Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2008

Sepasang Burung Kelaparan di Tepi Semesta

Sajak-sajak: Matroni el-Moezany* Sepasang burung enggan merasakan apa itu buah karena tidak ada hujan? mungkin karena malu? Ia hanya bisa mengais serumpun sampah yang sudah gersang di balik sisa makananmu apa kau tidak merasa? sesuatu dibalik ragam kemeranaan Senja mungkin telah pergi hingga pagi tiada lagi kemesraan terhias pada sunyi yang merana Yogyakarta, 2008 Mengenal Rasa Pada musik semesta yang tak mengenal rasa tiada arah menempel pada tepi ruang pun tak ada gerak pun tiada hanya kata dan suka yang ramai menemani malam Yogyakarta, 2008 Mandi Hujan Belajar mandilah Padaku Agar tubuhmu bersih Yogyakarta, 2008 Kesunyian Kesunyian dalam diri Adalah sesuatu yang harus mati Hingga kau tak menemukan lagi Warna keresahan semesta ini Yogyakarta, 2008 Karena Penantian mungkin suatu penantian dalam rimba angan-angan yang menelisik jiwa hingga terasa dingin tu

Paradigma Dualisme Sosial-Demokrasi

Oleh: Matroni el-Moezany* Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara ) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara ( eksekutif , yudikatif dan legislatif ) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas ( independen ) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances . Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk

Berkurannya Kepecayaan Kepada Indonesia

Oleh: Matroni el-Moezany* Saya tidak percaya siapa pun mereka yang akan menjadi presiden di Indonesia, karena mereka tetap tidak respek terhadap masyarakat, tapi apalah daya sejak dulu Indonesia sudah memiliki sistem ke-presiden seperti itu. Ya, kita harus hidup di bawah pemimpin atau presiden walau pun presiden itu tidak becus, tidak mendengar, alias tuli terhadap kata-kata rakyatnya sendiri. Malah bangga dengan Amerika karena yang menjadi presiden pernah sekolah di Indonesia, terus apa hubungannya dia dengan Indonesia sebagai bangsa demokrasi, katanya. Sekarang ketua partai sudah banyak yang berkeliaran, berdialok di TV, mereka saling mengadu argumen untuk memajukan Indonesia ke depan, padahal saya yakin itu hanya sebatas kata-kata kosong, menjual muka manis untuk meminpin Indonesia. Dan mereka dalam menampakannya begitu sangat peduli dan manis sekali terhadap anak-anak terlantar, masyarakat miskin, dan masyarakat-masyarakat yang lain. Tapi saya yakin itu hanya tipu daya agar

Memaknai Indonesia Dari Karl Marx

Oleh: Matroni el-Moezany* Judul di atas saya sengaja angkat untuk membuktikan kepada Indonesia agar pemerintah tidak hanya memandang realitas itu hanya sebatas materi, tapi bagaimana melihat realitas itu dari masyarakat itu sendiri. Keadaan masyarakat, kehidupan masyarakat, dan ekonomi masyarakat. Indonesia sebagai bangsa yang masih baru berkembang dan mau berkembang, selayaknya harus banyak membaca dan melihat dari mana akan kita remuskan atau paling tidak sudah membuat kerangka kecil untuk merubah bangsa. Artinya kita sebagai pemimpin memiliki peran penting dalam menentukan arah mana yang harus diperbaikai lebih dulu. Contoh kecil misalnya buruh yang saat masih didengungkan oleh banyak masyarakat, terutama kaum intelektual, sungguh mengenaskan kalau kita melihat kaum buruh di Indonesia. Inilah sebenarnya yang lihat di renungkan oleh Karl Marx bahwa ketika masyarakat berada pada jurang penderitaan yang sangat panjang. Salah bentu usaha Marx adalah bagaimana memperjuangkan ma

Sejarah Tertata Dari Jejak Kaki

awal langkah aku tak menyangka sejarah tertata dari jejak kaki hingga kulihat matahari menaungiku sampai titik tengah taman airmatadarah di sana terlihat pahlawan bangsa pahlawan rasa pahlawan kata-kata pahlawan kekosongan Jakarta, 2008 Ketika Berkelindan Ketika semesta berkelindan dimana jurang kau simpan? padahal kau tahu irama panjang di sebela matamu mengundang kepergianku seperti kengerian jiwa yang tak kau mengerti adakah kebersuratan kata mengirimkan bahan rasa untuk mengulang sejarah yang hanya ada dalam dirimu batu-batu pun bernyanyi tentang kepergianmu hingga aku menemukan rasa sebagai jalan terakhir dalam hidupku Rumahtanya, Jogja, 2008 Waktu, yang Tak Kumengeri Dari Perempuan terkadang kau tegas menyuruh untuk memakan waktu dan rasa waktu, tapi itu bukanlah sebenarnya, bukan? inilah sebuah kata yang kadang lembut dalam malam terkadang terurai mimpi siang aku tak mengerti simpanan kata apa hingga semesta ini kekurang kata-kata untuk menjawab ketakmengertian itu padahal sudah

Aku Teringat Padamu, Indonesia

dari awal aku memang tak percaya bahwa kau masih peduli padaku indonesia in do ne si a bagiku hanya sia-sia dalam si dan a bagiku hanya domido dalam do dan ne bagiku hanya in yang tidak punya rasa semuanya tidak ada, kosong dalam mata Jogja-Jakarta, 2008

Kutemukan Malam Dalam Waktu

malam redup wajah sunyi tak terlihat hanya wajah sungai keruh terpantul dalam bahasa pagi meronai singgah-singgah perjalanan di ruang waktu asal kilatan mas di cakrawala itu berada di atas selangkah kaki dimana sejarah terjalan dari utara dengan sisa kaki yang begitu bermakna dalam langkahan sinyal-sinyal pertahanan banjirkan air matamu, kawan karena ia tumbuh bermacam-macam dalam setiap tetes itu roh yang bergelantungan seperti buah di atas bunga Veteran, Jakarta Pusat, 2008

indonesia

indonesia indonesia yang leleh dan sangat melelahkan bangsa

Tergesernya Nilai Kesusastraan Kita

Oleh: Matroni el-Moezany* Dalam wacana kesusastraan, tentunya kita banyak tahu bagaimana dan seperti apa sastra dalam menyikapi realitas sosial. Sehingga sekarang yang terlihat hanya sebatas menulis tanpa ada pertimbangan kemana arah sastra kita ke depan. Saya kira, sastra pada mulanya lahir sebagai protes terhadap kecenderungan pada hedonisme dan materialisme yang meluas dalam masyarakat, terutama yang tinggal di kota-kota besar yang merupakan pusat kegiatan politik dan perdagangan ketika itu. Tetapi lambat laun, dengan berjalannya waktu dan keterlibatan para sastrawannya dalam berbagai pemikiran keagamaan, filsafat dan ilmu pengetahuan, wacana pengetahuan dan pemikiran mereka juga meluas merangkumi berbagai aspek persoalan keagamaan dan sosial budaya. Inilah sebenarnya yang penulis maksud tergeser, sebab sastra yang selama ini masih berkutat pada ranah romantisme belaka, memori-memori belaka. Kalau kita melirik sedikit pada sejarah bahwa peranan penting mereka ini tidak hanya dapat

Marapu, Upaya Menghormati Leluhur

Oleh: Matroni el-Moezany* Sumba adalah sebuah pulau yang masih sangat "virgin", keramah-tamahan penduduknya dan adatnya yang sangat kuat, juga keindahan alamnya yang masih asli, salah satunya adalah keindahan ombak pantai Kalalla yang ada di Waijelu kabupaten Sumba Timur. Ombak disana terkenal karena tujuh tingkatnya, dan menjadi salah satu tempat favorit bagi para pesurfing baik yang pro maupun yunior yang berlibur ke pulau sumba. Pulau Sumba, dikenal juga dengan julukan Pulau Sandle Wood, jelmaan Kuda yang terkenal di manca negara. Memiliki potensi alam gunung dan lembah, laut dan pantai serta kultur budaya yang unik. Sumba, tidak hanya hamparan padang ilalang, kuda yang tangguh dan cendana, melainkan juga warna beragam budaya yang sangat kaya. Ketika cendana mulai kehilangan akarnya, kepercayaan marapu masih hidup di tengah hiruk-pikuk zaman. Belum lama ini seorang tokoh masyarakat Rindi, yang juga keturunan Raja, Umbu Hapu Hamandima, meninggal dunia. Jenazahnya masih di