Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2008

Tuhan Sedang Egois

Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany* Cuma Darah Bukan Kata cuma darah yang bisa merindukan aku bukanlah kata-kata karena kata-kata bisa menjadi penjara yang ada dalam ruang kosong, tapi darah adalah aku Jogja, 08 Tetap Dalam Air Mata menangis adalah air mata yang bisa mensucikan rahasia jiwa jadi manangislah untuk orang, bangsa walau kau masih anak-anak tapi, kau masih merasakan betapa pedih jiwa bangsa Jogja, 2008 Tuhan Sedang Egois seperti sudah lama tuhan mengurungku dalam lubang hantu sekarang yang kubutuhkan bukan bunyi kata tapi, di balik kata yang berbunyi tak berkesudahan bercerita di ruang semu berkata di semesta waktu tak sepantasnya kau bilang itu bilang untuk kita bila sebatas hanya yang kau berikan padaku Rumahtanya, Oktober, 2008 Bangsa Kita seperti Tuhan sudah berlama-lama kita berada dalam kebohongan berada dalam lubang tikus yang saling merebut makanan hingga aku datang entah dari mana, aku ini entah siapa, aku pergi entah ke mana, aku akan mati entah kapan, aku heran bahw

Tergesernya Nilai Kesusastraan Kita

Oleh: Matroni el-Moezany* Dalam wacana kesusastraan, tentunya kita banyak tahu bagaimana dan seperti apa sastra dalam menyikapi realitas sosial. Sehingga sekarang yang terlihat hanya sebatas menulis tanpa ada pertimbangan kemana arah sastra kita ke depan. Saya kira, sastra pada mulanya lahir sebagai protes terhadap kecenderungan pada hedonisme dan materialisme yang meluas dalam masyarakat, terutama yang tinggal di kota-kota besar yang merupakan pusat kegiatan politik dan perdagangan ketika itu. Tetapi lambat laun, dengan berjalannya waktu dan keterlibatan para sastrawannya dalam berbagai pemikiran keagamaan, filsafat dan ilmu pengetahuan, wacana pengetahuan dan pemikiran mereka juga meluas merangkumi berbagai aspek persoalan keagamaan dan sosial budaya. Inilah sebenarnya yang penulis maksud tergeser, sebab sastra yang selama ini masih berkutat pada ranah romantisme belaka, memori-memori belaka. Kalau kita melirik sedikit pada sejarah bahwa peranan penting mereka ini tidak hanya dapat d

Cuma Darah Bukan kata

Cuma Darah Bukan kata cuma darah yang bisa merindukan aku bukanlah kata-kata karena kata-kata bisa menjadi menjara yang ada dalam ruang kosong Jogja, 08 Tetap Dalam Air Mata menangis adalah air mata yang bisa mensucikan rahasia jiwa jadi manangislah untuk orang bangsa walau kau masih anak-anak tapi, kau masih merasakan betapa pedih jiwa bangsa kita Jogja, 2008

Warna Matahari

Sajak-Sajak: Matroni El-Moezany* seperti aku yang sedang lapar semesta ini juga demikian gersang..........................? seakan sudah selesai dari luka seakan mewarnai segala matahari Yogyakarta, 2008 Sepenggal Perjalanan siapakah yang selalu melangkah pada malam tertatih pilu di tepi keheningan ada banyak kata tergeletak menangis ada tepian mati tak berdaya terpasung pada pisau masa di ruang lain adalah seperti air yang terus mengalir walau tanpa sepi yang melafadzkan kesunyian hingga senja mulai beranjak naik dan matahari mulai bangun dari sadarnya untukmu sepenggal perjalanan aku sampaikan Sumenep, 2008 Aku, Seperti Air Mengalir ada sisa kata yang belum kuucapkan pada segenap ruang tentang puisi gersang sementara aku tetap mengalir seperti air pada setiap kali ada retak hingga tertutup bunga bahasa pada segala yang selalu ada semesta membuka buku harian siap tertabur untuk kita aku bertanya, tentang batasan waktu tentang kesunyian yang sama dalam satu bagi kita jiwa yang sejuk ad

Semesta

Sajak-Sajak: Matroni El-Moezany* sudah lama semesta ini terbuka untuk menaburkan darah untuk menaburkan batu untuk menaburkan kerikil malam sudah lama semesta ini terluka untuk menepis sisa sejarah untuk mengurangi sedih untuk menghiasi tangis panjang sudah lama semesta ini berkata berkata untuk diam berkata untuk berkarya berkata untuk bangsa berkata untuk kita dan berkata untuk kesunyian bergitu pun aku yang terbuka untuk semesta walau tanpa luka dan keterbukaan karena kita masih saja mengala dalam hal ini entah semesta? apakah ia akan terus sedih dan menangis dalam kekalahan? Sumenep, 2008 Gelombang Retak inginku membela langit yang sepi dari rasa membela semua beda dalam renungan bahasa untuk satu makna baru terhadap tanda masa yang belum tertangkap masa tapi ada sebelah makna yang sedikit terungkap meniti gelombang retak untuk menaiki syakal kehidupan Sumenep, 2008 Sepi, Diam, Bukan Tanpa Arti serumpun datang mencarimu aku pun tetap melanjutkan perjalanan yang lelap di ruang lain

Menjelang Pagi

sepertinya kutertidur di sore hari, tapi bayang-bayang di atas gubahan semesta masih tertata rapi apakah karena aku belum makan hingga jiwa ini terasa penuh resah dan kata-kata tak terurai seperti biasanya padahal sebentar lagi pagi akan segara berangkat menemui matahari dalam keadaan bagaimana pun aku tetap harus menghirup udara pagi karena itu tidak bisa kulalui dengan jalan apa-apa meskipun dengan tangga meskipun dengan jembatan emas, tapi hanya jalan dan diam aku bisa menemui segalanya walau tuhan sekalipun Yogyakarta, 2008 Seperti Biasa I seperti biasa matahari bersinar orang-orang pada ke kantor mahasiswa mulai berorasi perubahan, tapi ada satu yang tak pernah berubah “perubahan itu sendiri” karena kita hanya bisa menyentuh kata tidak sampai pada rasa padahal itu lebih dekat kita Yogyakarta, 2008 Seperti Biasa II seperti biasa aku tetap menulis puisi para ahli melihat budaya melihat ekonomi, tapi aku tetap lapar mengapa? aku bertanya sungguh bertanya, tapi tak seorang di semesta

Seperti Senja

seperti senja aku pun lelah seharian meratapi kata untuk kusuguhkan pada puisi lalu, tidur bersama malam, tapi puisi yang kusandangkan tak lepas dari kejaran waktu untuk terus mengisi ruang kosong di matamu keresahan seperti senja penderitaan juga seperti senja aku tak kuasa mengeja puisi manja sementara aku tetap terus mengisi semesta walau jiwa ini rasanya terurai oleh lancip sinar matahari yang tak kubayangakan sebelumnya pisau, tajam, katamu, tapi tak setajam puisiku pada semesta yang menusuk-nusuk tuhan pada tumbuhan yang masih segar pada luka babad-babad lalu sepertinya luka sejarah masih seperti senja yang belum usai kau selesaikan hanya dengan kata, tapi juga dengan langkah-langkah perputaran keresahan dan ramuan rasa, sebab tidak mudah untuk menghilangkan sinar yang masih dalam ratapan mata Yogyakarta, 2008

Percakapan Senja

semenjak malam seakan tiada aku pun rebah dalam silau bulan yang juga silau dengan air mata seperti aku yang menangis dipersinggahan kata aku terus berjalan menyusuri senja-senja yang kusam menaiki gubahan-gubahan menikmati puisi malam aku terus menulis puisi untuk jiwa dan semesta ini karena aku hidup dengan puisi lapar dengan puisi bahkan mati pun aku juga dengan puisi aku melangkah seperti kehidupan berjalan seperti waktu berpuisi seperti lagu yang semuanya rebah dalam rumpun senja-senja-an Yogyakarta, 2008

Tak Usai, Selesai

kita sudah selesai berkata hari ini berkata untuk apa berkata untuk siapa sebab kita masih menyadap kemarau lembut di hati seusai bahasa yang katanya agung seperti air di atas batu kemarau kulihat basah kulihat terang kulihat senja kulihat malam demikian aku melihatnya di malammalam Sumenep, 2008 Bintang Pindah bintang berkelindan bersalipan jalan pindah di atas sana mata pun bergelora memaknainya dengan sederhana malam juga meronai ingatanku bahwa di atas sana aku bersimpah rahasia wajah-wajah sudah menatap rapih persis seperti jajaran harihari di bintang itu aku menyelam berenang pada air yang sulit untuk di sebut air padahal aku sedang jalanjalan menikmati sejarah dan inferno sebagai buah dari kelindan kata ah, bintang seketika berenang memaklumi tikus-tikus berkeliaran memakan baju-baju suci di kursi yang basi di atas kanvas risih dan kau masih juga ragu lalu, diam bernyanyi sendiri Sumenep, 2008 Kata Ayah Padaku kau sungguh sabar melukaiku pelanpelan seperti kata yang sulit di teb

Isyarat Kata

Isyarat Kata kaator; Gus Zainal kau lihat semesta semua lembut luka sedih marah lapar perjalanan juga aku kau tersenyum saja karena dalam dirimu ada mata air, air mata ada kesejukan itulah isyarat kata yang belum banyak kita raba, tapi baginya senyum lebih utama daripada berkata tanpa rupa Sumenep, 2008

Diam II

Sajak-sajak: Matroni el-Moezany* Diam II Diam adalah kata Yang mempersatukan Aku dengan Tuhan Yogya, 150808 Sebuah Nama dulu aku kenal hanya haruf untukmu dalam malam diri yang tiada basa dan kering suara sebening bintang semesta rasa pada sisa asa yang aku miliki tiada sudah hilang entah kemana aku simpan nama itu dalam lubang kata-kata untuk kujadikan puisi pada kekasihku karena sebuah nama tiada sama dengan aku begitu pun aku dengan nama itu karena aku tidak sama dengan siapa-siapa kecuali dalam kata rasa Yogyakarta, 2008 Kompor Dapur sebenarnya sebelum dua hari kau telah berkata padaku untuk memperbaiki kompor takut meledak, katanya dalam mata-mata bisu kau sandarkan padaku karena kau tak sanggup mematikan nyala apinya sekarang semesta tidak mau lagi untuk menepis kompor dapur karena kita lebih mementingkan diri daripada keluasan semesta kata mungkinkah ini semua akan ada? untuk aku dan adik-adikku? Yogyakarta, 2008 Cincin ST Licin seperti biasanya bulan malam ini bersinar menyinar