Cermin Keterbelakangan Budaya Kita

Cermin Keterbelakangan Budaya Kita
Oleh: Matroni El-Moezany*)

Kalau kita lihat realitas yang terjadi di lapangan saat ini, bahwa bangsa ini sedang terjangkiti virus krisis moral dan kemiskinan budaya. Sebagaimana yang diberitakan berbagai media massa baik cetak maupun elektronik, fenomena krisis sosial, moral dan kemiskinan kebudayaan di beberapa kabupaten dan kota memerlukan kesadaran diri kita untuk mengantisipasinya.

Sehubungan dengan hal itu, meski banyak kritik tentang krisis sosial-moral dan kebudayaan, tetapi realitasnya bangsa Indonesia seakan tetap tidak mau mendengar, "malah dianggap sebuah radio yang sudah rusak". Kalau kita menengok kebelakang bangsa ini bukan hanya mengalami krisis moral an sich tatapi mengalami kemiskinan atau krisis budaya. buktinya? pada tanggal 7/4/2006 majalah Play Boy versi Indonesia yang banyak ditentang tetap terbit dan para konsumennya yang membeli rata-rata para remaja dan pemuda. Keadaan ini paling tidak dapat mencederai atau dengan kata lain memberangus nilai-nilai kebudayaan tanah air yang senantiasa berlandaskan atas semangat pancasila, bukan kebudayaan barat sebagaimana yang melatarbelakangi Majalah Play Boy itu sendiri.

Saya kira tidak mungkin Play Boy ciri khasnya adalah mengeksploitasi fisik wanita, dan tidak mugkin Play Boy Indonesia tampil seperti majalah Muslimah, Sabili, Gatra dan Majalah-Majalah lainnya - yang relativ tetap menjaga dan melestarikan nilai-nilai (value) kebudayaannya sendiri. . Bagaimanapun kemasannya, ada satu hal yang itu sangat pasti: Play Boy Indonesia pastilah tetap bernuansa dan berisi tubub wanita yang nyaris tanpa busana. Dengan demikian nampaknya krisis moral yang terlihat di negeri kita Indonesia sudah sangat berpengaruh dampaknya terhadap kehidupan rakyat. Terutama rakyat kecil. Dalam keadaan yang seperti ini mungkinkah kita sempat bertanya dalam hati, mengapa krisis moral sampai menimpa bangsa Indonesia? Bukankah kita mempunyai sumber Al-Qur’an dan Hadist sebagai pedoman hidup.

Pelarangan terhadap tindakan pornografi dan pornoaksi ini didasarkan pada satu tujuan yang ingin di capai yakni memberikan perlindunmgan dan pendidikan moral bagi masyarakat yang menjunjung tinggi akan harkat dan martabat manusia dalam rangka membentuk masyarakat yang berkepribadian luhur, beriman, dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa (pasal 3). Bagaimana kita dapat melihat keadaan masyarakat kita, ketika ada kebebasan berekspresi dan bersksploitasi terhadap sex, yang itu melalui berbagai media dan VCD ini jelas-jelas menimbulkan kerawanan moral. Menimalnya peredaran dan perkembangan seksualitas lebih banyak madharatnya terutama bagi generasi anak bangsa.

Pembuatan, penyebarluaskan dan penggunaan pornokrafi memang diperbolehkan tapi, apabila untuk tujuan atau pengembangan ilmu pengetahuan yang terbatas pada lembaga riset atau lembaga pendidikan yang bidang keilmuan bertujuan untuk pengembangan pengetahuan, seperti penggunaan untuk keperluan pengobatan gangguan kesehatan dengan ketentuan setelah mendapat rekomendasi dari dokter atau lembaga kesehatan yang mendapat ijin dari pemerintah (pasal 17 dan 18).

Realitas ini memang sangat memperhatinkan semua pihak bagi yang mencintai generasi muda. Dapat dibayangkan, bagaimana nasib negeri ini yang dibangun diatas lembaran pornografi dan pornoaksi. dari situlah saya coba memberi sebuah cahaya agar kita dapat melihat apa yang gelap dan apa yang terang yakni: pertama meningkatkan pembinaan moral agama dalam masyarakat. Kedua aparat penegak hukum sudah semestinya meningkatkan kinerjanya. Ketiga sudah saatnya kita atau masyarakat menyadari bahayanya pornografi dan pornoaksi, dan selalu ikut aktif dalam mencegahnya. Karena itulah penanaman nilai-nilai moral agama sangat dibutuhkan bagi setiap warga agar memiliki tabir dan filter yang dapat menghalangi dan menyaringnya lebih murni lagi.

Kita pantas mengelus dada saat mencermati krisis dan kemiskinan tersebut. Mengapa disaat giat-giatnya menggalakkan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), mengapa justru krisis dan kemiskinan terjadi sacara mencolok. Kasus krisis ini yang menimbulkan efek ganda, yakni bagaimana keadaan masa depan bangsa dan keadaan budaya kita. Ini menyebabkan bahwa bangsa Indonesia belum bisa melihat permasalahan yang terjadi dilapangan sebagai permasalahan yang serius sehingga disamakan dengan perbuatan krisis yang biasa-biasa saja.

Bila diamati sacara detail, krisis dan kemiskinan itu berdampak sangat mengalami penurunan yang dahsyat dan berdampak ganda pada kehidupan masyarakat Indonesia: pertama krisis moral yang dialami oleh anak-anak kita, kedua kemiskinan kebudayaan yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Menurut hemat saya mengenai pengaruh kebudayaan dan moral terhadap kualitas bangsa dan apa yang dikerjakan oleh SDM bangsa itu sendiri. Jika suatu bangsa mempunyai budaya yang bermoral maka, dalam waktu 20 tahun kedepan, kualitas bangsa tersebut akan mengalami kenaikan yang sangat signifikan.

Dalam kontek inilah kita dapat menimbang arti pentingnya budaya, moral yang bersifat holistik-universal dan menata pengertian budaya yang menyusun suata strategi kebudayaan untuk menyongsong hari esok. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini perkenankan kami sebagai pribadi yang kebetulan menggeluti kajian, peneliti kebudayaan, yang diklaim. Sebagai bagian dari realitas sosial, ikut berbicara tentang apa dan bagaimana kebudayaan itu. Tujuannya agar keabsahan kebudayaan sebagai totolitas seperti dikumandangkan dapat dibenarkan secara akademik.

Pembicaraan tentang kebudayaan sebenarnya telah dimulai sejak lama sekali yakni melalui polemik menarik antara Dr Mochtar Pabottinggi (kompas, 13-14 September 1991) dengan Prof. S. Takdir Alisyahbana (kompas, 20 Oktober 1991) dari polemik tersebut, ada pandangan-pandangan Mochtar maupun Takdir yang tidak sepenuhnya saya setujui terutama konsep dan pemaknaan kebudayaan yang mereka pergunakan. Sementara definisi yang dirumuskan oleh Prof. Umar Kayam pada saat itu, bahwa kebudayaan adalah aktivitas untuk mengatasi problem-problem yang terjadi, walaupun lebih akurat tetapi menurut saya juga belum dapat menjelaskan sosok kebudayaan sebagai totalitas yang dimadsud, sebab kebudayaan adalah kekuasaan.

Kalau kita mencermati apa yang diperbincangkan masyarakat, barang kali sudah saatnya kita untuk meninjau apa yang dikatakan oleh Bacon bahwa knowledga is power (pengetahuan adalah kekuasaan). Realitas empiris disekitar kita ditilik dari perspektif Bacon sendiri memberi peluang untuk mengajukan tesis bahwa cultural is power (kebudayaan adalah kekuasaan). Kiranya dimana kekuasaan transformasi sosial yang sedang berlangsung saat ini, menunjukkan masyarakat yang telah bermetamorfose dari masyarakat agraris menjadi masyarakat birokrat, yang mana dinamika moral budaya pun bergantung pada jaringan makna birokrasi.

Jadi kekuasaan memiliki hasrat tersendiri. Lalu kekuasaan membentuk sistem etikanya yang tersendiri pula, sebagai sumber spirit dalam bertindaknya. Dimana birokrasi di pakai sebagai jaringan untuk mensosialisasikan dan menginternalisasikan (secara paksa) etika dan spirit kekuasaan. Hasilnya dalam benak kita setiap individu menjelma menjadi "tangan-tangan bayangan" yang dapat menjangkau dirinya bila dan dimana pun. "tangan bayangan" itu bagi siapapun harus dilihat sebagai suatu yang memiliki kedigjayaan dalam menentukan nasibnya. Ketika kekuasaan telah menjelma menjadi arca akal (idol of the mind) Bacon yang baru, maka kekuasaan telah berhasil menciptakan jaringan-jaringan makna atau budaya baru yang sesuai dengan hasratnya. Itulah mengapa dapat diajukan tesis bahwa kekuasaan adalah kebudayaan (kompas, 28/6/ 1996).

*Penulis adalah Staf Devisi Sastra dan Budaya Lembaga Kajian Kutub Yogyakarta & Forum Sastra Pesantren Indonesia (FSPI). Tinggal di Minggiran MJ II / 1482-B Yogayakrta 55141.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Pentingnya Etika Memilih Guru dalam Keilmuan

Matinya Pertanian di Negara Petani