Celurit, Simbol Filsafat Madura

Oleh: Matroni el-Moezany*

Sejak dulu sampai sekarang nama celurit, pasti identik dengan Madura, entah Sumenep, Pemekasan, Sampang, dan Bangkalan, bahkan orang Madura dianggap bersinonim dengan senjata tajam. Tetapi watak dan kepribadiannya patut di puji dan dikagunmi dengan setulus hati, kata Emha Ainun Nadjib. Padahal kalau kita lebih kritis melihat Madura secara holistik-uinversal semua orang akan terkagum-kagum dengan etika (tatakrama), agama, budaya, seni dan kerukunan antar masyarakat, ini bukannya saya membela orang Madura. Tidak, tapi setidaknya ini menjadi pemicu untuk menipiskan realitas yang dicitrakan terhadap orang Madura sejak dulu menyandang stereotipe negatif. Artinya sampai saat ini belum ada seseorang yang mampu menyingkap sesuatu yang ada di balik Madura itu sendiri, terutama dari sisi simbol celurit.
Simbol celurit yang berbentuk melengkung seperti tanda tanya. Inilah sebenarnya yang menjadikan Madura dan makna Madura menjadi jelek di mata masyarakat luar Madura. Padahal kalau kita melihat simbol dari kemaduraan itu sendiri, kita akan lebih mengerti dan tahu apa maksud, tujuan dan, makna dari simbol celurit itu, yang selama ini menjadi identitas masyarakat Madura.
Simbol dalam hal ini adalah memberi kesan terhadap orang lain atau sesuatu yang memiliki makna. Kesan dan pengertian inilah yang di salah pahami. Kesannya apa? Ada apa dengan Celurit? Bagaimana celurit? Mengapa harus celurit? Pertanyaan mendasar ini yang kurang memberi kesadaran terhadap kita. Kalau kita lebih kritis dan berhati-hati, di sana kita akan menemukan banyak filosofi yang luar biasa bagi perkembangan masyarakat bahkan negara.
Celurit yang berbentuk tanda tanya sebuah kehati-hatian masyarakat Madura untuk bertindak kasar. Masyarakat Madura akan selalu ragu (skeptis) terhadap suatu peristiwa yang menimpa dirinya maupun keluarnya. Carok misalnya, itu akan terjadi ketika ada kesepakatan bersama, artinya mereka masih banyak bertanya-tanya untuk berbuat carok.
Bertanya adalah celurit itu sendiri. Celurit adalah filsafat itu sendiri. Dari kebiasaan bertanyalah kemudian muncul filsafat menjadi pisau analisis untuk lebih jauh melihat celurit sebagai simbol masyarakat Madura. Yang akhirnya penulis berharap ini menjadi pintu awal sejarah pembentukan filsafat Madura. Dari simbol celurit itulah saya menemukan tiga langkah untuk lebih lanjut menuturkan kemaduraan, pertama adalah sadar, kedua adalah menyadari, dan yang ke tiga adalah kesadaran. Memang ketiganya dalam hal kata sama, tapi saya akan mencoba melihat dari kacamata filsafat.
Sadar bagi saya adalah pemikiran pasif yang melekat di setiap orang, tanpa terbesit untuk melakukan atau bertindak sesuatu, misalnya dalam satu forum diskusi, anggota diskusi semua sadar bahwa kalau setiap diskusi mereka butuh snak, rokok, dan minuman, tapi tidak ada seoarang di antara mereka untuk membelinya, realitas itu hanya terjadi di ranah sadar. Artinya masih ada dalam benak atau akal mereka, katakanlah sebuah pemikiran yang masih di internalisasikan.
Menyadari bagi saya adalah pemikiran aktif yang selalu berbuat dan pasti dijalani atau di kerjakan dan jarang orang untuk memiliki pemikiran seperti ini, misalnya dalam diskusi tadi mereka sadar bahwa mereka semua butuh snak, rokok, minuman, bahkan makanan, di ranah menyadari itu akan terjadi, artinya snak, minuman, rokok, bahkan makanan sudah ada di antara mereka yang berangkat untuk membelinya. Seseorang di ranah ini lebih peka terhadap keadaan sekitar.
Sedangkan kesadaran bagi saya adalah sudah mentradisi dalam setiap ada diskusi, artinya setiap kali ada diskusi pasti ada di antara mereka yang memiliki kesadaran untuk membelikan atau melaksanakan sadar-nya itu. Kalau setiap kali ada diskusi dan pasti ada mereka yang menyadari untuk membelikan maka kesadaran sudah mentradisi di antara mereka.
Contoh lain filosofinya orang Madura “Mon othebi’ oreng sake’ je’ nobi’ oreng laen” (kalau di cubit orang sakit, jangan mencubit orang lain), artinya kalau dirinya sudah merasakan sakit karena di cubit orang, orang lain juga merasakan sakit. Ketika kita sadar bahwa di cubit sakit, dan kita tidak mencubit, maka “tidak mencubit” itulah kita menyadari, dan ketika kebiasaan itu selalu berulang-ulang terjadi maka kesadaran sudan mentradisi di tiap kita dan masyarakat.
Bagaimana dengan negara? Misalnya presiden berkata “2009 sekolah gratis”, dalam contoh ini presiden hanya sadar bahwa masyarakat bawah tidak mampu membiayai sekolah, artinya kata-kata presiden itu masih di ranah wacana belum pada tataran praksis, tapi kalau “2009 sekolah gratis” benar-benar adanya dan itu pasti terjadi, presiden sudah menyadari, artinya menyadari di sini sesuatu sudah terlihat jelas bahwa “2009 sekolah gratis”. Kalau itu selalu terjadi di Indonesia setiap tahun, kesadaran sudah menjadi tradisi di Indonesia. Agar tidak hanya janji kosong belaka.
Jadi sadar menjadi pemikiran pasif atau kata Plato masih di tanah ide. Menyadari menjadi pemikiran aktif (transformasi, aplikasi), sedangkan kesadaran adalah tradisi pemikiran dari keduanya, atau dengan kata lain intelektual simbolis-realistis-transformatif.
Dengan demikian, sadar kalau dalam filsafat adalah filsafat epistemologi yang membahas masalah tata cara, sumber, dan kevalidan. Sedangkan menyadari kita sudah memiliki teori sendiri dan teori-teori itu ditulis dalam bentuk buku atau di transformasikan atau di aplikasikan terhadap masyarakat. Sedangkan kesadaran kita akan selalu menemukan teori-teori baru dari membaca, skeptis, dan berpikir kritis terhadap sadar dan menyadari akan keadaan diri dan realitas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani