Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2009

Mung Dhe, Seni Yang Sarat Dengan Nilai Perjuangan

Oleh: Matroni el-Moezany* Mung dhe merupakan salah satu seni tari yang berasal dari Desa Garu Kecamatan Baron Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Kelahiran kesenian Mung Dhe terkait erat dengan ontran-ontran di Jawa Tengah pada awal abad ke-19, yakni terjadinya peperangan Diponegoro (1923-1930). Perjuangan Pangeran Diponegoro melawan bangsa kolonial di Jawa Tengah waktu itu mendapat kegagalan. Pengikut Diponegoro tercerai-berai dan tersebar di Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Setelah kalah perang, para prajurit Diponegoro terpencar , ibaratnya sebagai buronan, mereka selalu diawasi oleh Belanda. Para prajurit yang masih tersisa berupaya menyusun kekuatan. Namun upaya itu tidak berani secara terang-terangan melainkan melalui penyamaran, yaitu dengan berpura-pura menari dan mengamen keliling. Penciptaan kesenian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan prajurit Diponegoro yang tersebar di berbagai daerah. Cara seperti ini mereka tempuh untuk mengelabui Belanda yang selalu mengikuti dan mengintai ke m

Marginalisasi Sastra Indonesia

Oleh: Matroni el-Moezany* Saya sepakat ketika sastra Indonesia termarginalkan, hal ini ada kaitannya dengan bangsa kita yang tidak banyak melihat perkembangsan sastra di tanah air, terutama puisi, jadi tidak heran kalau Berthold Damshauser mengatakan bahwa sastra Indonesia kurang di kenal (Tempo, 27/03/2009). Ini bermula sejak terbentuknya Komisi Indonesia-Jerman. Komisi ini bertujuan memperkenalkan sastra Jerman di Indonesia dan sastra Indonesia di Jerman. Dalam hal ini hanya pihak Jerman yang mewujudkan cita-cita komisi tersebut. Indonesai saat ini masih diam, alias pasif. Sebenarnya komisi ini dijadikan kesempatan bagi sastrawan Indonesia untuk memperkenalkan kalau sastra kita maju. Tapi anehnya komisi ini tidak diapa-apakan oleh para sastrawan kita. Artinya kalau Berthold sudah banyak menerjemahkan puisi-puisi Jerman di dalam bahasa Indonesia seperti puisi-puisi Nietzche, Zarahustra, Paul Celan, Bertold Brecht dan Goethe mengapa tidak kalau sastra (puisi) Indonesia diterjemahkan de

Ritual Nyadran, Penganut Islam Bonokeling

Oleh: Matroni el-Moezany * Di desa Pekuncen kecamatan Jatilawang, kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, terdapat tradisi atau ritual unik yang dilakukan oleh umat Islam Kepercayaan hasil ajaran Kyai Bonokeling. Ritual tersebut disebut nyadran, yang maknanya membersihkan diri memasuki bulan yang suci (ramadhan). Sepuluh hari menjelang bulan ramadhan, desa Pekuncen tidak seperti biasanya. Penduduknya yang jumlahnya lima ribuan jiwa terlihat tidak lagi menyibukan diri di ladang, di kebun atau di sawah. Mereka bersiap menyambut datangnya para tamu dari luar desa yang juga akan menyemarakkan nyadran. Umumnya, mereka datang dari wilayah Cilacap. Ada yang dari Adipala, Kroya. Orang-orang tersebut rela berjalan kaki sejauh kurang lebih 30 kilometer dari tempat tinggalnya hingga desa Pekuncen, dimana makam Kyai Bonokeling tempat melakukan ritual nyadran ini. Yang laki-laki berbusana hitam dengan sarung menutupi kaki, dan juga mengenakan blankon (penutup kepala kas Jawa). Sementara yang perempuan ber

Sastra, Politik dan Sosial

Oleh: Matroni el-Moezany* Manikebu sebenarnya tak pernah menampik pentingnya politik, tak serta-merta menerima paham: ”humanisme universal” dan menafikan ”Realisme Sosialis”. Baru sekarang terbuka pintu untuk mengetahui, dengan sikap yang lebih lapang, perdebatan tentang seni dan revolusi berlangsung di mana-mana dan tak ada satu suara yang bisa membungkam suara lain. Itulah gambaran politik seni, sementara seni merupakan ekspresi kreatif dari renungan seniman terhadap kehidupan masyarakat. Maka, yang lahir kemudian bias bersifat hiburan, pencerahan, komentar atas situasi, rangkuman, potret keadaan, karikatur, simbolisme, ekspresi atau tragis dengan mini kata pertunjukan. Semua bentuk ekspresi seni itu tidak memaksa orang lain untuk mendukungnya. Sang sastrawan dengan ruang batin kreatifnya artinya kemerdekaan berekspresi dengan mencari idiom mengola imajinasi menjadi kreasi dalam proses penciptaan yang diungkapkan dalam pertunjukan, karya drama, tari, serta wahana-wahana ekspresif lai

Menyusuri Lorong Estetika

Oleh: Matroni el-Moezany Kemarin bapak menanyakan mahasiswa estetika bahwa setiap kita memiliki rasa estetika tersendiri. Dalam hal ini saya sebagai mahasiswa estetika menyampaikan estetika dari pribadi, kemarin saya bila bahwa saya senang bagaimana melahirkan kata-kata indah. Jadi sekarang ingin menyampaikan bagaimana estetika kata-kata itu lahir dari keindahan yang memiliki roh ketika dilemparkan dilapangan publik. Pertanyaan kemudian adalah dari mana kata-kata itu lahir, apakah dari dalam diri penulis atau dari realitas? Seperti yang saya alami selama menulis kata-kata itu lahir dari realitas, misalnya saya pergi ke Malioboro melihat orang asongan, orang tua yang masih semangat cari uang. Dari sanalah sebagian kata-kata saya dilahirkan. Artinya dari realitas di internalisasikan dan kemudian di eksplorasikan dengan kata-kata puitis. Jadi tidak heran kalau banyak para sastrawan lebih memilih kebiasaan berjalan sambil mencari inspirasi. Tentunya dengan renungan yang sangat panjang, seb

Kebijaksanaan Dalam Hidup, Hilar

Matronie el-Moezany Suatu yang tidak mungkin kalau kita merana dalam kata-kata, karena kata-katalah yang sangat banyak berbuat baik kepada semesta, dari sekarang sampai nanti, demikian kata Hilar. Lihatlah sesuatu yang paling terkecil di dunia ini, siapa sangka kobaran yang sederhana dapat membanjiri semesta, demikian kata Hilar Bangkitlah carilah lembah-lembah kegersangan, agar engkau mengerti kelembutan itu diperlukan, demikian kata Hilar Tak ada penebusan apa pun ketika kita melihat air mata, kecuali engkau keluarkan airmatamu sendiri untuk membasahkan kegersangan orang lain, demikian kata Hilar. Kita menyukai kata, bukan sebab kita hidup, tapi karena kita biasa berkata-kata, demikian kata Hilar Dari semua kata yang aku sukai adalah yang di tulis oleh air mata. Jadi menulislah dengan air mata, sehingga kamu tahu bahwa air mata adalah ruh. Tidak mudah menyelami air mata yang tidak kita lihat, bahkan aku benci kepada orang yang pemalas menulis. Demikian kata Hilar Berfikirlah untuk me

Tradisi Baayun Maulid, Akulturasi dan Sisi Lain Perayaan Maulid Nabi

Oleh: Matroni el-Moezany* Kelahiran Nabi Muhammad SAW merupakan salah satu nikmat terbesar bagi umat Islam. Berkaitan dengan hal tersebut, setiap tanggal 12 Rabiul Awwal, umat Islam nusantara mempunyai tradisi yang unik dan khusus untuk menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad SAW di Kalimantan Selatan dikenal upacara Baayun Mulud. Hal menarik yang perlu kita angkat dalam kegiatan ini adalah apakah Baayun Maulid sebagai kegiatan ritual ataukah prosesi budaya? Jika kita menyebutnya ritual Baayun Maulid, berarti ia terkait dengan paham, ajaran, keyakinan suatu agama, yang memiliki konsekuensi tertentu bagi mereka yang melaksanakan atau tidak melaksanakannya, tetapi jika kita menyebutnya prosesi budaya, maka ia hanyalah sebuah kegiatan budaya yang sudah mentradisi, membumi dan biasa dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat. Selama ini kita merayakan Maulid Nabi Muhammad hanya sebatas shalawatan, rebutan buah-buahan seperti yang terjadi di Sumenep, Madura, jadi anak-anak atau bayi tidak bisa

Menyikapi Pernikahan Dini

Oleh: Matroni el-Moezany* Akhir-akhir ini banyak para pakar baik spikolog, perlindungan anak yang mempersoalkan pernikahan di bawa umur. Penulis di sini sangat heran, kenapa hanya persoalan pernikahan dini yang memang sudah sah menurut agama dan menurut tradisi bahkan budaya dipersoalkan, apakah ada persoalan lain atau memang Indonesia ini tidak cerdas sehingga anak kecil dipersoalkan atau bahkan Undang-Undang kita tidak relevan lagi untuk kita perjuangkan, MUI sampai-sampai tidak bisa melihat konteks budaya yang semakin hari semakin pesat? Inilah yang menjadi pertanyaan besar dan perlu kita sadari bahwa Indonesia saat ini masih belum siap untuk meneriakkan Demokrasi. Pernikahan dini sebenarnya apa yang salah. Saya lihat di sana tidak ada sama sekali permasalahan yang harus banyak orang harus angkat bicara, itu hanya perjalanan indah yang belum kita ketahui sebelumnya. Saya kira untuk mempermasalahkan Syekh Puji sebagai terdakwa terlebih dahulu kita mengoriksi ulang Undang-Undang kita,

Aku, Sastra dan Realitas

Oleh: Matroni el-Moezany* Aku adalah sebuah ruang atau katakanlah masyarakat yang berkesinambungan untuk menjalin hubungan antar rasa dan jiwa, saling menolong, saling membantu, dalam setiap pekerjaan, begitu pun dengan sastra dalam realitas juga saling mengisi dalam setiap ada waktu luang untuk berdialektika tentang realitas itu sendiri. Artinya dalam ralitas sastra memiliki andil yang cukup aktif untuk menggerakkan suasana realitas, baik realitas opini, relitas publik dan realitas itu sendiri. Ketiga inilah sastra masuk menumbuhkembangan kesejukan rasa dan jiwa untuk menjadi bahasa yang akomodatif dan tetap kontkstual dalam menghadapi seni yang dis-orisinal. Jadi untuk bertetangga dengan sastra, bagaimana kita bertutur yang halus, bagaimana bermoral yang baik, dan bagaimana cara menyampaikan pesan kekeluargaan, sebagai keluarga yang damai, dan bahagia dalam menghadapi realitas. Sebab tidak mudah untuk berkenalan dengan sastra. Banyak luka dan derita, karena sastra bermula dari ses

Songai Somber[1]

Oleh Matroni el-Moezany* Pagi yang cerah menghiasi penantian. Orang-orang sudah datang untuk mencuci. Mereka ramai-ramai mandi dan mencuci dengan sabun yang sangat murah harganya. Yang penting bagi mereka bersih dan suci. Mereka sudah biasa mandi dan nyuci di sungai ini. Dari saking terbiasanya masyarakat sana. Dari pagi, siang, dan sore tidak pernah sepi. Karena begitulah kebiasaan mereka setiap hari. Sementara Lin sendiri dalam penantian. Lin juga bingung. Apa yang Lin nantikan. Di tepi sungai Somber. Sungai yang hanya di buat nyuci dan mandi. Lin terdiam. Berpikir. Tidak apa-apa menanti di sini. Sebab sungai ini tidak pernah mati atau airnya habis. Mungkin Lin harus belajar pada sungai ini. Agar kehidupannya juga seperti sungai yang tidak pernah mati. Lin berpikir lagi. Tapi aku kan manusia. Yang terbatas dan tidak bisa berbuat apa-apa seperti air. Lalu, dia teringat ketika belajar filsafat di perguruan tinggi, kala itu dia belajar tentang filsafat kehidupan, bahwa dunia

Bujuk Polai[1]

Sepertinya keberwanktuan sudah menjadi batu Menjadi cahaya dalam ruang gelombang malam Si manis kata bersuara lewat kata-kata senja Selembar kata itu sudah terbaca banyak kita Dan sebagian yang tidak aku siram dengan air komkoman Di busur yang tertaburi ayat-ayatkua, tapi aku lahir kembali Menyamai sisa lembar berikutnya yang ada dalam rahimmu Kuselami tiap batu nisan yang bertuliskan suara Dan bayang-bayang kurang begitu ada, tapi suara tetap di tempat duduk Di bawah pohon Polai itu, di sini aku kabarkan kepada mereka Sehelai suara, agar gema menjadi pengisi Di sana, tapi singgapan itu terngiang lagi Mengurai rasa-rasa dalam rumput dan matahari Ketersisahannya aku bawah untuk bekal di persimpangan Antara roh dan bayang-bayang Purwokerto, 2009 [1] Kuburan Polai di Sumenep Madura

Garis-Garis Rahasia

terkadang malam hanya sebatas hiburan yang lewat tanpa sadar kulihati agar kehelaian tak terpisahkan menjadi hampa kubaca di setiap garis-garis rahasia lalu kuberdarah di tepi bayang-bayang kumembunuh kata di langit di tepi pendiamanmu di dalam puisiku darah-darah mengalir seperti engkau dia juga makan dia juga bisa menangis karena waktu, ya, karena waktu kehadirannya tak lagi menjadi siwalan di jiwamu dia hanya sabar saja melukai mayang mencari sisi mana yang bisa keluar air mata sesekali terluka sendiri sesuka pangerat menepis tubuhmu agar kelembutan jiwa terbuka pada ayahku Jogjakarta, 2009

Jari-Jari Malam

kurangkai kata untuk melukiskan air matamu karena gelisah lembut yang kau lengkungkan pada malam hanya sebatas lipatan senja yang belum selesai kau bagi malam telah mengusapmu basahan pipi lembut manis yang bagi kita itu hanya piluan-piluan malam yang berairmata tak lagi kuulang menjadi kata ia sudah kusimpan dalam diri untuk sejarah waktu nanti pelan-pelan aku tidurkan wajahmu dari rengkuhan tangis malam, tapi kau tak bisa mengulang lembutan malam yang begitu berarti untuk kita hingga secara tak sadar kata-kata lahir begitu saja di kertas putih dan basahan tangismu pelan-pelan lagi kuulurkan dengan lembut pada kening malam yang sudah basah mungkin karena hujan atau tangis tadi karena kegersangan sejak lama ada mengurai sejarah kata yang lahir dari gelisah panjang tiba-tiba pelanpelan itu tiada hilang entah karena ada kata yang lebih sempurna untuk menjadi wakil bahwa airmata perlu di urai Jogja, 2008

Kota Dalam Mimpi

terlihat begitu indah air berwarna putih dan di atasnya orang-orang menghadap tuhan kunaiki tangga ke lima mencari ketimpangan dalam diri kekurangan dalam ruang lalu kubakar segala keinginan yang paling terhampa agas asap yang mengepul tak usah kuberdebatkan lagi kalau pun itu ada ia hanya darah yang belum terhapus oleh waktu lalu semuanya menjadi menjadi segala hal yang terhantui hingga keperawanan semesta terluka CRCS, 19 Februari 2009

Telanjang Di Atas Piring

O kata jika aku memakaimu bakarlah aku denga api jika aku membacamu tuangkanlah jika aku merengkuhnya jangan tampik aku dari keindahanmu kepak kata terbang mencapai cakrawala kata, kuharuskan wajahnya berpaling di balik tabir walau akhirnya kau hilang tapi, apa yang abadi takkan pupus inilah yang terindah di dunia darah Yogyakarta, 2009

Pendopo

Senja yang gemetar membiarkan jiwa hilang Setelah perjalanan di atas onthel menyenangkan Tapi, jiwa ingin sekali bermain bintang di atas sana Entak kenapa aku belum bisa mengeluarkan kata Sebagai percakapan awal denganmu Sesampainya pada pendopo yang tak aku rasa maknanya Sesampai juga alunan kata terkata oleh lubang-lubang rasa Kulihat ada yang bermain teater dengan cakrawala Ada yang baca puisi dengan bahasa, tapi satu Yang sampaikan; jangan biarkan kata-kata itu kelaparan? Sebab dia akan menjauh jika kau salah merawat Apalagi dia sampai lapar Makanya kulembutkan malam itu Sebagai awal untuk merangkai linangan kata Agar lautan di pendopo itu menjadi manis dan kecut Sebab tak selamanya lautan menjadi gelombang Kadang dia menjadi bahasa Kadanga menjadi kata Kadang menjadi lembut Kadang juga menjadi cinta Ini semua karena pendopo telah lama bersuara Hanya saja rasa kita kurang dekat dengan kulit luarku Makanya kuharap luatan teta

Maret 03 2009

Kau sempatkan rasamu menjadi pintaku Walau malam membuatmu ngantuk dalam sepi Kuurai sedemikian kecil arti rasamu itu Karena malam itu membantuku merasuk dikedalaman rasamu Sebelumnya kisi-kisi kata sudah terwakili dengan bulan Kuselami pelan-pelan walau keras sebongkah batu aku bekali Dengan bahasa sederhana dalam malam Dan kata-kata sederhana dalam malam Itulah catatan kecil dari sepenggal sejarah Yang kita bagi dalam ruang kata-kata Aku harap itu menjadi lembut dalam mengarungi keabadian Keabadian yang tak terkira Singgahan-singgahan demi singgahan Kini terurai bersama sepinya malam, Bersama garis musik cakrawala Kubaca detik-detik demi detik Hanya untuk menjadi keabadian Kuraba segala bahasa dan kata Agar genangan air tak lagi menjadi banjir untuk kita Sebutir semesta telah aku suguhkan padamu Membiarkan terlepas dalam hatiku Sampai matahari juga tahu bahwa kita memang pasangan huruf-huruf Dalam kitab suci, yang semua dapat

Almanak Abad Partai Indonesia

Inilah buku yang kutulis bersama temanteman di Jakarta Menulis sebatas ketidakterbatasan mereka Di sana terkumpul kurang lebih 203 partai yang mereka tulis Kecewa pun ada, rasa gembira juga ada, kita semua ada Tapi, di sana hanya mimpi untuk masuk ruang kemiskinan Dua sebatas lebih dari satu dan tiga tak sempat aku bawa ke Jogja Karena kereta terlalu panjang untuk kunaiki Kini tersisa bahasa Kita hidup untuk menulis, dan bertanya Melalui ulasan-ulasan kilas batas kesepian 2009

Pada Laptop Pinjaman Itu

Pada sebuah kamar yang sempit Kudiami bersama Tari Dan tiga rak buku tertata pada musik pagi Minggu selalu kubaca koran Selalu puisi tercerai rapi pada derai jiwa Aku ingin puisi itu terlahap dalam cita kepala Kubuka laptop itu Terlihat satu gambar salib Jakarta di Timur Monas Kubuka sejengkal mimpi untuk menarai Agar tak terlihat bahwa agama bukanlah materi Tapi, jembatan waktu untuk aku dialogkan bersama Kemudian itu tak selesai, aku selalu ingin perang Perang melawan malam, siang dan senja Dan mereka tetap ingin......... Di kamar yang sempit Musik yang hanya sebentar. 2009

Tiap Pagi

Tiap Pagi Ketika tiap hari matahari selalu hadir menemani aku Kujumpai sejumput rasa untuk di simpan dalam ruang Agar halaman waktu tak lagi kosong dari biji-biji janji Sementara di depan mata terlihat baju-baju kebohongan Mengisi keindahan semesta, seharusnya mata ini menjadi indah Melihat ruang-ruang di sela-sela garis persinaran basi Kusempurnakan jalan ini pada desah lafal alif Pada bintang yang akan datang malam nanti Pada bulan yang akan datang minggu pagi Semua tertata rapi dalam ketakmengetian waktu Tiap pagi? Kutemui buah dada besar juga terlihat Paha-paha termulai dengan sinar pagi Pasar-pasar juga ramai dengan kata Sengerai puisi selalu lahir dari penyair Untuk diisikan dalam ruang yang kosong Tiap pagi? Garis sinar terlihat tua Entah karena dia takut kuulang lagi perbuatan kosong terjadi Perbuatan segala macam bahasa, detik, rasa dan gila Menemui sempalan bunga di depan pintu Tiap pagi? Aku melihat orang mencar

Hikmah

Matronie el-Moezany Hilar Suatu yang tidak mungkin kalau kita merana dalam kata-kata, karena kata-katalah yang sangat banyak berbuat baik kepada semesta, dari sekarang sampai nanti, demikian kata Hilar. Lihatlah sesuatu yang paling terkecil di dunia ini, siapa sangka kobaran yang sederhana dapat membanjiri semesta, demikian kata Hilar Bangkitlah carilah lembah-lembah kegersangan, agar engkau mengerti kelembutan itu diperlukan, demikian kata Hilar Tak ada penebusan apa pun ketika kita melihat air mata, kecuali engkau keluarkan airmatamu sendiri untuk membasahkan kegersangan orang lain, demikian kata Hilar. Kita menyukai kata, bukan sebab kita hidup, tapi karena kita biasa berkata-kata, demikian kata Hilar Dari semua kata yang aku sukai adalah yang di tulis oleh air mata. Jadi menulislah dengan air mata, sehingga kamu tahu bahwa air mata adalah ruh. Tidak mudah menyelami air mata yang tidak kita lihat, bahkan aku benci kepada orang yang pemalas menulis. De

Proses Hermeneutika Wilhelm Dilthey

Oleh: Matroni el-Moezany* Latar belakang Dari sekian banyak tokoh hermeneutika Dilthey adalah tokoh yang banyak menaruh perhatian terhadap berbagai tema yang bersangkutan dengan tema filosofis, baik filsafat sistematis maupun sejarah filsafat itu sendiri. Di lihat dari pergulatannya dengan masalah sosial, sumbangan Dilthey yang sangat besar kepada kefilsafatan adalah penyeledikaanya tentang kehidupan. Jadi tidak diherankan kalau karya Dilthey di sebut sebagai filsafat kehidupan. Dari sinilah kemudian proses berjalannya hermeneutika Dilthey yang dikembangkan sendiri sampai sekarang. Sebab menyangkut semua aspek kehidupan, bagi Dilthey filsafat kehidupan tidah hanya berkutat di ranah masalah arti biologis saja, melainkan seluruh kehidupan manusiawi yang di alami manusia dengan segala kompleksitasnya yang amat kaya akan makna-makna. Dari sekian banyak kehidupan manusia dari individu dan bersaman-sama itulah yang membentuk kehidupan manusia melahirkan realitas sosial dan historis. Dilthey