berada dalam ruang baca tak ada buah ranum Padamu ada serumpun matahari juga, matahari ada serumpun rembulan pada titik-titik yang tak kau sadari bahwa dia ada dalam adamu Yogyakarta, 2008 Sekali Selesai Hari Ini Sekali selesai hari ini senja hilang bersama burung seribu kata pergi menyesal tanpa risau atau galau tanpa raga dan jiwa hari ini hilang bersih sehampa hampa kau menangis sendiri dalam sejati Yogyakarta 2008 Yin Yang Dua semesta Dua manusia Dua puisi Mengalir seumpama kata Mengisi tepi dan sudut Dalam setiap langkah Hingga ke dua-an menjadi aku Yogyakarta, 2008 Dalam Kekosongan Dalam kekosongan Kumenyebutmu lembah Pada akar langit Yang menyelam dalam tanah Yogayakarta, 2008 Seperti Halnya Kata Seperti halnya kata puisi adalah matahari kehidupan bagaikan pintu kepuasan dalam kekosongan pada tangga langit Kesadaran tanpa kata adalah cara kita menghayati irama yang paling dalam Kelembutan dalam cinta adalah pertemuan dua jiwa menyatu dalam puisi Yogy

Catatan Perjalanan Dari Tepi Mimpi

Belum lagi angin datang membuang lapar seisi semesta layu cakrawala menjadi jurang impian hanya puncak dari segala gunung perahu sembunyi di balik bunyi yang tertinggal gaung melengkung berdesah menjadi rintih pada burung yang menghapus udara sayapnya tak bersejarah sepenggal mimpi tinggal sendiri burungburung pergi meninggalkan mimpi melenyap mimpi di ujung sana Yogyakarta, 2008 Tiada tiada yang kau haruskan karena tiada sang penilai untuk-nya Yogyakarta, 2008 Zaman zaman apakah ini ibu? banyak orang kelaparan ada anak kecil meminta ada orang menangis apa mereka itu tidak bisa berpuisi bisa, jawab ibu, aku terharu aku ingin menangis kalau seperti ini mau diapakan jiwa dan rasa ini ibu? simpan dan lihatlah karena kau tidak bisa berbuat apa-apa lalu siapa presiden? pemerintah? ilmuwan? sastrawan? Bukan, siapa? Kita? kita juga kita tidak kita yang seutuhnya dalam jiwa Yogyakarta, 2008 Gejolak Jiwa yang Rapuh Malam yang aku harap mati dalam jurang matamu dan hilang dalam kelopak waktu Ada