Kesenian Sebagai Estetika

Oleh: Matrony el-Moezany*

Pada dasarnya adalah estetika. Selebihnya “cinta” “suka-cita” “pacaran” “air mata”, dan ratusan istilah yang maknanya sama atau mirip dengan cinta. Rabindranat Tagori memang benar, dalam puisinya yang mengatakan: o kecantikan temukanlah dirimu dalam cinta bukan dalam cermin. Sungguh menyakitkan berpisah karena cinta. Jadi untuk mendapatkan kesenian yang bernilai dan mempunyai nilai-nila estetika tentunya kita harus berdarah-darah, dan harus mempunyai kemampuan kreativitas dalam setiap karya-karya. Sebab kemana dan dimana kita akan selalu bersama cinta. Karena pertemuan ini bukanlah pertemuan melainkan cinta, sesuatu atau apa saja. Kita memang sudah berkreatif siapa bilang kita primitif. Buktinya, semua aspek kehidupan, baik yang secara riil maupun absrak sudah kita kontemplasikan agar semua itu senantiasa nantinya dan bahkan sejak awal menjadi kebun-kebun estetika. Sedemikian rupa yang ada hanyalah “cinta”. Kebudayaan kita adalah kebudayaan seni, dan seni estetika. Siapa di antara semua yang menjamin, bahwa kita bisa lepas dari cengkeraman seni untuk seni itu sendiri.
Lalu, sumbangan apa yang bisa kita berikan di tengah kompleksitas kesenian yang tidak estetistapi kita idealkan? Iktikad baik belum tentu cukup. Boleh dikata klise. Yang terpenting adalah menurut “sahibul hikayat” kemandirian dan konsistensi.
Dalam dunia kesenian muslim, banyak keanehan yang akan dihadapi, ketika seorang muslim memasuki wacana kesenian, maupun secara holistik-universal estetika itu sendiri absurd. Apalagi bila di diembeli-embeli dengan status Islam, Islami. Dengan kata itu kita dapat menyimpulkan bahwa kesenian itu memiliki kelenturan tubuh yang sangat liat dan cair. Dengan kata lain setiap entitas kesenian dapat menerima perlakuan yang berbeda-beda.
Melihat pada realitas kebudayaan santri Madura, ada kawasan santri yang menerima tetapi santri yang lain menolak jika beberapa guru semula menolak alat musik gendang, saronen, jusrtu di Desa Banjar Barat, Kecamatan Gapura, Sumenep, Madura, kesenian menggunakan gendang, saronin, diterima baik oleh masyarakat. Rebana lima misalnya, merupakan warisan turun-temurun yang hingga kini masih lestari. Kini jelas bahwa Rebana lima merupakan seni bernafaskan Islam. Dari asal katanya saja “rebana”, bentuk ucapan dari “Rabbana”, yang berarti “ya’ Rabbi” merupakan tilas dari spirit Islam. Dan lagu-lagunya pun berisikan puji-pujian terhadap Rasulullah.
Di lihat dari kebudayaan, dalam rangka menjadi pencerahan yang mempunyai nilai-nilai estetika/seni/keindahan yang merangkum semua hal yang berkaitan dengan seni, termasuk tujuan dan idealitas suatu seni itu sendiri.
Jadi benar kalau dalam dunia estetika banyak mengkaji masalah yang berkaitan dengan keindahan (the beauty) yaitu nilai-nilai (value,s) estetik sejauh itu bersifat indah dan memiliki makna yang sangat dalam atau sublim. Seni (the art) aturan dan prinsip dalam seni, dan yang menjadi konsep atau ide tentang keindahan itu (the idea of beauty), yaitu seni yang membicarakan tentang bagaimana sesuatu yang kelihatan rasional-realis-otentik, apakah ia memiliki nilai keindahan atau seni/artistik atau kualitas estetik mengenai karya seni harus senantiasa didasarkan pada kriteria rasional yang dapat diterima logika. Wacana estetika semacam itu tidak cukup dibangun dengan mengatakan “saya suka keindahan itu, tetapi tidak tahu mengapa?”.
Sebab, sejak kemunculannya, estetika tidak hanya mempelajari tentang keindahan dan kesan akan rasa indah saja, tetapi estetika juga menyangkut masalah manefestasi dari aspek-aspek yang sangat tragis, menyenangkan, dan memiliki makna yang sangat luas dan mendalam.
Istilah estetika ini pertama kali diterapkan di Jerman oleh Baumgarten (1750-58 Asthetica) yang ditujukan sebagai suatu (kritisme terhadap rasa/ kesan), sehingga ia dianggap sebagai sebuah ilmu atau filsafat tersendiri.
Pandangan ini ditolak oleh filsuf besar Jerman Immanuel Kant yang mengatakan bahwa estetika merupakan sebuah ilmu yang terkait dengan aturan-aturan atau sensasi. Persoalan yang dibahas oleh estetika tidak lain hanyalah sesuatu yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar watak asli serta sifat-sifat dari putusan estetik.
Mengapa estetika demikian penting? Karena dengannya manusia mampu membangun kemampuan observasional atau mengamatan yang akan mengantarkan pada dunia yang lebih luas, ketimbang hanya dari aspek empiris-visual semata. Artinya dengan memiliki kemampuan dan wacana estetika yang baik, seseorang akan mampu mengenali dan memikirkan secara kritis terhadap sebuah realitas yang tidak hanya sebatas penampakan (appeanrance) semata, melainkan juga dimensi keluasan yang mengitarinya, entah itu bersifat jasmani-kelihatan ataupun tidak.
Selain itu secara intrinsik, sebstansi dari estetika ada di dalam diri manusia, sedangkan secara ekstrinsik, ia berada di luar diri namun dapat diraih dan ditemukan. Melalui proses estetika inilah muncul produk yang tidak lain adalah seni. Ia akan menjadi pengejawantahan estetika dalam kaintanya dengan sebuah hasil karya.
Untuk meramba pada seni Islam. Maka konsep estetika dalam filsafat Barat tidak sepenuhnya tepat, sejauh ia hanya digunakan sebagai cara pandang yang berdasar pada pola-pola positivistik. Keseluruhan seni Islam memiliki karakter yang dibangun secara orisinil melalui perubahan paradigma teologis dan antropologis.
Dalam seni Islam, barangkali seni merupakan satu-satunya hal yang mampu menampilkan manifestasi dari produk peradaban yang paling kompleks dan sering kali terlihat menggetarkan bagi orang di luar Islam. Dalam keseluruhan tampilan seninya, para artis muslim membuktikan begaimana penggunaan antara warna dengan struktur dan bentuk dengan bidang serta desain secara baik. Seni Islam menyajikan suatu dampak visualisasi riil tentang makna spiritualitas transenden sekaligus imanen.
Pandangan seni dalam komunitas Muslim dapat diformulasikan sebagai seni yang lahir dari estetika Tauhid. al- Faruqi salah satu juru bicara islam dalam bidang seni beliau merumuskan pada karya seni muslim yang beranjak dari estetika. Karya seni mengandung abraksi yang merupakan menyederhanaan dan pencairan esensi bentuk alam dan kerumitan garis, bentuk yang berperan dalam meningkatkan unsur kedalaman dan dinamika desain.
Sejak lama arsitektur dinyatakan sebagai tatanan ruang dan waktu yang memiliki karakteristik dan bentuk dan material yang dibatasi tinggi, panjang dan lebar. Pemahaman artikulasi makna matahari dalam arsitektur menambahkan dimensi keempat yakni waktu. Dengan adanya dimensi waktu sebagai elemen desain, arsitektur Islam bukan hanya mengandalkan dari estetika bentuk semata, tetapi bergerak dari suatu kreativitas statis menuju suatu inovasi dimanis. Bentuk didefinisikan kembali, bukan hanya sebagai penampilan melainkan sebagai kinerja (perfonmance) dimana seni bangunan bukan hanya masalah penampilan bangunan semata. Tatapi juga mewujudkan kinerja bangunan secara maksimal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani