Puasa itu indah: Kita dan Slogan Kita


Oleh: Matroni el-Moezany*

Kita banyak melihat spanduk-spanduk atau slogan-slogan, di berbagai bagian ibu kota, saya juga banyak melihat bermacam-macam warna putih dengan tulisan hitam besar-besar yang berbunyi, "marhaban ya ramadhan", "selamat menunaikan ibadah puasa" dan slogan-slogan lain yang sejenis. Tapi saya belum pernah melihat slogan yang berbunyi "puasa itu indah dan sehat". Padahal menurut hemat saya itulah kunci dari puasa.
Sudah 2 tahun saya menjadi mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Dan salah satu kebiasaan yang terbangun dari karir yang panjang ini ialah, bahwa saya tidak bisa lagi menikmati sebuah kata, kalimat atau alinea sebagaimana adanya. Saya selalu mempersoalkan fungsi dan makna dari setiap kata, kalimat atau alinea. Saya tidak tahu, apakah kebiasaan tersebut adalah sesuatu yang baik atau tidak.
Tapi yang jelas, perjalanan dengan teman-teman selalu akan diakhiri dengan perdebatan (dialektika), bilamana saya mulai mengomentari berbagai spanduk, papan nama atau tulisan lain yang saya lihat di sepanjang perjalanan yang begitu panjang. Contohnya ialah ketika saya mempersoalkan spanduk-spanduk di atas.
"Kamu itu lapar," kata teman saya. "Semua kau komentari!"
"Yang membuat spanduk itulah yang sakit," kata saya membela diri. "Mereka tidak tahu atau berlagak tidak tahu tentang apa hakekat puasa yang sebenarnya…".
"Ya, kamu lebih baik diam saja duduk di belakang. Biar saya yang membawa onthel," kata teman saya pula. Dan sebagai orang yang berpuasa tentu saja permintaan mereka saya turuti. Tapi bagaimana saya bisa diam, sementara ada ribuan kalimat di luar sana yang mengganggu estetika, tidak bermakna dan tidak logis?
Slogan kota-kota kita, misalnya, sama sekali berangkat dari ruang kosong. "Yogyakarta Kota istimewa", "Jakarta metropolis", "Bekasi Patriot", atau "Bogor Lestari".
Saya pernah melakukan perjalanan dari Madura ke Surabaya ke Yogyakarta, dan di beberapa kota yang saya lalui slogan-slogan itu bahkan dicat besar-besar di trotor-trotoar! Saya tidak tahu apakah slogan itu sebuah gambaran realitas yang rasional, cita-cita atau kombinasi dari keduanya. Bagaimana kita bisa menerima sebuah slogan kota yang "bersih, hijau, berbudaya dan berseni" kalau di sana ada gunungan sampah yang penuh dengan gelandangan yang sedang mengais-ngais? Dalam hal hijau, mungkin slogan itu masih ada benarnya, karena sesekali–ketika ada yang melintas–beterbanganlah ribuan lalat hijau dari tumpukan tersebut.
Bagaimana kita bisa menerima sebuah slogan kota yang "bersih, aman, rapi dan indah" kalau angka kriminalitas masih begitu tinggi dan lalulintas bukan main semrawutnya? Saya curiga, jangan-jangan kita ini sudah dihinggapi perasaan "sama seperti Tuhan". Kita pikir, cukup dengan bertitah dan membuat slogan, maka kata-kata itu langsung bisa mewujud menjadi realitas yang rasional. Padahal, hanya Tuhan-lah yang punya kelebihan seperti itu. Ada pun halnya kita, kalau kata-kata kita ingin mewujud, maka ia harus dibarengi dengan kerja keras dan berdarah-darah, tidak cukup hanya ditulis di atas spanduk, atau ditempel di tugu. Atau, jangan-jangan kita sudah dihinggapi oleh penyakit yang menganggap kata-kata adalah realitas yang rasional. Kita menyangka bahwa dengan menuliskan kata-kata puasa, Ramadhan dan lain sebagainya, maka kota pun sudah terasa damai, aman dan bersih. Dan penyakit yang terakhir ini paling kelihatan dalam kegiatan-kegiatan kongres, muktamar, sarasehan atau raker yang kita adakan.
Seringkali, setelah kita melakukan persiapan cukup jauh, barulah kita mempersoalkan tema dan sub-tema kongres, muktamar atau sarasehan itu. Tema dan sub-tema kita butuhkan bukan untuk menjadi jiwa, warna, penekanan atau arah dari kegiatan; tapi hanya pemantas karena semua kongres, muktamar atau sarasehan selayaknyalah memiliki tema.
Kita memerlukan tema dan sub-tema hanya untuk dipasang di spanduk. Dan kepala ruangan tempat menyelenggarakan kongres, mukatamar atau sarasehan; bukankah sepatutnya diberi rentangan spanduk? Ada orang-orang pragmatis yang berargumen, bahwa spanduk di kepala ruangan itu kita butuhkan, agar kalau beberapa tahun mendatang kita melihat kembali foto-fotonya, maka kita tidak lupa kegiatan apa yang di dalamnya ada potret diri kita itu.
Salah satu indikasi bahwa slogan atau tema sebenarnya hanyalah cantelan–bukan urat-nadi dari kegiatan kita; itu bisa terlihat dari latahnya kita memakai slogan atau tema yang sedang "trend".
Kita pernah dilanda musim "tinggal landas". Maka ramai-ramailah kongres, muktamar, pameran, dan konkurs perkutut "tinggal landas". Lalu, ketika pada suatu kurun waktu tertentu kita menyadari bahwa negara dan bangsa ini ternyata tidak berhasil mencapai tahapan tinggal landas dalam pembangunannya, sebagaimana yang diangan-angankan satu dekade sebelumnya, maka buru-burulah kita memodifikasinya menjadi "membangun kerangka landasan". Dan ramai-ramailah kongres, muktamar dan simposium kita ber-"membangun kerangka landasan"-ria. Bosan dengan kerangka landasan kita masuk dalam musim "sumber daya manusia". ("Rapat Kerja Nasional Aosiasi Penyalur TKW. Dengan eksport pembantu rumah tangga kita tingkatkan sumber daya manusia Indonesia").
Ternyata musim sumber daya manusia tidak bertahan lama. Seperti halnya salju di siang bolong, angan-angan yang indah itu lenyap diterpa krisis ekonomi dan moral. Masuklah kita dalam musim "Reformasi dan Indonesia Baru". Tapi "musim reformasi dan indonesia baru"–entah mengapa–tidak juga berjalan lama. Tiba-tiba kita sudah berada di "musim rekonsiliasi, islah dan perdamaian". Lalu kita pun mulai sibuk ber-"rekonsiliasi"-ria. Spanduk-spanduk kita–pun spanduk upacara keagamaan kita–dipenuhi kata rekonsiliasi, islah dan perdamaian. kalau bukan melakukan rekonsiliasi dan pendamaian; agama-agama itu urusannya apa lagi? Kok tiba-tiba mereka baru sadar akan kata-kata tersebut?)
Seperti yang telah saya uraikan di atas, slogan-slogan yang meletihkan biasanya datang dari birokrasi dan tentara. Slogan yang menyegarkan justeru datang dari supir truk, dan anak-anak muda kita yang menganggur itu. Slogan-slogan mereka selalu merupakan gambaran yang pas dari realitas atau pun merupakan rentangan antara realitas dengan harapan yang bisa teraba jelas.
"buah rejeki" kata sebuah slogan di belakang bak truk. Lalu ada gambar perempuan dengan baju tidur merah jambu di atasnya. "kutunggu rejekimu", kata sebuah slogan di belakang bus metro mini, dengan huruf-huruf dari guntingan plastik warna-warni. Atau seperti kata sebuah mikrolet yang supirnya ngebut tanpa memperhitungkan lagi nyawa penumpangnya: "di larang berbicara dengan sopir". Tapi dalam karir saya yang panjang sebagai "pengamat slogan" , belum pernah saya melihat slogan yang begitu penuh makna, penuh rasa terharu, humor dan berselera tinggi seperti yang saya lihat di sebuah panti pijat tradisionil di dekat tempat saya, di Cabean Yogyakaarta, pada suatu hari di bulan September pas semua umat islam berpuasa.
Slogan kadang-kadang menjemukan; tapi sesekali ia bisa sangat mengasyikkan dan menyejukkan.

*Penulis pengamat budaya. Tinggal di Yogyakarta.
Kunjungi halaman depan Yahoo! Indonesia yang baru!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani