Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2009

Kemungkinan Lain

Kemungkinan Lain selalu ada aras hujan memeluk batu merobek lurusnya daun ini mungkin selalu ada arus balik merasakan sedih melukai malam ini mungkin selalu ada kata tumbang merajai semesta ini mungkin selalu ada matahari terbit memberi makan pada bunga ini mungkin selalu ada kita yang luka tak ada yang memberi rasa ini kemungkinan lain selalu ada luka yang tak sembuh karena kita ini kemungkinan lain selalu ada kata-kata kosong yang selalu ada di negeri ini ini kemungkinan nyata Jogja, 28 Januari, 2009

Gejolak Kitab Vagina

aku tak menemukan apa yang harus kutulis malam ini hanya ada satu kata dalam benakku satu kata untuk negeri bangsat ini negeri bayi negeri mati negeri tanpa makna inilah negeriku yang aku cintai sampai sekarang walau negeriku mati perjuangan selalu ada, tapi perjuangan perut yang teru-menerus sampai sekarang islam berjuang untuk mengisi perut tidak ada lagi cahaya islam yang bertebaran di jiwa-jiwa rakyat kita aku hanya bisa meratap menunggu kapan kata lahir untuk mengoyak hati bangsat puisi tanpa kata terus berkeliaran di atas kening kenikmatan di atas kening kebokrokan di kening hitam yang menandakan dirinya hitam entah kenapa kata ini tega melahirkan bentuk hitam aku tak mengerti apa maksud kata-kataku dari kata berjihat naik ke angkasa kebodohan kata kebodohan me-rasa, maka lahirlah sakralitas semersta yang mengilakan kata-kata resah di negeri kepahlawanan kepahlawanan kosong kepahlawanan kesiangan

Kemungkinan Lain

selalu ada aras hujan memeluk batu merobek lurusnya daun ini mungkin selalu ada arus balik merasakan sedih melukai malam ini mungkin selalu ada kata tumbang merajai semesta ini mungkin selalu ada matahari terbit memberi makan pada bunga ini mungkin selalu ada kita yang luka tak ada yang memberi rasa ini kemungkinan lain selalu ada luka yang tak sembuh karena kita ini kemungkinan lain selalu ada kata-kata kosong yang selalu ada di negeri ini ini kemungkinan nyata Jogja, 2009

Ketidakjelasan

engkau bilang siang ini adalah jelas, tapi mengapa engkau masih ciptakan lubang-lubang pada daun pergi tanpa ada rasa, tak peduli, padahal kau tahu aku mengelu tak apa, selain adanya itu sendiri dimana kau letakkan perasaanmu hingga jiwamu mati, tanpa rasa aku pun sadar bahwa banyak kata kau berkurang dalam merasakan rasa yang ada hanya ketawa pada luka Jogja, 2009

Akankah

akankah malam nanti kata-kata itu akan lahir kembali mengisi ruang-ruang kosong dalam benak semesta di waktu lapar menyakitkan kekosongan lahir kembali mengusik malam-malam entah karena engkau kuiyakan diam dalam diri atau karena memang manja dan sensual hingga menyibukkan mata enggan tertidur mungkin malam itu terlalu indah kulewatkan maka, bicaralah padaku agar senja yang datang nanti tidak lagi susah melihat langkah di atas rel dan mata yang tak mau lelap perkembangan senja sudah tak lagi cerah jiwa kita lapar tingkah kita lapar rasa kita lapar kata-kata pun lapar semuanya lapar akibat ketidaksejukan ruang-ruang Jogja, 2009

Menangislah Sempuasmu

menangislah sesukamu biar pagi berawan ini tak menjadi hujan karena air matamu banjir-banjir di mana adalah hasil karya matamu yang seringkali mengaduh dan menangis karena tak dihiraukan hingga luka bukanlah luka, tapi kelembutan yang tertuang dalam jiwa penyair bukan, itu adalah kata-kata yang mungkin belum sempat kau lahirkan sebagai anak kedua dari kelukaanmu Jogja, 2009

Musik Malam Terlalu Berat Untuk Kusebut

terlalu berat kusebut dengaran musik padahal malam selalu menyuruhku sedikit saja mengunyah biji sawi aku benar-benar tak kuat memegang musik, karena terlalu tipis benda senja yang hilang di pelataran alat-alat waktu Jogja, 2009

Ketidakhadiran Pagi

begitu begiku sesepi serasa sedemikian seadanya serupa sesampainya semua ada pada ketidakhadiran pagi bagiku sebegitu susahnya melayangkan untuk kutitipkan pada Tuhan semisal pagi tak mau kuajak melayani semesta malam Jogja, 2009

Sepertinya Aku Tak Bisa

sepertinya aku tak bisa melayani malam merayu untuk berpesta karena kau terlalu sempit untuk kulalui di atas ranjang kenistaan sebentar lagi waktu akan tiba kapan dan dimana engkau berjanji tentang aku jadi benar tentang aku jadi penyelamat tentang aku yang menegakkan keadilan semua sudah tertuang dimana-mana aku pun harus berkelana mencari yang layak aku sebut suci dari kata-kata kosong tapi, sepertinya aku tak bisa percaya kepada Indonesia yang sejak berputar bersama matahari ia tak sadar kalau matahari masih menyukainya bahkan ia sendiri tidak tahu wajah mentari sepertinya aku tak bisa menyadarkanmu lagi Jogja, 2009

Suatu Mimpi Dalam Cangkir Kopi

matamu tak bertempat lagu malam dalam mimpi meresap diperataran surau-surau waktu melesat di angkasa jiwa, menjadi istana kata sesepi pagi sedemikian rapi singgahan-singgahan kantor megah rapi seperti papi papi seperti sapi sapi menjadi rugi rugi menjadi sesamapainya putih semua mimpi, minum kopi makan sapi, dari api entah serampangan dalam pandangan suri kita sekira malam padahal hanya lumba-lumba di lautan bara di lembah-lembah pekarangan singgah entah karena malam terlalu cepat aku jalani atau karena kopi kurang banyak aku beli di warung maling-maling bangsa setajam remaja mengais seutas bara dalam jiwa Jogja, 2009

Malam Berkata Pada Cakrawala

malam berkata pada cakrawala, o, gulita aku bermain bintang meronai waktu sementara senja tiba-tiba datang padahal keberhentian waktu sudah terjadi, tapi tak apa, ini adalah awal waktu menjadi waktu lain dalam semesta keabadian aku mulai tak ada resah menjadi penyair karena dialah yang mengatur jalan waktu sementara aku hanya percaya bahwa di balik awan tak ada hujan, tapi aku yang sedang duduk bersama rindu Yogyakarta, 2009

Musik Malam Terlalu Berat Untuk Kusebut

terlalu berat kusebut dengaran musik padahal malam selalu menyuruhku sedikit saja mengunyah biji sawi aku benar-benar tak kuat memegang musik, karena terlalu tipis benda senja yang hilang di pelataran alat-alat waktu Jogja, 2009

Ketidakhadiran Pagi

begitu begiku sesepi serasa sedemikian seadanya serupa sesampainya semua ada pada ketidakhadiran pagi bagiku sebegitu susahnya melayangkan untuk kutitipkan pada Tuhan semisal pagi tak mau kuajak melayani semesta malam Jogja, 2009

Sepertinya Aku Tak Bisa

sepertinya aku tak bisa melayani malam merayu untuk berpesta karena kau terlalu sempit untuk kulalui di atas ranjang kenistaan sebentar lagi waktu akan tiba kapan dan dimana engkau berjanji tentang aku jadi benar tentang aku jadi penyelamat tentang aku yang menegakkan keadilan semua sudah tertuang dimana-mana aku pun harus berkelana mencari yang layak aku sebut suci dari kata-kata kosong tapi, sepertinya aku tak bisa percaya kepada Indonesia yang sejak berputar bersama matahari ia tak sadar kalau matahari masih menyukainya bahkan ia sendiri tidak tahu wajah mentari sepertinya aku tak bisa menyadarkanmu lagi Jogja, 2009

Suatu Mimpi Dalam Cangkir Kopi

matamu tak bertempat lagu malam dalam mimpi meresap diperataran surau-surau waktu melesat di angkasa jiwa, menjadi istana kata sesepi pagi sedemikian rapi singgahan-singgahan kantor megah rapi seperti papi papi seperti sapi sapi menjadi rugi rugi menjadi sesamapainya putih semua mimpi, minum kopi makan sapi, dari api entah serampangan dalam pandangan suri kita sekira malam padahal hanya lumba-lumba di lautan bara di lembah-lembah pekarangan singgah entah karena malam terlalu cepat aku jalani atau karena kopi kurang banyak aku beli di warung maling-maling bangsa setajam remaja mengais seutas bara dalam jiwa Jogja, 2009

Mencari Alamat Lewat Sastra

Oleh: Matroni el-Moezany* Dengan kembali ingin menghidupkan budaya dan sastra di Yogyakarta, Dewan Kebudayaan Yogyakarta (DKK) mengadakan festival sastra yang bertempat di Multiporpus UIN Sunan Kalijaga yang berhubungan dengan fakultas Adab, dengan di hadiri dari berbagai sastrawan, budayawan, dan penyair Jogja. Tema ini sangat menarik ketika menginjak kepada dialoq terbuka dengan nara sumber Hamdi Salad, Taufuk, Musthafa W Hasyim dan Sholeh UG, mereka sangat semangat untuk bagaimana perkembangan sastra di Jogjam tidak mati, baik dalam percakapan maupun dalam dialog-dialog yang ada di komonitas maupun dalam akademis. Mereka bersama lembaga kebudayaan Jogja ingin memperjuangkan identitas sastra di tanah air, khususnya di kota Jogja. Sehingga kritik karya sastra yang lahir terhadap realitas merupakan format lain dari sebuah kepedulian sosial, ini bisa dikatakan bahwa sastra yang berusaha menyajikan kegetiran sosial yang dimunculkan di dalamnya merupakan tindak sosial yang menjadi muara k

Kata Tua Dari Seorang Penyair

kata tua, lambang kedamaian selalu tak berubah dalam puisi tiada yang tak mungkin bila engkau mengasuh jika aku lapar hanya lapar kata dan lapar semesta lalu air termenung selenting kata tergerus malam pada liar-liar rasa Jogjakarta, 2009

Dasar Wajah Sayu

aku senang mengeja kedasar wajahnya, tapi sekarang aku sudah lupa kapannya. biarlah waktu mencatat apa makna hujan yang nyusuf dalam jiwaku sampai-sampai jiwaku bisu mengaduh Jogja, 2009

Kubawakan Mawar Pagi Untukmu

aku tak ingin lintas di depan wanita cela lantaran dia tak kuat menahan ketertekanan waktu coba, hanya untuk mengisi ladang nyeri dalam dirinya waktu habis tergerus waktu lain waktu yang bisa membuat jiwa damai merebus sarimi dalam hati Jogja, 2009

Menunggu Hari Akhir

menunggu hari akhir kucoba petik matahari aku mulai menambah kata di baris terakhir penantian mungkin detak jarum melingkar mengawasi langkahku melayani perempuan terakhir dari kata lain akhir penungguan terasa datang yang tertatat sebagai spidol mereh Jogja, 2009

Ruas-Ruas Malam

begitu banyak waktu malam merindu, melodis dan mendesau aku teringat langit hujan sekeras batu merah di dadamu engkau meringankan laparmu tengah malam engkau berjalan ke tempat-tempat sampah mencari sisa makanan aku lihat kau merasa enak dan damai dengan semua sepertinya hanya aku dan jiwaku yang bisa merasa dan melihat itu entah mengapa atau karena kata ini memiliki ruas hanya pada waktu malam atau malam lebih tepat untuk mencuri aku juga yakin kalau ada orang yang lebih maling dari sekedar maling, tapi aku senang karena sudah berhasil mengambil hak orang-orang sementara aku dan kawan-kawan masih kelaparan mengapa engkau tidak memanggil aku kalau kau belum makan aku akan tetap melawan semua bersama sedesau angin malam bersama silau lampu kereta entah kapan tuhan memberhentikan ulah mereka Jogja, 2009

Kata-Kata Liar

aku meliar kata meliar lintas jurang sedesau angin panjang hanya segitu rambut rapi dengan sedikit embun dari sana bayang-bayang terlihat di balik tabir setiap kata berakhir dalam senyum membius Jogja, 2009

Kamar Senja

berjalan itulah yang menjadi agendaku hanya bunyi malam berkelenengan melembut, melodis untuk merangkai orang-orang ternama agar aku menjadi seperti mereka, tapi itu hanya harapan waktu yang pasti ada dalam kamar senja aku berharap hanya kata yang bisa membantuku dalam mencipta penyair, sastrawan dan budayawan senja yang kulihat di sini bersikap indah malam nyaman, di pahat di tepi waktu oleh kata tidurnya bermakna, kau tak akan yakin, bungunkan, biar dia bicara Jogja, 2009

Engkau Tak Usah Menangis

sekarang matahari telah terbit engkau tak usah menangis melihat semesta menjadi terang karena engkau tak akan kuat melawanmu biarlah kami berjalan menguasai seluruh penjara menindas kaum-kaum lemah agar ruang ini menjadi aman tidak! aku akan tetap di tanah air ini berdarah melawan gelombang, dengan jiwa luka mengasa pedang palsu, begitulah engkau maju sedang aku pergi mengalahkan orang-orang bawah aku berkata dalam malam dalam getaran kata seperti lautan menjadi neraka menuju jakarta, keluar dari keegoisan melalui trotoar seluruh bangsa sakit rasa engkau kembali ke rumah masing-masing sedang kapas kasur keluar menjadi kotor dan kepada rakyat melihat kawan seperjuangan engkau, kita, mereka dengan meminta maaf dan terimah kasih itulah yang membebaskan semua memakai rasa penuh, bergambar bulan, bintang, matahari lalu kutanya; mengapa tidak selalu ada kalau semua perlu kata-kata aku tidak perlu upah itu hanya santunan rasa dan tak kusesali bendera lain terlihat aku akan selalu be

Aku Bersembunyi Di Balik Permainan Undang-Undang

aku bersembunyi di balik permainan undang-undang sekarang, kamu, hukum, dan keadilan di haruskan bisu, tapi bagiku suatu keputusan yang menyesakkan di linangi sedih beku karena cita-cita negeri cemar dan tumbang dengan tangis banjir dan do’a darah awan-awan hari mimpi malam tapi itu sia-sia karena langkahku di telan bayang-bayang awan kegumpalan itu tumpas lalu, terkubur si miskin dengan kepalsuan-kepalsuan jangan sentuh indonesia perang bersama putri kepalsuan pelan-pelan melangkah ternyata, ular yang mengarungi semesta hai mall jangan iringi kumpulan kata dan rasa dengan pidatu sadarlah kapal-kapal bocor di tepi-tepi daunmu teman-temanmu ketakutan dan tertunduk rapi, menerangi gelap mata kami sudah bersih dari jaring laba-laba kita, mereka tarik-menarik duduk dalam palsumu mengempeskan perut dalam lipatan angka, dia bukan sampah sudah saatnya kita perangi kaum pemalsu itu tembaklah negeri dari pilar-pilar raksasa kami bahagia memanggil para diperbudak dalam memangkas, menebang dan me

Seperti Desau Sungai Bai

seperti desau sungai bai kau melupakan belati malam yang membuat kata hijau menjadi malam kuberharap zaman ini orang-orang miskin terbang dengan kain-kain dan air mata yang terterah dalam peradaban malam ini kuharap semata pasir melumpuhkan kelaparanku agar kulihat mengalir darahku yang kedua akankah negeri ini kubungkus dengan beras tuan Indonesia mengeluarkan undang-undang dari keringat rakyat, jiwa liat dan lumpur kata sebuah negeri kunyanyikan bahasa belati sebagai tanda lahirku untuk menguras kematian ini kubaca kitab vagina di antara tradisi-tradisiku rakyat di terdampar rakyat di perkosa Rumah Tanya, Jogja, 2009

Kata-Kata Liar

aku meliar kata meliar lintas jurang sedesau angin panjang hanya segitu rambut rapi dengan sedikit embun dari sana bayang-bayang terlihat di balik tabir setiap kata berakhir dalam senyum membius Jogja, 2009

Kamar Senja

berjalan itulah yang menjadi agendaku hanya bunyi malam berkelenengan melembut, melodis untuk merangkai orang-orang ternama agar aku menjadi seperti mereka, tapi itu hanya harapan waktu yang pasti ada dalam kamar senja aku berharap hanya kata yang bisa membantuku dalam mencipta penyair, sastrawan dan budayawan senja yang kulihat di sini bersikap indah malam nyaman, di pahat di tepi waktu oleh kata tidurnya bermakna, kau tak akan yakin, bungunkan, biar dia bicara Jogja, 2009

Engkau Tak Usah Menangis

sekarang matahari telah terbit engkau tak usah menangis melihat semesta menjadi terang karena engkau tak akan kuat melawanmu biarlah kami berjalan menguasai seluruh penjara menindas kaum-kaum lemah agar ruang ini menjadi aman tidak! aku akan tetap di tanah air ini berdarah melawan gelombang, dengan jiwa luka mengasa pedang palsu, begitulah engkau maju sedang aku pergi mengalahkan orang-orang bawah aku berkata dalam malam dalam getaran kata seperti lautan menjadi neraka menuju jakarta, keluar dari keegoisan melalui trotoar seluruh bangsa sakit rasa engkau kembali ke rumah masing-masing sedang kapas kasur keluar menjadi kotor dan kepada rakyat melihat kawan seperjuangan engkau, kita, mereka dengan meminta maaf dan terimah kasih itulah yang membebaskan semua memakai rasa penuh, bergambar bulan, bintang, matahari lalu kutanya; mengapa tidak selalu ada kalau semua perlu kata-kata aku tidak perlu upah itu hanya santunan rasa dan tak kusesali bendera lain terlihat aku akan selalu be

Aku Bersembunyi Di Balik Permainan Undang-Undang

aku bersembunyi di balik permainan undang-undang sekarang, kamu, hukum, dan keadilan di haruskan bisu, tapi bagiku suatu keputusan yang menyesakkan di linangi sedih beku karena cita-cita negeri cemar dan tumbang dengan tangis banjir dan do’a darah awan-awan hari mimpi malam tapi itu sia-sia karena langkahku di telan bayang-bayang awan kegumpalan itu tumpas lalu, terkubur si miskin dengan kepalsuan-kepalsuan jangan sentuh indonesia perang bersama putri kepalsuan pelan-pelan melangkah ternyata, ular yang mengarungi semesta hai mall jangan iringi kumpulan kata dan rasa dengan pidatu sadarlah kapal-kapal bocor di tepi-tepi daunmu teman-temanmu ketakutan dan tertunduk rapi, menerangi gelap mata kami sudah bersih dari jaring laba-laba kita, mereka tarik-menarik duduk dalam palsumu mengempeskan perut dalam lipatan angka, dia bukan sampah sudah saatnya kita perangi kaum pemalsu itu tembaklah negeri dari pilar-pilar raksasa kami bahagia memanggil para diperbudak dalam memangkas, menebang dan me

Seperti Desau Sungai Bai

seperti desau sungai bai kau melupakan belati malam yang membuat kata hijau menjadi malam kuberharap zaman ini orang-orang miskin terbang dengan kain-kain dan air mata yang terterah dalam peradaban malam ini kuharap semata pasir melumpuhkan kelaparanku agar kulihat mengalir darahku yang kedua akankah negeri ini kubungkus dengan beras tuan Indonesia mengeluarkan undang-undang dari keringat rakyat, jiwa liat dan lumpur kata sebuah negeri kunyanyikan bahasa belati sebagai tanda lahirku untuk menguras kematian ini kubaca kitab vagina di antara tradisi-tradisiku rakyat di terdampar rakyat di perkosa Rumah Tanya, Jogja, 2009

Kalimat Yang Tak Pernah Mati di Ujung Senja

Oleh: Matrony el-Moezany* Aku mencari matahari? Kata sang guru, aku akan menemukannya di tempat-tempat yang kumuh, di atas para pengemis yang menengadah, di dalam malam yang berirama dan alunan gitar para pengamen yang meminta-minta, atau di atas pijakan tongkat tunanetra, lalu apakah sumber-sumber pengetahuan untuk tahu matahari itu? kau akan menemukannya dalam perut malam yang meneriakkan kelaparan dalam perkumpulan orang-orang yang hidup dalam kesusahan, dan dalam pelacuran para elitis, dalam pertengkaran para perebut kursi kekuasaan, dalam hotel-hotel, atau di rumah-rumah, juga terpetak-petak dan kemiskinan. Aku mencari semua itu, Siapa yang menulis semua kata-kata dan kalimat-kalimat itu? Aku menemukan begitu saja dalam arungan perkelanaan ini, ketika aku menuju jalan kembali, rumah atau apa saja atau yang lain, pena yang menuliskan itu tampaknya masih basah, lembab, lembut, sejuk dan baru, belum tersentuh oleh debu-debu yang melintang di angkasa, sepasang kakiku berbijak seakan m

Semata Wayang

kita bertabir kebohongan panjang kau biarkan kata semata benda untuk mengungkap hatimu dan kamatian tapi dimana kau campur rasa erat dalam dirimu apakah kau telah matang kata sebagai cincin keabadian kitab penyair, kitab vagina dan kitab dalam buku akan selamanya tegak di tengah tumpukan jerami di pintu kedua mataku kitab di surau-surau yang beragam di balik cermin kitab itu menjauh pagi memukul langit dengan aksara malam di lembaran-lembaran panggung masa depan kuingat namamu, di dasar pagi memabukkan waktu menyihir matahari biar bingung dalam perjalanan sampai senja mati di atas tempat duduk kayu kutulis apa yang dikatakan oleh matahari kepada aku nyanyian-nyanyian kemewaktuan damai rasa berbaring matahari melukis tubuhku damai masih aku rasa sampai mentari tuai pelukan angin di antara wajah-wajah kata dan langkah-langkahku Jogja, 2009

Di Negerimu Ada Sejarah Senyum Belum Terluka (KItab Vagina)

( kitab vagina ) di matamu ada sejarah senyum belum terluka kurawat rerumputan senja dalam kisah waktu keikhlasan agar keindahan malam tetap indah aksara namamu kucaru kedalaman bibirmu di keningku kuwarnakan senyum dan sejarah negeri bercanda dalam satu piring berdua kau kuserang dengan jiwaku dunia adalah kitab vagina samapai saat ini banyak penggemar merayakan di dunia palsu di dunia harapan apalagi dunia malam ia tumbuh menjadi yang kita inginkan sekarang al-qur’an, hadis dan kita-kitab yang lain telah mati kini tinggal kitab baru “kitab Vagina” yang berada dalam jiwa perempuan perempuan gila perempuan harta perempuan hanya laki-laki gila karena ia sangat tinggi, tinggi sekali siapa pun tiada yang menyamainya doktor, profesor atau siapa pun kecuali hanya satu itu kata-kataku yang mengalir bersama puisi aku takut aku khawatir aku memohon tolong pada reremputan malam kuselami

Di Bawah Awan Terluka

di bawah hujan aku terluka selain darah luka nafas sengau lalu kutanam pohon siwalan dalam duka keberlindung di antara celah-celah kerinduan kusentuh detik-detik yang mekar kuberbisik pada batu-batu lalu.....................? kutulis hasrat dalam puisi dengan tinta darah di wajahmu tiada luka sekecilpun di kedua tanganmu tiada baris sisa sebuah samudera di sana akulah yang di kalung leher itu kugerakkan matahari melalui sorong wajahmu dua orang tua pencerita kelaparan dalam ledak keangkuhan indah itu ia dirikan puing-puing seluruh cakrawala dengan nama puisi luka angin samudera Jogja, 2009

Malam Berpayung

malam berpayung hujan mengalir di garis sinar melangkah melingkari bulan basah kaki berpaling dari waktu pejual jamu protes pada Tuhan karena hujan tak berpayung seperti capung bersih mungkin khayalan berjualan adalah kenikmatan tuan tapi, tidak bagi hamba puisi ini perjuangan melawan lapar haus, dan cercah hujan masih belum dengar permohonan itu terjerit airmata yang menjadi mata air pertuangan jiwa itulah perjalanan bahasa yang membuat kapal-kapal berlayar dan bom berkeliaran menyonsong kemenangan, padahal tidak! itu dendam yang terbalas karena dulu kau sangat sakit perut kelaparan Yogyakarta, 2009

Sepi Lapar Itu Nyeri

sepi lapar itu nyeri pada senja berawan jalan dari dasar keresahan mencari kata baru asap dan tiang-tiang gemetaran sayang, ia bukan makanan bukan memburu rahasia manusia palsu di kakinya capek keringat mentari pemberontak mengajak perang seperti ada kesejukan di ruang badai hantu pasir dan sumber angin, air mata perawan-perawan berirama laut menangis karena kita tak berenang anak jatuh terbelah dua berjalan tipis berkata berbaring bersama anaknya ketakutan, berlalu sebagai patahan sayap anak itu lekat di kening perempuan mengenang penguasa inilah negeri pengecut dari bulu tikus matahari robek oleh kelaparan wahai anakku, persiapkan tempat tidurku, dari jendela kulihat gemetaran puisi menggelantung air mata tenggorokanku ruang angin kematian kupanggil kata puisi kunikmati rasa yang berwarna masa kuizinkan kau bermain dijiwaku kuizinkan kau menangis bersamaku untuk melangkahkan akar air pohon sambil menung

Kembara Duka

kusimpan jalan-jalan terlihat terbuka di tilis masa seperti gerak cakrawala yang di pasang di antara bibirku yang telah lena darah merintis jiwa di tepian rasa dan sebait kata terukir dalam perjuangan palsu seperti manusia saat ini katanya janji adalah rasa bagi engkau yang berharap ah! Aku tak akan berharap kepada manusia-manusia palsu yang hanya berbibir kenikmatan palsu karena semuanya adalah palsu Jogja, 2009

Sempurnakan Bunga Indah Dari Mimpi-Mimpimu

sempurnakan bunga indah dari mimpi-mimpimu kematian yang gila aku mau hidup, bermimpi, dan bertarung lagi aku tahu akan mabuk lagi di puncak gunung gading cucurkan airmata kata baru, senyum pamitan memanggil kemenangan Jogja, 2009

Gerhana Senja

sengau di sungai bai kulihat ketajaman gulita menyeberangi malam mencari kedengaran irama akhirnya sungai yang biru tak peduli tikungan mentari yang sangat besar perjuangannya menyantuni perempuan mandi, mandi air mata dari sumber angin yang sepi Jogja, 2009

Menyikapi Mentalitas Cagub Jatim

Oleh: Matroni el-Moezany* Mengapa Khofifah tidak siap kalah? Inilah pertanyaan yang selalu menjadi buah bibir masyarakat Jatim. Ketidaksiapan menjalani kekalahan itu merupakan delimatis, tapi orang yang memiliki visi yang jelas tentunya kekalahan merupakan kemenangan yang tertunda, tapi kenyataan ini berubah. Khofifah yang nyatanya sudah kalah malah dia belum puas, ini sebenarnya menandakan bahwa dirinya dalam mencalonkan Gubernur tidak mementingkan rakyat, tapi mementingkan dirinya sendiri, kalau pun KPU Jatim itu bermasalah itu bukan urusan kita tapi urusan pemerintah untuk ditindak hukum. Saya sebagai rakyat Jatim merasa malu ketika ada Cagub mengalami “kegilaan” atas dirinya sendiri, sehingga Khofifah lupa kepada masyarakat yang secara tidak langsung dibodohi. Saya kira orang yang mencalonkan apa pun mestinya memiliki jiwa yang siap kalah. Tidak malah seperti itu. Itu masih persoalan yang dihadapi sendiri oleh Khofifah. Belum lagi persoalan finansial yang menghabiskan milia