Sastrawan dan Kata-Kata

Sastrawan dan Kata-Kata
Oleh: Atroni El-Moezany*

Sebagai seorang sastrawan tidak mungkin lepas kata-kata atau tidak boleh jauh dari kata-kata. Kata bagi sastrawan adalah alat, senjata, dan laksana sastrawan dengan bajunya, laksana matahari dan sinarnya. Sastrawan harus dengan kata, mendekati, dan mengartikan semauanya kata.
Kata-kata yang ada bukanlah semuanya milik sastrawan. Kata-kata itu tak bertuan dan tak bertuhan. Ia bisa menjadi milik aku, engkau, ilmu pengetahuan, politisi, negarawan, gelandangan, dan samapah-sampah yang mengaji. Dan, sastrawan harus memetik kata yang bertebaran yang tak bertuan dan tak bertuhan di pohon aku-engkau untuk memilikinya, dan akhirnya menjadi ciri khas seorang sastrawan.
Tentang sajak (puisi), Abdul Wachib B.S berujar; "Sajak terbentuk dari kata-kata, seperti juga sebuah lukisan dari cat dan sehelai kain, atau sebuah patung dari pualam, dan lempung. Tapi mereka yang mengalami keterharuan ketika melihat suatu lukisan atau sebuah patung, tidak akan menganggap kualitas cat kain atau batu pualam sebagai saat yang penting, soal yang sejati.
"Bukanlah bahan-bahan yang dipakai yang penting, sebab yang penting adalah hasil yang dicapai. Hasil ini pada umumnya ’terbagi’ ke dalam bentuk dan isi. Tetapi pembatasan yang sangat nyata dan terang antara bentuk dan isi ini tidak pula bisa dikemukakan. Sebab dalam kesenian bentuk dan isi ini tidak hanya rapat berjalan sama, mereka gonta-ganti, saling tutup-menutupi.
Proses penciptaan puisi Abdul Wachib B.S adalah bentuk dan isi tidak dilihatnya secara terpisah, melainkan utuh dalam satu kesatuan, sehingga keduanya tampak tiada terpisahkan, bahkan keduanya saling melengkapi. Bagi Abdul Wachib B.S, tugas penyair adalah menuangkan tenaga perasaan-perasaannya ke dalam setiap kata-kata yang hendak dituliskannya. Itulah yang selalu dipertahankan Abdul Wachib B.S, sehingga puisi-puisinya tetap memiliki daya pikat dan daya pakau, lebih pelik meski sudah diciptakannya.
Dalam pernyataan lain, Abdul Wachib B.S menegaskan, "Perkakas (modal) yang bisa dipakai oleh si penyair untuk menyatakan diri adalah bahan-bahan bahasa yang dipakainya dengan cara intuitif. Lagu dari kata-katanya, bisa pula dibentuk, sehingga bahasanya menjadi berat dan lamban atau cepat dan ringan. Dia bisa memilih hubungan kata yang tersendiri yang ditimbang dengan seksama atau kata-kata ini menyatakan apa yang dimaksudnya. Bentuk kalimatnya dibikin menyimpang dari biasa, dengan begitu mengemukakan dengan lebih halus, lebih pelik apa yang hidup dalam jiwanya.
Dengan irama dan lagu, dengan bentuk kalimat dan pilihan kata, dan dengan perbandingan-perbandingan, Abdul Wachib B.S menciptakan puisinya. Dari puisi itulah, pembaca, jika mampu memperhatikan dengan teliti— akan mendapatkan "keistimewaan" kata-kata yang tercapai oleh penyair. Hal ini dapat kita simak dari sejumlah puisi Abdul Wachib B.S, misalnya saya kutip disini.
Kidung yang lantunkan
Isyarat-mu belum lagi
Kupastikan kemana arah angin
Ingin berhenti
Tapi tak kuasa lagi
Tumjamnya merontokkam bintang-bintang
Usai malam seribu bulan dibasuh
Rayuan demi rayuan melengang
Kini sudahkah kisah
Kau aku meluruh
Ini pagi kembali beribu kerinduan
Dan puisi minta dituliskan
("Kidung")
Keistimewan dari puisi Wachib adalah pemilihan kata (diksi), seperti "dari/bulan/bintang/kidung, "kupastikan/arah/angin", "ingin/berhenti/", dan seterusnya. Atau pada puisi Dongeng Penganti, Wachib memilih bentuk kalimat dan pilihan kata, "Janji-janji menukar rembula, ’dengan matahari tersandung batu-batu, membeku.’
Kata di tangan sastrawan, bukan lagi "tidak bertuan". Ia menjadi kata yang khas, yang personal milik sastrawan. Kata-kata itulah yang kemudian bertugas untuk meneriakkan (berkomunikasi) apa yang ada dalam jiwa sastrawan dengan pembacanya.
Sementara itu, Sutardji Calzoum Bachri (SCB) berujar puisi yang baik mestilah menghibur (estetis), bermanfaat dan menginspirasi.
Boleh jadi pernyataan SCB itu meminjam pendapat TS Eliot; puisi yang baik harus memenuhi kriteria estetika puisi (menghibur); puisi yang besar memberikan pengaruh atau dampak yang besar terhadap dunia di luar puisi (pesan); puisi yang memberikan insipirasi bukan hanya di lingkup perpuisian, tetapi juga di lingkup berbagai kehidupan yang luas.
Dalam tulisan lain di buku Hijau Kelon & Puisi 2002 (Kompas, 2002), Sutardji hampir sama sepikiran dengan sastrawan yang lain tentang kata-kata. Ia mengingatkan sastrawan, "Kalian mungkin menyebutkan kata-kata yang sama sehari-hari dipakai orang-orang biasa di pinggir jalan. Tetapi kalau kalian berhasil meraih keakraban kata-kata dalam sajak kalian, walaupun sama dengan kata-kata yang dijumpai orang sehari-hari, akan terasa lain, penuh nuansa makna mesteri kedalaman, daya pakau, visa dan bahkan pencerahan.
Jadi tugas sastrawan bukan sekadar merangkai, mencomot kata-kata yang sudah tersedia. Melainkan memilih, menimbang, dan menemukan sehingga kata-kata itu menjadi milik khas sastrawan dan puisi ciptaannya. Tiadalah mungkin sastrawan hanya mentransfer kata-kata yang bertebaran dan yang tak bertuhan itu. Pemilihan tak sembarang kata itu dapat dijadikan alat untuk menyampaikan (meneriakkan?) ekspresi. Sastrawan harus cermat memilih kata-kata yang bertebaran demi mewakili pikiran, perasaan dan jiwanya. Kata-kata yang diakrabinya lebih dulu ditimbang-ditimbang, sampai benar-benar menjadi "miliknya" dan mampu menyuarakan apa yang ingin dikatakan.
Kata-kata yang terpilih itu lalu menjadi khas sastrawan. Melalui kata-kata yang tersusun jadi kalimat dan bahasa, penyair mengomunikasikan apa yang dirasa dan dipikirkan kepada pembacanya. Komunikasi tersebut dapat terjadi apabila sastrawan memahami, ia sejatinya melalui karya puisi ingin berbagi cerita, katakanlah berdealektika. Jika sastrawan tak mampu melakukan semua ini, apa bedanya ia dengan orang-orang biasa dan awam? Apabila tugas sastrawan hanya menyusun kata-kata menjadi kalimat, merangkai kalimat menjadi bahasa, tentulah setiap orang dapat menyebut dirinya sastrawan. Jika begitu, maka diary (catatan harian), bisa menjelma jadi puisi dan penulis diary bisa disebut sastrawan. Menarik sekali sebagaimana dikatakan Goenawan Mohammad dalam salah satu puisinya. Tugas penyair ialah mengabadikan sesuatu yang mestinya akan dilupakan. Pernyataan sastrawan itu dapat kita baca pada puisi Kwatrin Tentang Sebuah Poci; apa yang berharga pada tanah liat ini/selain separuh ilusi?/Sesuatu yang kelak retak/dan kita membikinya abadi.
Oleh karena puisi dibangun dari kata-kata dan intuisi, maka bahasa dalam puisi tidak sama dengan bahasa kita, ilmu pengetahuan, politisi, ataupun negarawan. Yang membuat puisi bertenaga dan sedap dinikmati ialah bagaimana sastrawan mampu mengemas, meramu, dan meracik kata-kata untuk mewakili (menyuarakan) gagasannya. Atau dengan kata lain, dan ini selalu saya analogikan setiap pertemuan dengan calon sastrawan, sastrawan sama tugasnya dengan seorang koki (juru masak). Tak ada (tema) yang baru di bawah matahari, maka penyair harus mengemas, meracik, dan meramu tema itu menjadi menarik, sedap, dan khas. Kenapa kau lebih suka menyantap bakso Marem daripada bakso Sony atau sebaliknya, padahal sama-sama bakso? Yang yang membedakan nikmatnya adalah cara meracik dan cara meramunya. Begitu pula dengan puisi.
*Penyair dan Pemerhati sastra. Tinggal di Yogyakarta.

No, Rek, 0112529222, BNI,Cab UGM Yogya, a/n Matroni

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani