Proses Hermeneutika Wilhelm Dilthey

Oleh: Matroni el-Moezany*

Latar belakang
Dari sekian banyak tokoh hermeneutika Dilthey adalah tokoh yang banyak menaruh perhatian terhadap berbagai tema yang bersangkutan dengan tema filosofis, baik filsafat sistematis maupun sejarah filsafat itu sendiri. Di lihat dari pergulatannya dengan masalah sosial, sumbangan Dilthey yang sangat besar kepada kefilsafatan adalah penyeledikaanya tentang kehidupan. Jadi tidak diherankan kalau karya Dilthey di sebut sebagai filsafat kehidupan.
Dari sinilah kemudian proses berjalannya hermeneutika Dilthey yang dikembangkan sendiri sampai sekarang. Sebab menyangkut semua aspek kehidupan, bagi Dilthey filsafat kehidupan tidah hanya berkutat di ranah masalah arti biologis saja, melainkan seluruh kehidupan manusiawi yang di alami manusia dengan segala kompleksitasnya yang amat kaya akan makna-makna. Dari sekian banyak kehidupan manusia dari individu dan bersaman-sama itulah yang membentuk kehidupan manusia melahirkan realitas sosial dan historis.
Dilthey adalah sosok pemikir yang otodidak dalam menentukan jalannya sendiri, tapi walau demikian Dilthey merupakan sosok yang berpengaruh dalam perkembangan tradisi pemikiran empiris di Inggris dan Prancis. Mulai dari filsafat transendental dari pasca kantian dari Jerman. Romantisme dan gerakan pergolakan pemikiran dalam sejarah, pemikiran Dilthey dapat mengungkap kedalaman mengenai kekayaan hidup dan keragaman hidup itu sendiri.
Melihat Dilthey yang begitu lama bergelut dalam filsafat kehidupan, jadi jelas kata Dilthey bahwa hidup adalah objek yang sebenarnya bahkan satu-satunya objek dalam filsafat. Dilthey juga menulak bentuk transendentalisme. Dunia ide sebagaimana di kemukakan oleh Plato di mana hidup hanya sebagai sekedar fenomena. Dilthey menolak titik tolak pemikiran yang bersifat mutlak.
Jadi, Dilthey tidah hanya puas sampai di sini, tapi dia berusaha untuk menyusun suatu pandangan yang komprehensif tentang realitas itu sendiri. Dari sinilah kemudian kita akan memulai bagaimana bahasa sebagai proses hermeneutika Dilthey untuk membuka meta-teks kehidupan individu yang saat ini sangat diperlukan khususnya dalam dunia akademik untuk mengungkapkan dunia manusiawi yang tidak banyak diperhatikan pemikir.
Bab II
Pembahasan
Bagi Dilthey tugas hermeneutika adalah untuk melengkapi teori pembuktian validitas universal interpretasi agar kualitas sejarah tidak tercemari oleh pandangan yang tidak bertanggungjawab.[1]
Sebelum interpretasi ini benar-benar masuk, maka kita harus tahu latar belakang pengetahuan yang bersifat sejarah sebab tanpa itu kita tidak akan tahu bagaimana mempertanggungjawabkan karta. Dengan pengetahuan tersebut kita akan mendekati apa tugas interpretasi.
Nampaknya interprestasi merupakan sebagai sebuah keniscayaan sebagai proses yang melingkar, yaitu setiap bagian dari suatu karya sastra misalnya dapat di ungkap lewat jembatan keseluruhannya, ada pun sebaliknya keseluruhan hanya dapat di tangkap lewat jalan bagian-bagiannya. Setiap bagian karya sastra hanya mempunyai arti yang tidak terbatas. Setiap kata-kata selain istialah-istialah teknik tertentu, senantiasa lebih dari satu.
Satu kata atau arti bermacam ragam yang di timbulkan oleh kata-kata dapat memberi berbagai macam kemungkinan. Sebuah kamus dapat bercerita tentang ruang lingkup kemungkinan arti, tapi di dalam ruang lingkup tersebut arti suatu kata dapat bergerak dengan bebas, Dilthey menyebutnya sebagai kepastian secara tidak pasti.
Arti atau kata di dalam suatu kesempatan tertentu ditentukan arti fungsionalnya oleh konteks. Demikian juga keadaannya dengan kata, juga kalimat, paragraf, bab, dan seluruh bagian struktur dari suatu karya. Interpretasi yang setepatnya di tujukan kepada masing-masing bagian dari keseluruhan tersebut bergantung pada struktur logis keseluruhan serta maksud tujuannya yang bersifat ilmiah, dan polemis.
Proses hermeneutika yang selanjutnya bahwa arti suatu karya dapat terungkap secara lebih penuh lewat karya-karya lain si kreator, dan arti karya-karya lain tersebut dapat di baca lewat hidup dan watak si pencipta.
Dari proses pengertian inilah dapat diperoleh suatu pemahaman keadaan-keadaanya sewaktu dia masih hidup, kemudian dipahami tulisan-tulisannya sebagai suatu kejadian dalam proses sejarah budaya atau sejarah sosial yang jauh melempuai dirinya dan merupakan bagian besar kisah umat manusia. Jadi sangat jelas terlihat bahwa interpretasi suatu karya dapat berkembang dan meluas sehingga menjadi suatu studi sejarah.
Ketika kita paham terhadap suatu karya seseorang, maka pemahaman kita itu pada hakikatnya tidak bisa dipisahkan dengan apresiasi dan penentuan sehingga interpretasi secara pelan-pelan berkembang menjadi sebuah kritik. Sejauh ini interpretasi hanya di pahami sebagai suatu proses logis, namun sebenarnya lebih jauh dari itu yaitu proses interpretasi bertumpu pada suatu proyeksi diri kepada orang lain.[2]
Berdasarkan prinsip-prinsip hermeneutika sebagaimana dikemukakan Dilthey tersebut nampak pada kita bawha bahasa memiliki peranan yang sangat sentral, karena proses dan dimensi hidup manusia tercover oleh bahasa. Kompleksitas kehidupan manusia dapat dipahami dan diinterpretasi melalui kacamata bahasa, yang di ungkapkan oleh Dilthey bahwa keseluruhan dapat dipahami melalui bagian-bagiannya, sedangkan bagian-bagiannya dapat dipahami melalui keseluruhannya.[3]
Dilthey lebih jauh memberi pemahaman yang dikembangkan sendiri pada peralihan abad ini. Sebenarnya Dilthey meneruskan contoh yang disediakan oleh Kant dalam Critique of Pure Reason yang diperuncing menjadi interpretasi atas dukumen-dukumen yang secara linguistik sempurna, dalam merepresentasikan sebuah kasus dalam memahami kehidupan di mana relasi subjek-objek menjadi tempat hidup bertemu dengan hidup.
Sebenarnya pada awalnya Dilthey ingin menjawab fenomena hermeneutika yang mengkonstitusikan kesadaran historis dengan mengulang kemabali perhatian romantik terhadap pengalaman hidup. Sehingga tujuan dari hermeneutika bukanlah untuk mencapai sebuah pengetahuan objektik dengan menggunakan prosedur-prosedur metodis, melainkan dengan pengungkapan dan deskripsi fenomenologis mengenai desain menusia dalam temporalnya dan historisitasnya.
Dilthey sudah memberikan kebutuhan dan fungsionalnya terhadap manusia atau ekspresi seseorang, terhadap eksistensi individu, dan sosial dalam “Munculnya Hermeneutika”. Kesadaran kita terhadap sejarah dan kemanusiaannya sangat dibutuhkan dalam menapaki kehidupan yang kaya dan penuh makna. Sebab kita akan akan sadar ketika kita bertemu dengan orang lain dalam memahami kondisi-kondisi emosional orang lain, dan tidak pula hanya menghadirkan saat-saat bahagia, tapi bagaimana kita membentuk sebuah pra-kondisi bagi tindakan kita sendiri.
Akses lain pada kita bisa mungkin saja dilakukan, walau pun hanya lewat sebuah pengertian yang tak lansung, sebab apa yang kita alami adalah sikap tubuh, dan tindakan, dan hanya dalam proses pemahaman kita saja dapat melampaui simbol-simbol eksternal dalam menuju kehidupan batin yang mendasarinya, yaitu eksistensi psikologis dari yang lain, karena dari sistematika prosedur-prosedur yang formal untuk menolong seni dalam memahami usahanya untuk sampai pada kepastian pengetahuan.
Critique of Historical Reason Dilthey berisi penyeimbangan rasio murni sekaligus kritik terhadapnya. Pemahaman kita terhadap orientasli historis atas segala sesuatu yang berhubungan dengan manusia diharapkan membawa pada kedalaman yang sama seperti apa yang di ekplorasi oleh Kant, bagi Dilthey dalam hal itu terletak di dalam “kesadaran metafisis” manusia sekaligus pada saat yang sama mengijinkan dirinya melampaui Kant ketika menunjukkan bahwa rasio murni itu sendiri didasarkan pada kehidupan.
Dalam hal ini pendekatan Dilthey sangat bergutang besar kepada Kant dan Hegel, dengan menyatukan antara antipati atas rasio metafisis dari yang pertama dan memperhatikan sejarah dari yang ke dua.
Dilthey menarik pandangan-pandangannya yang berasal dari konsepnya mengenai sketsa objek dan metode Geistiswissenchaften untuk menyediakan fondasi epistemologi. Yang mana Dilthey mencoba melakukan mensintensiskan prinsip ilmu dan filsafat hidup.
Filsafat, ilmu, metafisika dan epistemologi, keyakinan dan pengetahuan, logos dan ethos, rasio murni dan rasio praktis, logika dan sejarah, yang menjadi berpaduan yang memunculkan ketegangan-ketegangan inheren dalam filsafat modern yang kiranya membangkitkan semangat dualisme, yang secara beragam dilukiskan sebagai perpaduan. Inilah yang menjadi kebutuhan untuk mengusahakan sebuah kritik terhadap rasio murni guna melengkapi Critique of Pure Reason Kant.
Kalau kita lihat dari pandangan Kantian, Critique of Historical Reason Dilthey yang merepresentasikan sebuah pengembangan yang hampir sah atas Critique of Pure Reason yang menjadi wilayah baru dalam pengetahuan yang muncul bersamaan dengan ilmu-ilmu historis-filologis dan menyediakan fondasi epistemologi bagi mereka.
Kesimpulan negatif Kant atas investegasi ilmiah mengenai realitas-realitas tersebut yang menentuka makna eksistensi manusia dan pengetahuan yang dimiliki manusia mengenai dirinya sendiri, yang berarti juga menyediakan ruang bagi kepercayaan dengan membatasi wilayah ilmu. Inilah yang sebenarnya yang ingin diubah oleh Dilthey menjadi positif melalui kombinasi antara filsafat dengan Geistiswissenchaften, yang terakhir ini yang berkaitan dengan jejak-jejak pengetahuan di mana manusia melibatkan diri, dan yang kemudian menjadi jelas di dalam sejarah.
Konsep Critique of Historical Reason Dilthey ini untuk mengatasi dualisme yang di gambarkan antara logika dan kehidupan dengan menghubungkan filsafat sistematis dan Geistiswissenchaften serta untuk menyatakan ulang yang berdasarkan invertigasi yang ketat bahwa wilayah yang dihilangkan sebagai metafisis, untuk penyatuan yang berguna dari apa yang ditiadakan oleh ilmu dan kehidupan, teori dan praksis.
Dilthey terus memperjuangkan konsep Critique of Historical Reason, sebab dengan konsep ini kita dapat membawa wilayah hubungan hidup dalam orbit ilmu dengan menyediakan sebuah fondasi bagi kemunginan standar aksi moral yang secara umum valid.
Dalam perkembangan kemanusiaan ada ruang kehidupan yang ini menjadi dasar dalam menyatukan kembali teori dan praksis setelah pemisahan Kantian yang mengambil sebuah bentuk konsep ilmu yang diperluas, sehingga pengetahuan yang secara umum valid dapat diperoleh dari penampakan maupun dari pengalaman batin.
Dilthey mengganti kata Yunani “to on” dengan kata Jerman “Leben” sebgaimana “das Seiende” hanya untuk memudahkan kita. Sebab inilah yang menjadi fondasi dan konsep utama dalam pondasi Dilthey mengenai Geistiswissenchaften tadi.
Dilthey mengacu pada tugas pembangunan kategori-kategori yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan dalam ruang sejarah yang berkata kepada kita melalui mulut filsafat, agama dan seni. Jelas dari kerangka meta-ilmu Dilthey bahwa ia menerapkan pandangan-pandangan hermeneutik bagi epistemologi untuk menentukan kemungkinan bagi suatu pengetahuan hermeneutik dengan menunjuk pada proses aktual pemahaman kita.
Pengaruh filsafat hidup atas pemikiran bagi Dilthey ini tidak hanya berkaitan dengan kriteria yang ia kembangkan dalam membedakan antara ilmu alam dan ilmu kemanusiaan, melainkan juga membawa pandangan-pandangan mengenai kemungkinan pengetahuan yang valid.[4]
Dilthey mengacu kepada kehidupan karena kehidupan sebagai tempat kekuatan produktif semua kemanusiaan berbagai di dalamnya, untuk menerangkan kemungkinan interpretator yang dalam mencapai objektivasinya.
Seperti yang dikatakan Dilthey sendiri bahwa “syarat utama dalam kemungkinan sebuah ilmu sejarah terdapat di dalamnya fakta bahwa saya sendiri merupakan sebuah makluk sejarah, bahwa dia yang mempelajari sejarah sama dengan dia membuat sejarah itu sendiri”.
Sebagai pemikir empirisis yang keras kepala (konsepsi-diri dalam menghilangkan keragu-raguan atas pendirian Gadamer bahwa pengaruh epistemologi dari ilmu-ilmu alam bergerak melawan maksud Dilthey sesunguhnya). Dan dalam cahaya inilah pencariannya atas objektivitas dalam Geistiswissenchaften harus diperhatikan.
Keunggulan Geistiswissenchaften yang bermanfaat bagi kebutuhan-kebutuhan aktivitas sosial-politis adalah bahwa dalam pemikiran Dilthey yang kemudian hasil-hasil mereka memiliki derajat kapastian dan keumuman yang setara dengan ilmu alam.
Dengan menghadapi masalah objektivasi dalam term-term semacam itu Dilthey tampaknya telah jatuh di belakang maksudnya sendiri dalam membangun Geistiswissenchaften sebagai sebuah studi tidak ilmiah atas manusia dan standar refleksi yang tinggi.
Dengan menerima objektivasi historis sebagai “sesuatu yang telah ada” yang dapat di uaraikan dengan tangan teknik-teknik hermeneutika, Dilthey gagal bertindak adil ketika mengkarakterisasikan relasi interpretator dan teks sebagai satu kesatuan subjek dan objek yang telah di kenal.
Inilah yang dikatakan bahwa ada ketidakmampuan dalam melangkah dari “kesadaran historis” menuju “pengalaman historis” atau “kesadaran hermeneutika”, dapat dikatakan, Dilthey terlalu terlibat dengan penekanan atas kebutuhan dan nilai pengambilan sikap kritis atas masa lalu dan juga dengan usaha untuk mengamankan sebuah status objektif bagi tindakannya.

Kesimpulan
Sebagai pemikir romantic konservatif, tapi dia ingin merubah dengan berbagai konsep yang dia tawarkan. Seperti Dilthey yang menerapkan pada objek geisteswissen-schaften (ilmu-ilmu budaya), yang menganjurkan metode khusus yaitu pemahaman (verstehen).
Perlu dikemukakan bahwa konsep "memahami" bukanlah menjelaskan secara kausal, tetapi lebih pada membawa diri sendiri ke dalam suatu pengalaman hidup yang jauh, sebagaimana pengalamaan pengobjektifan diri dalam dokumen, teks (kenangan tertulis), dan tapak-tapak kehidupan batin yang lain, serta pandangan-pandangan dunia (welstancauunganen).
Dalam dunia kehidupan sosial-budaya, para pelaku tidak bertindak menurut pola hubungan subjek-objek, tetapi berbicara dalam language games (permainan bahasa) yang melibatkan unsur kognitif, emotif, dan visional manusia. Keseluruhan unsur tersebut bertindak dalam kerangka tindakan komunikatif, yaitu tindakan untuk mencapai pemahaman yang timbal balik.
Sehingga Dilthey menekankan pada "ekspresi kehidupan batin" atau makna peristiwa-peristiwa sejarah.



Daftar Pustaka
· Jean Grondin, Sejarah Hermeneutika, Dari Plato sampai Gadamer, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007
· Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, Hermeneutika sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2007
· Kaelan, Filsafat Bahasa, Masalah dan Perkembangannya, Yogyakarta: Paradigma, 2002
· Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007
· http://www.angelfire.com 25, di akses pada tanggal 25/02/09


[1] Drs. Kaelan. Filsafat Bahasa, (Yogyakarta: Paradigma, 2002), hlm. 191.
[2] Ibid, Halaman; 193
[3] Ibid, Halaman; 193
[4] Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, Hermeneutiak sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2007), hlm. 24.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani