Kekuatan Kata-Kata dalam Puisi

Oleh: Matroni el-Moezany*

Salah satu masalah praktis yang diharapi oleh penyair dalam membaca puisi di atas pentas publik adalah bagaimana penyair dapat mengadakan pembacaan di hadapan umum apalagi yang cukup panjang dengan tidak membosankan. Dalam persiapan pembacaan puisi mungkin perlu dicobakan mengadakan gladi resik sebelumnya untuk mencobakan suatu pembacaan yang menarik. Dari sana sudah terlihat bahwa membaca puisi patut dikusai oleh para pembaca atau bahkan oleh setiap penyair yang baik pada umumnya.
Biasanya dengan menguasai logika, seorang pembaca sudah dapat mengurutkan pikiran-pikirannya dengan jelas dan runtut, namun hanya dengan mencoba yang akan membuat pikirannya dianggap berharga dan patut didengar atau diresapi.
Adapun puisi bertujuan memancing dan menggerakkan reaksi tertentu dalam diri pendengar, jenis bahasa yang digunakan di sini adalah jenis bahasa yang kuat. Dalam puisi mengandaikan penghayatan dan penguasaan suatu masalah atau pengalaman secara intens dana meresap, sehingga dari penghayatan tersebut suatu ider, gagasan atau pengalaman akan menjelma menjadi sesuatu yang lain yang lebih khusus, dalam puisi juga ia menjelma keindahan yang menjadi kekuatan, yaitu kekuatan untuk menaklukkan dan memerintah pikiran orang lain.
Dalam puisi bukanlah kata-kata yang cantik dan indah. Puisi adalah keindahan itu sendiri yang menjelma dalam kata-kata, artinya kata-kata bukan sebab keindahan dari puisi itu, melainkan akibatnya. Puisi tidak menjadi indah karena kata-kata, melainkan kata-kata menjadi indah karena puisi yang dikandungnya seperti sehelai kertas putih menjadi indah karena lukisan dan sebongkah dingding menjadi indah karena pahatan. Dalam ada kesinambungan antara kata-kata dan puisi.
Penekanan dalam puisi, sajak sangat diutamakan pikiran, perasaan, dan imaji-imaji sang penyair. Secara umum, puisi adalah persoalan ekspresi diri di kreator. Seperti kita ketahui bersama bahwa dalam sebuah sajak, setiap kita pasti memiliki tafsiran dan respon yang berbeda dalam penghayatannya. Setiap sajak pada dasarnya adalah ekspresi kita sebagai pribadi, yang maksudnya tidak tertuju kepada siapa pun, tapi memilik dampak yang sangat bisa dinikmati oleh orang lain. Sebab itu puisi lahir dari pengalaman konkret dari sang penyair yang memiliki kekhasan tersendiri dan terbatas dan diangkat ke suatu tingkat sublimasi yang lebih tinggi sehingga ada kemungkinan untuk memperbandingkan analogi dan asosiasi dengan pengalaman diri sendiri.
Yang jelas puisi adalah multi-interpretabel, jadi keragaman tafsir dan varias makna dan pemahaman akan sesuai untuk memperkaya pengalaman rohani orang lain. Sajak yang begitu pribadi akan sanggup menemui dan membuka pintu dialog pengalaman dengan para pembaca, tapi dalam sajak kita akan dipertemukan dengan banyak orang. Puisi bukan hanya tema yang dapat disederhanakan dan dibuatkan ikhtisarnya. Puisi yang dibaca merupakan saat dua hati saling memandang dan saling merenung, begitulah Ignas Kleden mengutipnya dari R.W. Gilder.
Puisi memang selalu menghargai sesuatu yang kecil walau itu sangat berbeda dalam pikiran dan perasaan. Kalau puisi sudah mempersiapkan untuk berbicara dan berdialog dengan pangalaman yang lain dan tentuny dalam kebebasan. Puisi menurut Ignas Kleden adalah proyek yang disinterested. Puisi yang baik merangsang proliferasi atau memperbanyak pikiran dan pengalaman. Singkatnya puisi lebih dulu bagaimana kita memahami aksi. Sedangkan hasil dari puisi adalah kepenuhan. Puisi mengusik rasa hampa kita, puisi bisa membukakan mata kita.
Jadi kalau ada orang yang menghubungkan puisi dengan politik, seperti puisi sangat tidak suka, sebab dalam jargonnya puisi dianggap bidang yang mengolah kemurnia sikap dan ini kemudian diharapkan membersihkan semua kotoran yang harus terjadi dalam bidang yang lain. Puisi menjadi hidup karena ambivelensi maknanya dapat ditarik ke titik yang satu atau ke titik yang lain. Dalam satu sajak yang sama, tiap orang dalam keadaan yang amat berbeda dan bahkan bertentangan, dapat diperoleh makna yang cocok dan relevan untuk situasinya masing-masing. Puisi menurut Aristoteles adalah sebagai dunia kemungkinan.
Jadi, dalam hal ini kekuatan kata-kata dalam puisi terletak bagaimana seorang kreator (penyair) memilih kata-kata yang benar-benar kuat, artinya kuat di sini memiliki macam cara, baik dari pengalaman dari penyair sendiri atau fenomenas realitas social yang terjadi disekitar kita. Artinya bagaimana penyair menangkat ide-ide dari kejadian utuh yang itu memang benar-benar terjadi pada waktu itu, saat itu juga penyair harus menangkap seperti apa kejadian tersebut dan diolah dalam bahasa puitik-estetis.
Kita kenal Charil Anwar, WS Rendra, Goenawan Mohamad, Pram, dan lain-lain, mereka kuat dalam kata-katanya karena mereka benar-benar mengalami apa yang mereka tulis sebagai puisi. Artinya kata-kata dalam puisi merupakan wakil dari kejadian-kejadian apa pun yang penyair lihat. Artinya bagaimana puisi lahir dari realitas. Sekarang yang dibutuhkan bukanlah asal jadi, kata-kata indah itu sudah menjadi puisi, tidak! tapi bagaimana kata-kata tersebut meliputi proses perenungan yang sangat panjang untuk mencapai kekuatan kata. Selamat mencoba!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani