Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2008

Penyair Madura

Gambar

Seusai Rasa

Sajak-sajak: Matroni el-Moezany* Seusai rasa terdengar irama lembut di cakrawala buta tersesat dalam gua rana yang jauh hingga berakhir dengan ketiadaan Yogykarta, 2008 Yang Tak Kumengerti Yang tak kumengerti seusai kata mengerogoti rasa yang telah lama ada hingga terbawa dalam api yang menjadi gelap Kau sirami kobarannya agar bara tak lagi menjalar dalam kegelapan yang jauh walau ia bersemayam dalam diri kau tak bisa lari dan menjauah karena ia juga kita Ku ajarkan bagaimana menyirami sesubur pupuk yang kau taburkan? tidak sama dengan kata di bak mandi membasahi jiwa Semerbak di balik tingkahmu kau alirkan pada ruang dalam diri hingga menjadi basah dengan rasa Yogyakarta, 2008 Tenggelam Dalam Kekosongan Tentunya sunyi yang bisa memberi rasa hingga tenggelam dalam kekosongan terbuai di tepi sungai tertusuk di samudera malam terdiam menantinya diujung rambut terurai dititik temu keabadian diresah rasa kesunyian Tak baik kuraba jalan itu mengusung waktu baru mengusung rasa haru mengusung

Seharusnya Aku

Sajak-Sajak: Matroni el-Moezany* Seharusnya aku melangkah lebih jauh mengiringi sejakmu yang lembut tapi baru merasa bahwa rasa menjadi kata yang akhirnya aku tak bisa menjauh darinya Tatapan pagi mengundang rasa yang ngeri hingga waktu menyuruhku untuk merasa dan merasa pada detak hari yang kelam Lalu, pagi lagi tersisa pada waktu yang dulu kau sampaikan pada rasa yang melahirkan kata dan kau mengira waktu tak beruba padahal tahu mentari muncul di waktumu tiap pagi Yogyakarta, 2008 Tak Pernah Ada Tak pernah ada rasa yang melahirkan kata seumpama kilau di rembulan menyebar ke retak bambu kuning di belakang dapurmu kau tak merasa ia adalah puisi yang meramaikan semesta Tak seharusnya kau berkata apa yang kau impikan pada masa yang gersang karena kau akan hilang dalam diri dan kata yang tak pernah ada dalam dirimu Seusai rasa kau hinggap pada riang lain Yogyakarta, 2008 Irama Lincah Irama lincah menari seperti burung, mengasikkan menjadi perpuisian semesta Kau menyuruh hati yang rapuh p

Dari Rasa menjadi Kata

Oleh: Matroni el-Moezany* Sebenarnya kata yang berguna pada duka yang tak kau mengerti adalah sebuah kesengajaan yang kau kira bukan alasan untuk menamai rumpun yang ada dibalik singgasanamu. Aku bukanlah siapa-siapa, tapi kalau kata yang mengalir bukan pengakuan untuk meraih matahari dan bintang. Lalu kata itu apa? Aku akan terus menghargai waktu yang telah lama menjadikan aku sebagai wadak untuk menjalin rasa, tapi kau tetap mengerti apa sebenarnya waktu itu yang mengalir di atas kata. Pagi itu sangat memukul sekali. Seakan aku punya waktu lagi untuk menuturkan sebagai sebuah kejauhan yang aku jalani pertama kali. Kau sebarkan senyum manismu pada semesta yang kira itu adalah semuanya. Mungkinkah sebatang bambu kau bisa baca untuk meramu kata, sehingga kau tak mau berkarya pada kertas putih. Sekarang yang bagi kamu adalah matahari dan bulan. Aku mengerti tidak semudah itu kau jejaki kepualaun yang ada di gunung kata-kata. Aku ingin mengikutimu, tapi dimana kamu sekarang sehingga kau s

Yin Yang

Sajak-sajak: Matroni A el-Moezany* Yin Yang Dua semesta Dua manusia Dua puisi dan dua kata Mengalir seumpama kata Mengisi tepi dan sudut rasa Dalam setiap langkah Hingga ke-dua-an menjadi satu Yogyakarta, 2008 Dalam Kekosongan Dalam kekosongan Kumenyebutmu lembah Pada akar langit Yang menyelam dalam tanah Yogyakarta, 2008 Seperti Halnya Kata Seperti halnya kata puisi adalah matahari kehidupan bagaikan pintu kepuasan dalam kekosongan pada tangga langit Kesadaran tanpa kata adalah cara kita menghayati irama yang paling dalam Kelembutan dalam cinta adalah pertemuan dua jiwa menyatu dalam puisi Yogyakarta, 2008 Bunda Teressa Tuhan memintamu tidak untuk sukses ia memintamu untuk setia Aku hanya pencil kecil di tangannya Yogyakarta, 2008 Ada-mu Ketakterbatasan adalah adamu pada anak yang lapar ini Kebahagiaan yang kau berikan tiada sempurna kau selipkan Aku tidak puas pada harapan, tapi akankah aku menghukummu? senyummu terbayang galau, terasa lembut di mataku Cinta yang tiada waktu begitu j

30 Maret

Sajak-sajak: Matroni el-Moezany* 30 Maret Wahai pembawa bulan untuk jiwa menjadi sinar yang menyala dalam gelap garam semesta Yang selalu memikirkanmu di tempat yang belum kau mengerti Tak terasa kau lakukan melintas curam dan kematian untuk membayar bagi yang sedia pergi mencari adat-adat malam Dengan bahagia kukorbankan hidup bagi utusan rasa Yogyakarta, 2008 Hening Hening datanglah Agar jiwa ini Melihat kesetiaan Dalam ikatan cinta Seperti bintang-bintang Yang merelakan dirinya Di tengah keheningan Yogyakarta, 2008 Titipan Sejenak rasa kutitipkan pada malam hingga aku tak mengerti apa itu kata dan apa itu duka Mungkinkah satu rasa ada dua keadaan? Aku takut dia merana karena satu kata Aku takut dia senyum karena satu rasa pada sebuah rumpun kelam Yogykarta, 2008 Embun Tentunya pagi yang bisa memberi embun bagi perut lapar Betapa tidak semalaman kau mengadu pada pemilik waktu hingga wajar kalau kau merasa puas dengan aku Yogykarta, 2008 Tersiksa Pagi semua adalah api pada cadas ke-le

Indonesia Tidak Mengenal Realitas Budaya

Oleh: Matroni el-Moezany* Indonesia saat ini adalah Indonesia yang tidak sama dengan Indonesia dulu. Karena realitas selalu berubah. Realitas opini, realitas media dan realitas itu sendiri. Dan harapan saya Indonesia harus mengenal realitas itu sendiri dengan lewat jembatan budaya. Dari sanalah sebenarnya Indonesia harus mengenal realitas yang berbasis kultural. Walau pun Indonesia saat ini adalah Indonesia berada di ujung yang sangat jauh dari realitas itu. Karena masyarakat selalu dibebani dengan realitas yang seringkali tidak kita bisa diimpikan. Yang dibutuhkan sekarang adalah berpikir tentang realitas itu sendiri. Dengan mengenal realitas Indonesia akan menjadi merdeka dan masyarakat tidak lagi sengsara serta tertindas dalam menghadapi hidup di masa depan. Indonesia saat ini sudah menjadi gejolak waktu yang rapuh tidak bisa mengelola dirinya sendiri (pendidikan, ekonomi, dan politik). Ini terbukti dengan naiknya harga, angka inflasi yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS), Sela

KUTUB

Tradisi tulis-menulis yang kian rapuh Kutub adalah sebuah wadak sekaligus tempat yang ada dibawah naungan Pondok Pesantren Hasyim Asy’arie yang diasuh oleh seorang budayawan K.H. Zainal Arifin Thaha (alm) sekarang di asuh oleh istrinya Maya Feri Oktavia (Bunda Maya). Santrinya datang dari berbagai daerah seperti Jawa, Sumatra, Madura, dan Bali mereka (santri) di samping belajar kitab kuning (ngaji), mereka juga belajar menulis. Baik menulis opini, esai, puisi, cerpen, resensi, jurnalistik ada juga yang sudah menerbitkan buku. Berangkar dari bekal seperti itu kesemangatan yang ditanamkan oleh pengasuh (K.H. Zainal Arifin Thaha, budayawan) sendiri yaitu profesionalitas, spiritualitas, dan kreativitas yang itu langsung dipandu beliau sendiri. Dengan semangat yang "berdarah-darah" mereka semua berjuang untuk menulis di media massa dan mereka mayoritas berhasil meraih itu semua. Bahkan dalam satu media kadang di isi oleh anak Kutub, mengapa? Karena ketiga tersebut (profesionalitas

Gejolak Waktu yang Rapuh II

Oleh: Matroni A el-Moezany* Malam yang kutunggu hanya sebuah ilusi yang tak akan pernah ada dalam keadaan ini. Walau pun sesuatu tidak akan ada dari ketiadaan. Mungkinkah yang tidak itu ada? Ini hanya sebuah teori yang tidak bisa sampai pada titik puncak yang akan di capai oleh para menghasil teori maupuan para filosof. Dalam dunia kita akan menemukan sesuatu yang lebih berharga daripada menjadi orang yang hanya berwaktu dalam diri (sok-sok-an). Tapi mungkinkah sok2an itu menjadi waktu yang setia dalam jiwa dan perjalanan rohanimu?. Inilah yang pantas menjadi Tanya dan Tanya dalam jiwa. Sehingga langkah awal untuk mencapai itu semua tiada lain hanyalah perjalanan, baik perjalanan dalam diri maupun perjalanan dalam pikiran, dan perjalanan dalam kesunyian. Dalam kesunyian ini, kita tidak akan menemukan sesuatu yang menyakitkan, karena dalan sunyi yang ada hanyalah kesendirian dari kita. Seketika itu sebuah kata itu akan lahir sebagai tanda percakapan yang senantiasa menggugah rasa di jiw