Peran Kita dalam Sastra

Peran Kita dalam Sastra
Oleh: Matroni A el-Moezany*

Sekarang ini permasalahan lemahnya kecintaan terhadap karya sastra di Indonesia telah mendetail di berbagai media, baik itu media cetak maupun elektronik. Bahkan, dalam lembaran-lembaran yang berkembang dalam sastra kita saat ini sangat mengenai melempemnya kesukaan atas sebuah karya sastra. Sedangkan dalam perkembangan sastra terus diangkat ihwal kekurangan minat dalam sastra ini. Lalu, apa benar cinta kita telah mencapai taraf yang memilukan? Sebenarnya apa yang sedang terjadi dalam dunia sastra kita? Tentunya kita berusaha kembali mengangkat mengenai kecintaan terhadap sastra itu sendiri, yang membuat kita sedikit menggeleng-gelengkan kepala. Mengapa pula di negeri yang punya banyak sekali penyair, sastrawan, maupun pemerhati sastra bisa terjadi gejala ini? Dalam hal ini kita tidak ingin menyalahkan siapapun.
Namun, perkembangan sastra dari mulai angkatan Balai Pustaka hingga saat ini (tahun 2007) telah memberikan sedemikian banyak sumbangan yang diberikan oleh para kritikus sastra, salah satunya yang kita kenal ialah keberadaan HB Jassin yang mendapat julukan sebagai "wali sastra Indonesia". Setiap karya sastra yang lahir pastilah ditanggapi secara total oleh pembacanya (kata Ichlas Syukurie), dan keadaan ini memang jelas adanya, sebab apalah arti karya sastra yang "hebat" sekalipun bila tidak memiliki pembaca dari karya tersebut? Artinya sehebat apapun karya sastra tanpa adanya pembaca yang total ia akan mengalami kepakeman.
Bahkan, Rolland Barthes, seorang pemikir sastra dari Prancis dalam semiologinya telah menjabarkan makna pentingnya para pembaca. Dalam bukunya itu, Barthes telah meramalkan bagaimana keutuhan dari strukturalisme dan semiotika dari kata-kata sastra itu sendiri. Teori tersebut mula-mula berdasarkan penglihatan linguistik, ilmu bahasa, hingga pada akhirnya berujung di kesusastraan.
Setiap kita apa pun bentuknya, seharusnya pula kita tak perlu merasa "rendah" dalam memaparkannya. Toh, pada akhirnya sastra yang dibuat akan ada yang menimpalinya (gejala "balas-membalas") dalam sastra adalah suatu hal yang biasa. Namun, kita tentunya tidak boleh melupakan begitu saja akan makna pembaca yang bertindak sekaligus menjadi pemerhati sastra.
Kesadaran kita dalam membuat sastra berdasarkan objektivitas yang ada merupakan etika formal yang mesti dilakukan untuk memilah gejala-gejala sastra yang berkembang saat ini. Kita bisa jadi memuji-muji setengah mati akan keberhasilan Chairil Anwar, Taufiq Ismail, Rendra, Sutardji Calzoum Bahri, Ayu Utami, maupun Dewi Lestari dalam membuat karya sastra. Tapi, pujian itu juga hadir setelah lahirnya cinta terhadap karya sastra terhadap karya mereka (untuk karya Chairil Anwar, sebagaimana kita ketahui adalah jasa HB Jassin yang telah menemukan penyair ini dengan menjelaskan perihal karyanya).
Tapi, sebenarnya karya sastra yang ada seharusnya ditanggapi oleh pembuat karya sastra itu sendiri. Sehingga terjadi perang opini yang logis di antara mereka, mencari suatu titik temu yang esensial agar karya sastra tersebut tak lagi dapat terbantahkan kebenarannya. Dan, lebih jauh HB Jassin mengatakan bahwa untuk menghindari karya sastra tersebut mati setelah selesai ditulis dan di baca.
Dalam sebuah karya sastra tentulah kita memerlukan sebuah etika, yakni suatu batasan agar nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya senantiasa utuh. Dan, etika dalam penulisan sastra ternyata yang membuat kita hanya menemukan pada kesusastraan kita yang tradisional. Mengapa? Karena di dalam kesusastraan yang tradisional itu ada sebuah filsafat yang dapat dikembalikan pada pandangan bersahaja mengenai hidup. Pada intinya, dalam kesusastraan tradisional dituntut pengembalian antara hal-hal yang baik dan buruk. Sehingga pertentangan yang terjadi harus diselesaikan dan pasti berakhir dengan kemenangan yang baik, bijak, arif, benar, dan seterusnya. Sebagai contoh, roman angkatan Balai Pustaka senantiasa menggambarkan hal tersebut terutama dengan "Siti Nurbaya"-nya.
Lalu, bagaimana perkembangan sastra kita saat ini? Sebenarnya gejala-gejala pada kesusastraan tradisional masih cukup erat mengikat karya sastra kita (baik esai, cerpen maupun sajak). Karya-karya sastra yang hadir saat ini telah banyak mengajarkan cinta pada kita.
Namun, beberapa karya sastra yang berkembang saat ini cenderung lebih bersifat terbuka dan berterus terang. Beberapa di antaranya juga terkesan "membelokkan" pandangan hidup yang lama, yang selama ini dianggap tabu oleh masyarakat kita. Barangkali juga, hal ini sebagai akibat pengaruh globalisasi yang tengah berkembang.
Sebagai contoh sebutlah novel karya Ayu Utami dengan "Saman"-nya yang menurut kita lebih mengeksploitasi permasalahan seksual di kalangan wanita. Dengan "kevulgaran"-nya, Ayu Utami bercerita hingga melewati batas etika yang lazim dianut sebagian besar masyarakat Indonesia.
Dalam cerpen Sutardji Calzoum Bahri yang berjudul "Tahi" (Indonesia Tera,) yang memaparkan bagaimana seseorang di tengah keadaan laparnya dapat menyantap sepiring tahi (?), tentu saja peristiwa ini berbanding terbalik dengan logika kita. Dan, permasalahan kata-kata ini telah dibahas oleh Seno Gumira Ajidarma dalam esainya yang berjudul "Tinja dalam Sastra" di harian Kompas.
Seno Gumira Ajidarma juga menggambarkan bagaimana Hamsad Rangkuti bercerita tentang suatu kampung yang menjual tahi mereka untuk diberikan sebagai makanan lele di sebuah kampung. Bila kita "buka" karya-karya sastra macam begini sudah pasti dari "cinta" yang seharusnya dituntut dalam membuat sebuah karya sastra. Dari sudut lain, saya melihat sastra yang ada saat ini seperti telah dibatasi keberadaannya. Barangkali juga, sebagai akibat dari pelekatan label moralitas dalam nada penulisan. Cinta maupun karya sastra seharusnya kita tak perlu lagi merasa harus berlindung di balik kebesaran nama para pengarangnya.
Sebagai pemerhati sastra, seharusnya kita dapat segera tanggap menangkap akan "kevulgaran" pengarang. Akibatnya, kita dapat memandang dengan seimbang bahwa seorang pengarang tidak bisa lolos dari penilaian kevulgarannya, tetapi juga menempatkan secara penuh pada mutu karyanya.

*Penulis adalah Pemerhati budaya dan Penulis sastra di Yogyakarta
No, Rek, 0112529222, BNI, Cab, UGM, Yogya, a/n Matroni

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani